NovelToon NovelToon
DI UJUNG DOA DAN SALIB : RENDIFA

DI UJUNG DOA DAN SALIB : RENDIFA

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / CEO / Cinta pada Pandangan Pertama / Keluarga / Romansa / Office Romance
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Marsshella

“Sakitnya masih kerasa?”
“Sedikit. Tapi bisa ditahan.”
“Kalau kamu bilang ‘bisa ditahan’ sambil geser duduk tiga kali … itu artinya nggak bisa, Dhifa.”
“Kamu terlalu kasar tadi pagi,” batin Nadhifa.
***
Renzo Alverio dan Nadhifa Azzahra saling mencintai, tapi cinta mereka dibatasi banyak hal.
Renzo, CMO Alvera Corp yang setia pada gereja.
Nadhifa, CFO yang selalu membawa sajadah dan mukena ke mushola kantornya.
Hubungan mereka tak hanya ditolak karena beda keyakinan, tapi juga karena Nadhifa adalah anak simpanan kakek Renzo.
Nadhifa meski merasa itu salah, dia sangat menginginkan Renzo meski selalu berdoa agar dijauhkan dari pria itu jika bukan jodohnya
Sampai akhirnya suatu hari Renzo mualaf.
Apakah ada jalan agar mereka bisa bersatu?
*
*
*
SEKUEL BILLIORAIRE’S DEAL : ALUNALA, BISA DIBACA TERPISAH

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

21. MENJADI BUNDA DAN ISTRI

Nadhifa duduk di meja makan, memperhatikan dua piring yang hampir habis. Di satu sisi, Yuda yang hari ini tampak lebih ceria. Di sisi lain, Renzo yang tenang, matanya tetap mengamati setiap gerakan. Ia menambahkan sayur ke piring Yuda, memastikan anak itu makan cukup karena harus kuliah.

“Nambah sayur mau, Nak?” tanyanya lembut.

Yuda mengangguk cepat. “Boleh, Bund. Enak banget ini.”

Nadhifa tersenyum dan melirik Renzo. Tanpa kata, ia mendekatkan mangkuk nasi ke arah suaminya dan menambah beberapa sendok nasi serta sambal.

“Maaf, kamu juga harus dipedulikan ya,” bisik Nadhifa.

Renzo menoleh sedikit, senyum tipisnya muncul lagi, tapi sorot matanya tetap menunggu. Tak lama, ia pun membuka suara. “Boleh tanya satu hal?”

Nadhifa menatapnya. “Apa, Mas?”

“Kenapa kamu mengadopsi? Maksudku … waktu itu kamu masih dua puluhan, usia dimana kebanyakan orang baru mulai hidup sendiri. Tapi kamu malah memilih jadi ibu dari anak empat tahun.”

Pertanyaan itu membuat gerakan tangannya terhenti. Ia menatap piring sebentar, sebelum menjawab dengan suara nyaris bergetar.

“Karena waktu itu … aku sering ke panti. Bantu donasi, kadang antar makan juga. Dan Yuda…” Matanya menoleh ke anaknya, yang pura-pura menunduk tapi jelas mendengarkan.

“Yuda selalu duduk di dekat pintu setiap sore, pakai ransel kecil yang warnanya sudah pudar. Dan dia … terus bilang kalau mama dan papanya akan datang jemput.”

Suara Nadhifa tercekat di tenggorokannya, tapi ia terus melanjutkan.

“Setiap sore. Selama berminggu-minggu. Dan dia akan menolak masuk ke kamar kalau belum dijemput. Padahal …,” Ia menelan ludah, “…nggak ada siapa-siapa yang akan jemput dia.”

Renzo menunduk. Begitu pula Yuda, wajahnya memerah, tak menyentuh makanannya lagi.

“Sampai suatu hari aku duduk di sampingnya dan bilang, ‘bolehkah aku jadi orang yang kamu tunggu?’ Dia cuma diam … terus tangannya pegang bajuku. Kuat sekali. Sejak itu aku tahu, dia cuma butuh satu orang yang benar-benar menetap. Dan aku siap jadi orang itu.”

Hening menyelimuti meja makan. Bahkan suara desis AC terasa terlalu keras.

Renzo menarik napas panjang. “Makasih … sudah ambil keputusan itu.”

Nadhifa mengerjap, tak percaya.

Renzo melanjutkan, “mungkin waktu itu aku belum mengerti. Tapi sekarang, aku mengerti kenapa kamu nggak menunggu hidup ini jadi sempurna dulu. Karena kalau kamu tunggu, anak ini akan terus duduk sendirian di dekat pintu.”

Yuda menoleh cepat, matanya berkaca.

Malam itu, Nadhifa melihat suaminya menepuk bahu anak mereka dengan lembut. Ringan, tapi cukup untuk menjembatani ruang yang kemarin masih terasa jauh.

Keluarga ini tak pernah datang dengan sempurna. Tapi ternyata, cinta yang tulus memang tak butuh skenario megah untuk hadir dan menetap.

Renzo diam di samping meja makan, mengamati Yuda yang masih menunduk di kursi. Ia tak pernah pandai menunjukkan rasa sayang, terutama pada anak seusia Yuda. 

Terlalu banyak jarak yang harus dijembatani. Tapi saat melihat Yuda mengusap layar ponsel yang retak Renzo diam-diam menyusun niat.

Setelah makan malam, Nadhifa sibuk membereskan meja. Suara piring dan sendok yang bersentuhan terdengar dari wastafel. 

Renzo menarik tas kecil dari bawah kursi, masih rapi, branded. Ia mendorongnya pelan ke arah Yuda. “Coba buka,” ucapnya singkat.

Yuda menoleh cepat, ekspresinya campur aduk antara bingung dan ragu. Perlahan ia meraih tas itu, membuka, dan matanya membulat.

“Ini...?”

“Pakai aja,” jawab Renzo.

“Ini … hape baru?” Suaranya rendah, seolah takut salah mengira.

Renzo mengangguk pelan. “Aku lihat kamu kesulitan terus dengan yang itu.”

Yuda mendongak padanya. Ada embun di matanya meski ia berusaha menyembunyikan.

“Om ... eh, Ayah ... ini mahal banget. Tapi … hapeku udah dibenerin Arshen, kok. Gratis juga. Katanya gampang buat dia.”

Renzo mengangkat alis. “Kamu ketemu Arshen?”

Yuda mengangguk cepat, duduk lebih tegak, semangatnya tiba-tiba naik. “Anak seberang apartemen. Katanya dia anak kakak sepupunya Ayah, ya? IQ-nya 160. Gokil. Bisa ngoding sambil makan mie mentah.”

Renzo menahan senyum. “Dia emang suka mie sejak kecil. Bahkan sampe musuhan sama ayahnya gara-gara dilarang makan mie kebanyakan.”

Yuda tertawa kecil. “Kebetulan banget, kami satu kampus. Dia jurusan Cyber Security, aku Management. Tapi entah kenapa, nyambung aja. Mungkin karena sama-sama nggak suka banyak omong.”

Renzo tersenyum tipis. “Syukurlah kamu udah nemu temen.”

Yuda menatapnya lama. Lalu pelan, ia menyodorkan kembali hape baru itu. “Terima kasih, Ayah. Tapi aku … nggak enak. Baru masuk rumah ini, langsung dikasih barang begini.”

Renzo menyodorkan kembali dengan mantap. “Anggap aja hadiah penyambutan. Dari seorang Ayah yang mungkin telat beberapa tahun hadir … tapi ingin mulai hari ini dengan benar.”

Yuda menggenggam kotaknya dengan kedua tangan. Tatapan matanya sedikit bergetar, tapi senyumnya hangat. “Terima kasih, Ayah. Aku bakal jaga baik-baik.”

Dari wastafel, Nadhifa menoleh sejenak. Matanya menatap Renzo, tersenyum tipis, lalu kembali ke cucian.

Renzo menatap anak itu, hatinya hangat. Kali ini kata ‘ayah’ tak lagi terasa asing.

...***...

Yuda berbaring santai di tempat tidur, sibuk mengetes ponsel barunya. Layarnya bening, baterainya belum turun satu persen pun padahal sudah ia pakai membuka lima aplikasi sekaligus. Internetnya ngebut. Tapi entah kenapa, rasanya belum nyaman.

Suara ketukan terdengar di pintu, lalu pintu kamar dibuka pelan. Sepersekian detik kemudian, selimutnya disibak kasar.

“Eh, Bun! Astaga, jangan gitu dong!” serunya hampir menjatuhkan ponsel.

Nadhifa berdiri di sisi ranjang sambil tersenyum, tangannya masih memegang ujung selimut. “Refleks, maaf. Dulu waktu kamu di panti, tiap Bunda pulang kerja pasti Bunda lihat kamu meringkuk dingin. Gak pernah mau minta selimut. Jadinya udah kebiasaan nyelimutin anak diam-diam.”

Yuda mendengus. “Tapi sekarang aku udah sembilan belas, Bund. Udah gede. Udah bisa nyelimutin diri sendiri.”

“Ya masa sih?” Nadhifa malah duduk di pinggir tempat tidurnya.

Ia meraih kotak ponsel yang baru setengah terbuka, lalu ikut-ikutan membongkar isinya. Ia mengeluarkan charger, buku petunjuk, sampai kartu garansi. Lalu matanya menyipit saat menemukan stiker harga kecil yang belum dicabut.

“Yud …,” ujarnya pelan. “Ini beneran harganya?”

Yuda mendekatkan wajah, lalu melotot. “Empat puluh … JUTA?!” serunya panik.

Nadhifa masih diam.

“Bun, ini harus dibalikin. Aku belum pantas. Barang segini mahal. Mana aku aja baru masuk rumah ini!” 

Yuda mendorong kotak itu pelan ke arah Nadhifa. Tapi Nadhifa malah tertawa pelan. Matanya agak menerawang.

“Kamu tahu nggak, Ayah kamu suka kaya gini. Beliin Bunda barang-barang aneh, mahal-mahal. Jam tangan, tas, sepatu, bahkan parfum yang Bunda gak tahu cara nyebut mereknya.”

“Dan Bunda nerima semua?” tanya Yuda.

“Awalnya? Bunda kembalikan. Tapi tahu nggak? Besoknya dikirimin lagi. Kadang lebih mahal.” Nadhifa tersenyum. “Katanya, ‘kalau kamu balikin, aku beliin dua.’ Ya sudahlah. Daripada bangkrut, akhirnya Bunda terima.”

Yuda ikut tertawa, walau sedikit miris.

“Jadi,” lanjut Nadhifa sambil menepuk lututnya, “kalau kamu balikin ini ke Ayah, siap-siap dia ngasih yang edisi titanium dengan diamond.”

“Ayah tuh … kenapa sih harus lebay?”

Nadhifa mengangkat bahu. “Mungkin karena dia udah nyaman sama orang terdekatnya. Tapi dari dulu, Ayah kamu selalu … pakai cara yang aneh buat bilang ‘aku peduli’.”

Yuda diam sebentar, menatap ponsel di tangannya. Susah memang. Menerima sesuatu semudah itu dari sosok yang baru saja ia panggil ‘Ayah’.

“Yud, kamu lapar lagi nggak?”

“Enggak sih. Tapi sini sebentar, Bun.”

“Ada apa?”

Yuda mengangkat ponsel dan membuka kamera depan. “Foto bareng yuk.”

Nadhifa mengerutkan dahi, seperti tidak menyangka. “Serius?” tanyanya sambil merapikan hijab.

“Iya. Masa wallpaper hape baru nggak pake foto Bunda?”

Nadhifa tersenyum kecil, lalu mendekat. Yuda menyandarkan dagunya di bahunya, tangan merangkul pelan. Kamera berbunyi. Sekali. Dua kali. Tiga kali.

Di foto itu, Nadhifa tersenyum seperti biasa. Matanya sayu, teduh, dan penuh cinta. Hijab yang ia kenakan melingkupi wajahnya rapi. 

Yuda merasa terlalu tampan untuk anak yang tumbuh di panti. Rambutnya sedikit acak-acakan, tapi senyum tulusnya menempel. Karena akhirnya, setelah bertahun-tahun, ia punya rumah. Bukan gedung panti, tapi pelukan itu, yang sekarang berdiri di sebelahnya.

Yuda mengunci layar. Dibuka lagi. Wallpaper-nya berganti. Foto mereka berdua.

Nadhifa sempat mengintip layar, lalu menepuk pipinya. “Masih kecil aja udah manis. Gede malah makin ganteng ya?”

Yuda nyengir. “Pas kecil aku buluk loh, Bund. Pas besar ganteng. Artinya Bunda yang nyeting.”

Nadhifa tertawa, lalu mengacak rambutnya. Di detik itu, Yuda tahu, meski hidupnya baru dimulai di tempat ini, pelukan Bunda akan selalu jadi tempat pulang terbaik.

Sampai kapan pun.

1
Esti Purwanti Sajidin
syemangat kaka,sdh aq vote👍
Marsshella: Makasi semangatnya Kaka, makasi udah mampir ya. Selamat datang di kisah Renzo dan Nadhifa 🥰
total 1 replies
kalea rizuky
najis bgt tau mual q thor/Puke/ kok bs alarik suka ma cwok pdhl dia bersistri apakah dia lavender marrige
Marsshella: di Alunala Alaric dia udah tobat kok dan punya anak kesayangan. Ini giliran ceritanya si Renzo 😭😭😭😭😭
total 1 replies
kalea rizuky
njirr kayak g ada perempuan aja lubang ta.... *** di sukain jijik bgt
kalea rizuky
gay kah
Wina Yuliani
tah ge ing ketahuan jg brp umur.mu nak
Marsshella: dah jadi pria matang ya 😭
total 1 replies
Wina Yuliani
emangnya mereeka beda berapa tahun ya thor?
Marsshella: seumuran mereka 😄. Kakeknya Renzo tuh punya simpanan muda dan itu Nadhifa anaknya Kakek Renzo ... ikutin terus ceritanya, ya, ada plot twist besar-besaran 🥰
total 1 replies
Wina Yuliani
ternyata ada kisah cinta terlarang yg nambahin kerumitan hidup nih
Marsshella: ada plot twist ntar 🔥
total 1 replies
Wina Yuliani
baru baca tapi udah seru, keren
Marsshella: Welcome to kisah Renzo dan Nadhifa, Kak. Ikutin terus ceritanya ya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!