Kayla terkenal sebagai ratu gelud di sekolah-cewek tempramen, berani, dan udah langganan ruang BK. Axel? Ketua geng motor paling tengil sejagat raya, sok cool, tapi bolak-balik bikin ortunya dipanggil guru.
Masalahnya, Kayla dan Axel nggak pernah akur. Tiap ketemu, selalu ribut.
Sampai suatu hari... orang tua mereka-yang ternyata sahabatan-bikin keputusan gila: mereka harus menikah.
Kayla: "APA??! Gue mending tawuran sama satu sekolahan daripada nikah sama dia!!"
Axel: "Sama. Gue lebih milih mogok motor di tengah jalan daripada hidup seatap sama lo."
Tapi, pernikahan tetap berjalan.
Dan dari situlah, dimulainya perang baru-perang rumah tangga antara pengantin paling brutal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim elly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 21
Keesokan harinya, cahaya matahari pagi menembus gorden tipis kamar Kayla. Gadis itu menggeliat malas, lalu membuka matanya perlahan.
Namun, begitu pandangannya jatuh pada sosok lelaki yang terlelap di sampingnya, jantungnya hampir copot.
Kayla buru-buru mengucek matanya, memastikan ia tidak sedang bermimpi buruk. Astaga… Axel.
Refleks, mulutnya terbuka hendak berteriak.
Tapi sebelum suara keluar, Axel tiba-tiba bangun dan membekap mulut Kayla dengan cepat. Nafasnya masih berat, wajahnya setengah ngantuk.
“Diem lo, nanti orang tua lo ke sini,” bisiknya penuh tekanan.
Kayla mendorong tangannya, matanya melotot. “Lo ngapain anjir tidur di kamar gue?!” ucapnya kesal, suaranya ditahan agar tak terdengar keluar.
Axel mengusap wajahnya dengan kasar, suaranya serak. “Ibu gue bawel nyuruh gue ke sini,gue juga ogah tidur sama lo.” balasnya, nada kesal jelas terdengar.
Kayla menendang kakinya dengan sebal. “Anying, ih! Masih ngantuk gue. Awas lo!”
Axel mendengus, lalu meraih bantal dan melemparkannya ke wajah Kayla. “Lo yang bangun, gue juga masih ngantuk.”
“Brengsek lo! Ini kamar gue, lo yang ngatur!” Kayla balas menindihkan bantal itu ke wajah Axel.
Axel meronta sambil tertawa kesal. “Akh—anjir! Engap gue! Bisa mati gue, anjir!” teriaknya.
“Pulang sana!” ucap Kayla dengan ketus, menyibakkan rambutnya.
Axel bangkit, mengangkat tangan tanda menyerah. “Ok, gue pulang. Dasar rese,” katanya ketus sebelum pergi.
Kayla menghempaskan tubuhnya kembali ke kasur. “Gila, baru nikah hidup gue udah ribet gini,” gumamnya dalam hati, menutup mata lagi.
Siangnya, rumah Kayla masih ramai oleh tamu ibu-ibu yang baru sempat datang. Suasana penuh obrolan dan tawa. Tapi Kayla masih mager di lantai atas, enggan turun.
Ponselnya bergetar—pesan dari Axel.
“Ibu gue nanyain lo mulu anjing. Kesel gue.”
Kayla mengetik malas. “Bodo amat.”
“Ke sini ngga lo?! Kalo ngga gue hajar.”
“Males. Capek,” balas Kayla sambil menguap.
“Cape ngapain lo dari kemaren molor aja.”
“Mager.”
“Ke sini kalo ngga gue seret lo!”
Kayla tersenyum miring, lalu membalas singkat: “Coba aja.”
Axel sampai mencak-mencak di kamarnya. Ibunya ngoceh terus nanyain Kayla, bikin kepalanya hampir pecah. Akhirnya sore itu, ia benar-benar melangkah ke rumah Kayla lagi.
“Hayu,” ucap Axel masih berusaha sabar, menahan nada kesalnya.
“Males akh,” jawab Kayla cuek, masih rebahan di sofa dengan bantal memeluk dada.
Axel mendengus panjang. “Kalo bukan karna ibu gue, gue juga males ke sini.” Lalu tanpa banyak basa-basi, ia menarik kasar tangan Kayla.
“Heh! Pelan dong lo bisa ngga sih?!” teriak Kayla sambil berusaha menepis.
Axel menoleh dingin, matanya menyipit. “Gue bilang tadi apa? Gue seret lo ke rumah gue.”
Kayla akhirnya mendengus pasrah. “Dasar gila, brengsek lo axel” gumamnya sambil berjalan mengikuti.
Sesampainya di rumah Axel, suasana berbeda. Banyak keluarga besar sudah berkumpul, wajah-wajah ramah menyambut Kayla.
“Anjir, banyak banget orang…” ucap Kayla dalam hati, memasang senyum paksa.
“Sini, sini duduk,” ucap Bu Ami dengan hangat, menarik tangan Kayla.
Kayla hanya tersenyum sopan, lalu duduk. “Hehe…”
“Kapan pindah ke apartemen?
Minggu depan kan mulai masuk kuliah,” tanya Bu Ami sambil menggenggam tangan Kayla penuh kasih.
Kayla menoleh ke Axel, mencoba mengelak. “Gimana Axel aja, Bu,” ucapnya tersenyum kikuk.
"Dih,so imut." Ucap axel dalam hati.
“Xel, gimana?” tanya ibunya.
Axel melirik jam tangannya, lalu asal bicara. “Sekarang aja deh. Mau mobil buat ke sana?”
Namun, Bu Ami menggeleng sambil terkekeh. “Padahal sehari lagi Xel di rumah. Kayla belum tidur di sini loh.”
Kayla kaget, wajahnya seketika pucat. Jantungnya berdetak kencang. Tidur di rumah Axel? Sekarang?
Axel menunduk, pura-pura santai. “Ya udah, besok aja,” katanya sambil langsung naik ke kamar.
Malam itu, Kayla akhirnya menginap di rumah Axel. Ia sudah berganti piyama, duduk kikuk di ujung ranjang. Matanya melirik Axel dengan wajah penuh kekesalan.
“Lo tidur di bawah,” ucap Axel ketus.
Kayla mendelik. “Ogah. Mending pulang.”
Axel memegang kepala, frustasi. “Oh God…”
Akhirnya ia menyerah. “Ya udah, lo di kasur. Gue di bawah.”
Kayla cepat-cepat rebahan di kasur, lalu memainkan ponselnya. Ia sibuk chat Revan, bahkan sempat voice note manja.
Sementara itu, Axel sudah masuk ke dunia game online di ponselnya. Setiap kali kalah, teriakannya memenuhi kamar.
Setiap kali menang, teriakannya makin berisik.
“Berisik, setan!” ucap Kayla kesal.
Axel melirik, masih fokus ke layar. “Lo juga berisik, tai. Voice note-an mulu. Chat aja bisa kali.”
Kayla mendengus, lalu meletakkan ponsel dan memejamkan mata. Beberapa menit kemudian, ia sudah tertidur pulas.
Axel masih larut dengan game-nya hingga dini hari. Baru ketika matanya benar-benar berat, ia rebah di lantai, menatap sebentar ke arah Kayla.
Bibirnya menggumam lirih, “Rese banget… tapi cantik juga,” sebelum akhirnya tertidur.
Keesokan harinya, matahari baru saja menyelinap di balik tirai kamar ketika suara lantang Bu Ami memanggil-manggil dari lantai bawah.
Kayla menggeliat dengan malas, matanya masih berat.
“Masih ngantuk,” ucapnya sambil menguap panjang, wajahnya kusut.
Axel, yang duduk di ujung ranjang sambil mengusap wajahnya sendiri, ikut mengeluh. Rambutnya ia acak-acak sembarangan.
“Sama anjir, mamah kenapa jadi gini ikh… kesel banget,” gerutunya setengah kesal.
Dengan langkah gontai mereka bergantian masuk kamar mandi.
Setelahnya, tanpa banyak bicara, keduanya turun ke ruang makan.
Aroma nasi goreng buatan Bu Ami menyambut, memenuhi ruangan dengan wangi gurih yang membuat perut berontak meski mata masih sayu.
Mereka duduk, piring terhidang. Tapi Bu Ami menatap keduanya dengan raut heran.
“Kalian belum mandi?” tanyanya sambil menaikkan alis.
Axel dengan cuek menjawab, sendok sudah nyangkut di mulut.
“Ngga, males. Dingin.”
Bu Ami menatap tajam. Suaranya menurun, lebih seperti sindiran.
“Loh… kalo abis ngelakuin itu, harusnya mandi dulu. Itu namanya adus, bersih kan diri.”
Kalimat itu seperti petir di siang bolong. Kayla langsung tersedak, batuk-batuk hingga wajahnya memerah.
Cepat-cepat ia raih gelas untuk meneguk air, berusaha menutupi rasa malunya.
“S-saya lagi haid, Bu…” ucapnya gugup sambil tersenyum kaku.
“Oh gitu ya… ya sudah nggak apa-apa. Tapi lain kali, jangan langsung makan ya.” Nada Bu Ami berubah jadi lembut, menasehati seperti seorang ibu.
Kayla hanya menunduk, wajahnya merona merah, suaranya kecil.
“Iya, Bu.”
Obrolan beralih saat Ayah Axel menaruh koran di meja. Pandangannya beralih ke putranya.
“Axel, mau mobil yang mana?”
Mata Axel langsung berbinar, senyum liciknya tersungging.
“Mau dibeliin yang baru,” ucapnya ringan, seolah minta mainan.
“Boleh, hadiah pernikahan kamu. Tapi dengan syarat, jangan nakal lagi. Kamu harus jaga istri kamu, sayangi dia.” Suara ayahnya tegas, penuh wibawa.
Kayla dalam hati hanya bisa mendesah, apa anjir… minta mobil kayak minta permen.
“Siap. Axel pilih sendiri ya mobilnya,” jawab Axel sambil terkekeh kecil.
Giliran Kayla yang ditatap. Ayah Axel tersenyum hangat.
“Kayla mau apa dari Papa?”
Kayla buru-buru menggeleng, senyumnya kaku.
“Nggak ada kok, Pah. Udah cukup.”
Axel menimpali, menatap Kayla dengan sorot menggoda.
“Minta aja lo, mau apa?”
Kayla tetap menggeleng, pura-pura sibuk dengan nasi gorengnya.
“Ngga akh.”
“Papa belikan ponsel baru buat kamu, ya?” tawar Pa Herman, suaranya penuh kasih.
Kayla spontan menoleh. Raut wajahnya yang semula kaku berubah berbinar, ekspresi senang tak bisa ia sembunyikan.
“Makasih, Pah…” ucapnya sambil tersenyum tulus.
Siang itu, mereka sibuk beres-beres pakaian. Apartemen sudah menunggu, sebuah langkah baru setelah pernikahan yang tiba-tiba.
Di perjalanan, suasana hening. Kayla menatap keluar jendela, pikirannya melayang.
“Gue ngekost aja sama Anya,” katanya tiba-tiba, suaranya dingin.
Axel tetap fokus menatap jalan, tangannya mantap di setir.
“Terserah.”
Tak ada lagi kata-kata. Beberapa jam kemudian, mobil berhenti di depan kos Anya. Kayla turun, menenteng tas pakaiannya.
Tanpa basa-basi, ia langsung melangkah pergi. Axel pun tancap gas tanpa sepatah kata pun.
Anya yang melihat dari pintu kos melongo, lalu terkekeh.
“Dih, ini pengantin langsung minggat.”
Kayla mendesah berat, lalu menjatuhkan diri ke kasur Anya.
“Males gue lama-lama di rumah. Harus ini, harus itu… muak gue.”
“Hahaha, ya emang gitu kalau nurutin kemauan ortu,” balas Anya sambil ngakak.
Sore menjelang malam, Laras datang. Tiga sahabat itu berkumpul, obrolan ngalor-ngidul mengisi waktu hingga langit benar-benar gelap. Kayla akhirnya berbaring, menunggu video call dari Revan.
Ponselnya berdering. Wajah Revan muncul di layar.
“Hay, Revan,” sapa Kayla dengan senyum manis yang seketika meluluhkan letihnya.
“Hay, sayang.” Revan tersenyum, meski jelas terlihat gurat lelah di wajahnya.
Kayla mendecak manja.
“Lemes banget, Revan. Cayang gemesin…”
“Iya, baru pulang kerja.” Revan tetap tersenyum, meski matanya berat.
“Udah makan?” tanya Kayla lembut.
“Udah, tadi.”
“Kamu lagi di mana?” Revan menatap layar, seolah ingin memastikan.
“Kosan Anya,” jawab Kayla singkat.
“Ngga serumah sama Axel?” Nada Revan penuh rasa ingin tahu.
“Ngga, ikh. Ngga mau.” Kayla mencibir, wajahnya cemberut.
“Kalo ibu kamu tau gimana, Kay?” tanya Revan hati-hati.
Kayla menunduk, suaranya pelan, tapi sarat emosi.
“Van… aku cuma selametin nama orang tua aja. Biar mereka nggak malu. Undangan udah tersebar.”
Revan terdiam sejenak, lalu mengangguk.
“Iya, aku paham. Ya udah, nggak apa-apa. Kapan masuk kuliah?”
“Senin.”
“Semangat ya… si Romi jadi dilanjut?”
“Jadi. Dia jurusan komputer.”
“Oh gitu. Bobo dulu, ya.”
Kayla tersenyum manis, matanya berbinar.
“Sok, aku liatin kamu bobo.”
Revan hanya mengangguk, bibirnya melengkung tipis. Tak lama, matanya tertutup, napasnya teratur.
Kayla menatap layar lama sekali, seolah ingin masuk ke dalam mimpinya. Ada rasa ingin memeluk lelaki yang sedang berjuang keras itu.
Lelaki yang ia sayangi, meski dunia terus menekannya.
Aku tau kamu hancur, Van… bisiknya dalam hati.
Pelan-pelan, kelopak matanya ikut terpejam. Malam itu, ia pun tertidur dengan wajah Revan sebagai mimpi terakhir yang ia lihat.