Thalia Puspita Hakim, perempuan berusia 26 tahun itu tahu bahwa hidupnya tidak akan tenang saat memutuskan untuk menerima lamaran Bhumi Satya Dirgantara. Thalia bersedia menikah dengan Bhumi untuk melunaskan utang keluarganya. Ia pun tahu, Bhumi menginginkannya hanya karena ingin menuntaskan dendam atas kesalahannya lima tahun yang lalu.
Thalia pun tahu, statusnya sebagai istri Bhumi tak lantas membuat Bhumi menjadikannya satu-satu perempuan di hidup pria itu.
Hubungan mereka nyatanya tak sesederhana tentang dendam. Sebab ada satu rahasia besar yang Thalia sembunyikan rapat-rapat di belakang Bhumi.
Akankah keduanya bisa hidup bahagia bersama? Atau, justru akhirnya memilih bahagia dengan jalan hidup masing-masing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JANGAN SEBUT NAMA MIA DI SINI
"Kamu lapar atau memang enak nih masakan?" Julian mengulum senyum melihat Thalia yang sudah menghabiskan porsi kedua makanannya.
Mereka sedang berada di ruang makan rumah Bhumi. Begitulah Thalia biasa menyebutkannya. Setelah mogok sarapan dan membuat pekerja di rumah lelah membujuknya, Thalia pun langsung menghubungi Julian dan minta di bawakan makanan.
Makanan yang Julian bawa itu sederhana, nasi daun jeruk dan ayam goreng rempah. Lengkap dengan sambal bawang yang Thalia yakini Julian beli di restoran nusantara langganannya.
Pria yang pernah bekerja sebagai model itu memiliki bakat mengolah makanan. Hanya saja, makanannya sering dihujat Thalia.
Thalia menyipit melirik Julian. "Kayaknya ini bukan kamu yang masak deh. Tumben banget sesuai selera aku."
"Enak aja. Lihat deh, ini tanganku sampai kena cipratan minyak! Bisa-bisanya kamu malah nuduh aku gitu." Julian menggulung kemejanya dan menunjukkan luka bekas cipratan minyak.
Thalia melirik lengan bawah Julian. Memang terdapat beberapa bekas luka bakar.
"Itu sertifikat kursus masak kamu mendingan digadai aja deh, Jul. Masa goreng ayam aja sampai luka-luka begitu." Thalia menatap Julian sembari menahan tawa. Kemudian beranjak berdiri lalu pergi.
Julian mendengkus. Namun, senyumnya langsung terbit saat Thalia berjalan pelan dengan kotak P3K kecil di tangannya.
Julian bangkit dan langsung berlari menghampiri Thalia. "Nggak usah lebay, Tha. Luka beginian nanti juga hilang."
Thalia tersenyum simpul. Membiarkan Julian membantunya berjalan. "Jangan dong. Nggak rela aku, tangan halus sahabat ganteng ku ini jadi ternodai."
"Dasar!" Julian mengacak rambut Thalia, pelan.
Kini keduanya kembali duduk di ruang makan. Thalia lalu mengoleskan obat bakar di lengan Julian. Gerakannya begitu pelan dan hati-hati. Thalia juga meniup luka tersebut, khawatir membuat Julian kesakitan.
"Tapi makasih loh, Jul. Udah mau datang ke kandang singa," gurau Thalia dengan cengirannya.
Julian tidak peduli. Suami Thalia memang galak. Namun, Julian lebih mementingkan kesehatan Thalia daripada keselamatannya.
"Aku ke sini nganterin makanan buat kamu, Tha. Harusnya suami kamu berterima kasih karena aku berhasil balikin nafsu makan kamu."
"Sombong sekali anda!" sahut Thalia. Namun, kehadiran Julian membuat suasana hatinya terasa lebih baik. "Tapi sebenarnya bisa dikirim via ojek aja."
"Enak aja! Kesannya kayak nggak butuh aku banget, ya!" Julian pura-pura kesal, membuat Thalia tertawa pelan.
Perut bawahnya masih cukup sakit. Tapi sudah lebih berkurang.
"Gimana keadaan kamu? Sakitnya parah banget, ya? Mau aku bawa ke rumah sakit?" Julian menatap Thalia dengan cemas. Nada khawatirnya begitu kentara.
Thalia yang ditatap begitu dalam oleh Julian jadi terkikik geli. "Aneh banget tau, Jul! Jangan gitu natapnya. Orang bisa salah sangka nanti."
Julian menghela napasnya gusar. Kemudian, jemarinya menyentil kening Thalia hingga memerah.
"Namanya juga khawatir. Lebih aneh kalau aku nggak khawatir sama kamu."
Kulit Thalia yang putih itu memerah. Thalia mengusap keningnya. "Sakit loh ini. Tega banget!"
Julian menahan tangan Thalia. Kemudian menurunkan tangan tersebut sehingga ia bisa melihat jelas kening Thalia. Ia meringis melihat bekas memerah itu.
"Emang merah sih, Tha. Sini aku tiup." Julian hendak meraih kepala Thalia, tetapi dengan cepat wanita itu menghindar.
Julian terkejut. Thalia menggeleng cepat.
"Yang ada orang salah paham nanti. Pulang sana! Tadi katanya lagi sibuk banget bantuin Tante ngurus pesanan."
Julian melihat sekelilingnya. Hampir saja ia lupa di mana ia sekarang. Thalia menatapnya bingung.
"Nyariin apa?"
Julian kembali menatap Thalia. Sebenarnya sejak tadi ia mencari foto pernikahan Thalia dan Bhumi. Tidak ada satu pun figura di rumah besar ini. Sepanjang yang ia tahu.
Rumah besar ini juga terasa begitu sunyi. Berbanding terbalik dengan kepribadian Thalia yang ceria dan suka keramaian.
"Rumah ini memang sepi. Para pekerja ya sibuk sama pekerjaannya masing-masing. Biasanya ada Hanum yang nemenin aku," ujar Thalia tahu apa yang Julian cari.
Julian berdehem. Kemudian, menatap Thalia lebih lekat. "Mia khawatir banget sama kamu, Tha. Dia nyariin kamu sejak semalam."
"Makasih ya, kamu udah jagain Mia. Aku pasti bukan ibu yang baik, ya?" Thalia menunduk, merasa menyesal karena telah membuat Jemia khawatir.
"Kamu memang bukan ibu yang baik!"
Thalia mendongak, begitu pula Julian. Keduanya sama-sama saling menatap, sebelum akhirnya menoleh ke sumber suara.
Bhumi berdiri tidak jauh dari mereka. Kacamatanya membingkai mata yang menatap kedua orang itu datar.
"Hai, Bhumi!" Julian bangkit untuk menyapa suami sahabatnya.
Senyum hangatnya hanya dibalas dengusan kasar Bhumi. Pria itu bahkan melewati Julian dan fokus kepada Thalia.
Wanita itu memang senang menguji emosinya. Di antara semua pakaian yang bisa wanita itu pakai, mengapa ia harus mengenakan daster rumahan berlengan sebahu dengan panjang sebatas lutut itu?
Bhumi melepas jasnya dengan gusar. Kemudian, ia kenakan pada Thalia.
"Rumah saya bukan tempat untuk kamu menggoda pria lain. Jangan menunjukkan jalangnya kamu di rumah ini."
Thalia yang sudah biasa mendengar itu tidak merespon apapun. Berbeda dengan Julian. Kedua tangannya mengepal menahan amarah.
Bagaimana bisa seorang suami berkata sekasar itu pada istrinya?
"Kamu mau pulangkan, Jul?" Thalia melihat jelas sahabatnya itu sedang menahan amarah. Tentunya Thalia tidak akan membiarkan itu terjadi.
Ini rumah Bhumi. Julian bisa babak belur oleh orang-orang Bhumi yang berbadan kekar itu.
Mata Julian melotot, ingin protes. Namun, senyum kaku dan kode mata Thalia membuatnya menghela napas.
Thalia serius menyuruhnya pulang.
Bhumi berbalik. Wajahnya masih mengetat seperti tadi. Matanya sedikit memicing seolah menatap Julian dengan detail.
"Jangan membicarakan anak kalian di rumah saya. Lebih baik anda pulang sekarang. Sebelum kaki anda saya patahkan."
Tidak ada keraguan dari setiap perkataannya. Namun, ada sesuatu yang membuat Julian dan Thalia bingung.
"Anak kalian?" Julian membeo. "Maksud kamu?"
"Jul, pulang sana!" tegur Julian. Wajahnya panik.
Julian mengangguk. Tampaknya semakin lama ia di sini, semakin tidak baik untuk Thalia.
"Aku pulang. Semoga lekas membaik, ya. Jangan rewel kalau minum obat."
"Iya. Hati-hati, ya." Thalia tersenyum, tidak peduli dengan tatapan Bhumi yang semakin tajam.
Ah, Thalia sudah sangat sering ditatap seperti itu. Ia sudah kebal.
"Bye, Tha!" Kemudian, beralih menatap Bhumi. "Saya pulang. Tolong jaga dia dengan baik."
Bhumi tidak menyahut. Ia bahkan tidak memasang wajah ramah di hadapan Julian.
Julian pun pergi. Meninggalkan Thalia dan Bhumi berdua di ruang makan. Suasana di tempat luas itu pun berubah hening.
Thalia yang memang malas melihat Bhumi lantas bangkit dari duduknya. Namun, belum sempat ia melangkah tubuhnya lebih dulu melayang.
"Aaa!" teriak Thalia spontan. Kedua tangannya pun berada di bahu Bhumi. "Turunin nggak!"
Bhumi hanya melirik Thalia sekilas. Ia sama sekali tidak tertarik menuruti permintaan Thalia. Suasana hatinya sedang buruk.
Ia benci melihat Thalia yang bisa berperilaku manis pada Julian. Thalia tertawa dan mengeluarkan gurauan. Itu seperti sosok Thalia yang belum pernah ia jumpai, selama Thalia berada dekat dengannya.
Namun, yang lebih Bhumi benci adalah saat mereka berdua membicarakan tentang anak mereka, Mia atau apalah itu namanya.
"Thalia!" Bhumi baru saja mendudukkan Thalia di tempat tidur.
Thalia tidak menjawab, tetapi ia menoleh tepat pada Bhumi dengan malas.
"Jangan membicarakan Mia di sini. Saya sangat tidak suka mendengarnya."
*
*
*
I'm back, guys. Terima kasih untuk dukungan kalian, ya. Jangan lupa tinggalkan jejak, yaaa. Apapun dukungan kalian sangat berharga untuk author :)
selalu menghina Thalia dengan menyebut JALANG, tapi tetep doyan tubuh Thalia, sampai fitnah punya anak hasil hubungan dengan Julian, giliran udah tau kl anak itu anak kandungnya sok pengin di akui ayah.
preet, bergaya mau mengumumkan pernikahan, Kemarin " otaknya ngelayap kemana aja Broo.
Yuu mampir, nyesel dh kalo gak baca..
maksa bgt yaa, tapi emang ceritanya bagus ko.. diksinya bagus, emosi alur sesuai porsinya, gak lebay gak menye-menye...
enteng sekali pengakuan anda Tuan,
amnesia kah apa yg kau lakukan sebelum tau tentang Jemia..??
Masiih ingat gak kata ja lang yg sering kau sematkan untuk Thalia..?? dan dg tanpa beban setitikpun bilang Thalia dan Jemia hal yg "paling berharga" dihidupmu.. 😏
sabarrrr
kurang ka,
coba gimana rasanya ntar pas ketemu langsung, Jemia menolak km sebagai Papanya.. atau reaksimu saat Jemia malah berdoa untuk Papa yg katanya udah di Surga... 🤭