Doni Pradipta, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef (Koki Pribadi) bagi Naira Adani, aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Pertemuan keduanya yang semula hanya soal pekerjaan perlahan berubah menjadi perjalanan penyembuhan dua hati yang sama-sama retak mencoba untuk bertahan. Di dapur itu, Naira menemukan kembali rasa aman, sementara Doni menemukan alasan baru untuk percaya pada cinta kembali.
Ikuti kisah mereka yang penuh emosi, tawa, dan luka yang perlahan sembuh.
Jangan lupa dukung karya ini dengan Like, Comment, dan Vote agar cerita mereka bisa terus berlanjut. 🤍✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30. DI TENGAH LARANGAN, ADA KITA
..."Cinta mereka bukan sekadar temuan hati, tapi keberanian dua jiwa yang memilih tetap tinggal, bahkan ketika dunia menuntut mereka berpisah."...
...---•---...
Suara langkah kaki menghilang ke arah kamar mandi. Beberapa menit berharga tersisa. Tapi momen itu sudah retak. Realitas menyelinap masuk, dingin dan nyata seperti udara pagi yang mulai menyusup lewat jendela.
Doni tidak mundur. Tangannya masih menangkup wajah Naira, ibu jarinya mengusap tulang pipi dengan lembut. Tatapannya tidak bergeser, mata cokelat gelapnya menatap mata Naira dengan intensitas yang membuat napas tertahan.
"Oke." Suaranya lebih tegas kali ini, seperti keputusan yang sudah final. "Oke. Tapi kita jalani ini dengan benar. Kita komunikasi, saling cek. Kalau kamu tidak nyaman atau tertekan..."
"Aku bakal bilang. Janji." Senyum lega muncul di wajah Naira, bahu yang tadinya tegang perlahan turun. "Dan kamu juga harus begitu. Ini dua arah. Kita berdua punya kendali."
Doni mengangguk pelan. Tangannya turun ke pinggang Naira, menariknya lebih dekat dengan gerakan yang hati-hati tapi penuh kepastian. Kehangatan tubuh mereka saling berpadu, dada bertemu dada.
"Kalau begitu, aku mau jujur. Aku mau ini. Mau kita. Sepenuhnya." Napasnya tercekat, suaranya parau. "Tapi aku juga takut. Takut kehilangan kamu, takut menyakiti kamu, takut semua ini ternyata salah."
"Selamat datang di dunia manusia." Lengan Naira melingkar di leher Doni, jemarinya bermain di tengkuk, menyentuh rambut yang mulai basah oleh keringat. "Kita semua takut. Bedanya, kita hadapi bareng, bukan sendiri."
Ciuman mereka menyatu. Bukan lagi ragu seperti ciuman-ciuman sebelumnya, tapi penuh intensitas dari minggu-minggu penahanan yang akhirnya pecah. Rasanya seperti pulang ke rumah dan terjun dari tebing dalam waktu bersamaan, aman tapi mendebarkan.
Tangan mereka meraba arah, seolah saling mengenal ulang. Lapar, namun tetap lembut. Punggung Naira bersandar pada meja, tubuh mereka selaras, bergerak tanpa perlu satu kata pun. Tangan Doni naik perlahan di sepanjang punggungnya, merasakan hangat yang tersimpan di balik kain tipis itu. Ciuman mereka semakin dalam. Napas saling menyatu, hangat menyentuh kulit masing-masing.
Ruang menyusut sampai tidak ada lagi jarak. Hanya kehangatan, sentuhan, dan bunyi napas yang tidak teratur.
Saat akhirnya berpisah untuk menghirup udara, keduanya terengah. Bibir memerah, bengkak. Doni menempelkan keningnya ke kening Naira, mata terpejam, mencoba mengatur detak jantung yang berpacu.
"Kita mungkin harus pelan-pelan." Suaranya tanpa keyakinan, lebih seperti formalitas.
"Mungkin." Nada suara Naira sama sekali tidak menunjukkan niat berhenti. Jemarinya menelusuri garis rahang Doni, turun ke leher. "Tapi mungkin belum sekarang."
Ia tersenyum menggoda, mata berkilau dengan sesuatu yang sudah lama tidak ada, keinginan yang tidak ditutupi rasa takut.
Ciuman kembali menyambar. Lebih berani. Lebih dalam. Tangan Doni menemukan lengkungan pinggang Naira, menariknya lebih dekat hingga tak ada ruang tersisa di antara mereka. Jemari Naira terselip di rambutnya, menarik sedikit. Waktu seolah menguap di antara napas dan sentuhan, sebuah suara kecil lolos tanpa kendali, erangan lembut yang membuat genggaman Doni semakin mengencang.
Lalu, dari kejauhan, terdengar bunyi langkah. Lebih dekat kali ini. Cukup untuk mengembalikan mereka ke dunia nyata dengan kejutan seperti air dingin.
Dengan berat, mereka akhirnya berpisah. Pakaian keduanya kusut, bibir sedikit bengkak, dan wajah sulit menyembunyikan apa yang baru saja terjadi. Kerah jubah Naira sedikit terbuka, sementara kemeja Doni berkerut akibat genggamannya.
"Aku harus mandi, biar kelihatan waras." Suara Naira serak, napasnya masih belum teratur.
"Aku mulai siapkan sarapan." Doni menepuk rambutnya yang berantakan gara-gara jemari Naira, mencoba menata kembali kemeja yang kusut.
Tatapan mereka bertemu. Tawa kecil pecah, menembus sisa ketegangan. Dua orang dewasa yang menyelinap seperti remaja, bersembunyi dari pengawasan orang dewasa.
"Malam ini." Bisik Naira, jemarinya menyentuh bibir Doni sekilas, sentuhan yang menjanjikan lebih. "Setelah semua orang pulang. Temui aku di taman?"
"Pertemuan rahasia di taman." Doni tersenyum, menangkap jemarinya dan mengecup buku jari. "Romantis banget, dan klise. Tapi aku pasti datang."
Naira mencium pipinya singkat, bibirnya berlama-lama di sana sebentar, lalu naik ke atas. Setiap langkah di tangga terdengar seperti countdown.
Doni bersandar di meja, tangannya mencengkeram tepi untuk menstabilkan diri. Kakinya sedikit gemetar. Mencoba menata napas dan mencerna apa yang baru terjadi. Pikirannya masih dipenuhi momen tadi: rasa bibir Naira, kehangatan tubuhnya, cara dia merespons setiap sentuhan.
Mereka sudah menyeberangi garis itu. Jelas. Tidak ada jalan kembali.
Suara hatinya mengingatkan tentang risiko dan konsekuensi. Pasal dua belas. Lima ratus juta. Restoran. Tapi sisi lain, yang telah lama diam selama lima tahun, akhirnya bernyanyi lagi. Hidup. Hangat. Berdetak kencang. Karena Naira.
Tiba-tiba terasa terlalu panjang. Dan di saat bersamaan, tidak cukup untuk menampung semua yang dia rasakan.
Tapi mereka akan jalani perlahan. Hari demi hari. Momen demi momen. Ciuman yang dicuri sebelum matahari naik, pertemuan diam di taman malam, dan wajah tenang yang harus mereka kenakan di depan dunia.
Situasinya agak sulit? Jelas.
Rumit? Sangat.
Sepadan? Tidak perlu diragukan.
Doni mulai memotong bahan sarapan dengan senyum yang tidak bisa hilang. Pisau bergerak dengan ritme familiar, tapi pikirannya melayang, mengingat sentuhan, mengantisipasi malam nanti. Hatinya ringan, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun. Karena di tengah semua kesulitan ini, dia tahu satu hal pasti:
Dia ada di tempat yang benar.
Bersama Naira. Dalam bentuk apa pun yang bisa mereka jalani.
Untuk sekarang, dan sejauh masa depan mengizinkan.
Dan itu, seaneh, seberisiko apa pun, terasa seperti pulang ke rumah.
...---•---...
...Bersambung...