tidak mudah bagi seorang gadis desa seperti Gemi, untuk menjadi seorang prajurit perempuan elit di kerajaan, tapi yang paling sulit adalah mempertahankan apa yang telah dia dapatkan dengan cara berdarah-darah, intrik, politik, kekuasaan mewarnai kehidupannya, bagaimana seorang Gemi bertahan dalam mencapai sebuah kemuliaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mbak lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
benteng bukit kerang
Ki Karta dan istrinya menyambut kedatanganku drngan senang hati, rupanya beberapa tahun lalu seorang gadis dari desa di pesisir yang yatim piatu tinggal bersama keduanya dan diangkat menjadi anak angkat, aku tidak berani bercerita tentang pertemuanku dengan Lakso yang sesungguhnya, aku takut harapan itu kabur, juga takut mengatakan sesungguhnya kondisi anak itu yang menjadi perampok, tentu saja itu bukan pekerjaan yang pantas dibanggakan.
" benarkah kau menjadi prajurit di kotaraja ?" Tanya Ki karsa dan aku mengangguk, pria tua itu manggut-manggut.
" ayolah ikutlah denganku, aku ingin menceritakan sesuatu yang menjadi rahasia kami selama ini " kata ki karsa dan menggandengku masuk ke kamarnya, aku kikuk tapi menurut.
" sum, ambillah beberapa sayur di petegalan " perintah nyai karsa memerintah putri angkatnya, mungkin ini adalah pembicaraan yang cukup rahasia.
aku duduk di tepi ranjang, ki Karsa mengambil sesuatu dari lemari bajunya, nyai karsa memberikan sebuah cincin bayi, dan membeberkan sehelai pakaian bayi.
" lihatlah baju ini " kata nyai karsa, aku meraba baju itu dan menyimpulkan sesuatu
" baju ini berkualitas bagus, tidak ada warga desa yang memakai bahan seperti ini untuk dipakai " kataku, ki Karsa mengangguk dan memberikan cincin ke tanganku.
Ki karsa menceritakan pengalamanya beberapa puluh tahun lalu ketika dia menemukan Lakso, aku berdebar mendengar cerita itu dan memandangi cincin di tanganku, cincin bayi itu biasa saja, tapi setelah aku memandangnya dengan teliti ada cap tiga cakap Naga.
tiga cakar Naga adalah cap yang digunakan untuk putra atau putri sunuhun, sedangkan lambang sinuhun sendiri adalah cakar lima naga, semua itu ada di pelajaranku aku menitikkan keringat dingin tapi tidak berani berterus terang.
" mungkin hilangnya Lakso berhubungan dengan asal usulnya " kata ki Karsa dengan pelan.
" iya ki, mereka sebelum membawa Lakso bertanya lebih dulu berapa umurnya " jawabku, otaku mulai berpikir banyak
apakah mungkin Lakso adalah salah satu pangeran negri ini ?
aku berjanji untuk menyelidikinya dan mencari orang yang akan mambantuku mencarinya, kedua orang tua itu sedikit merasa senang.
Aku harus kembali, masa cutiku sudah terlalui drngan banyak, tapi keadaan nenek membuatku kuatir
" yang datang akan datang, yang harus pergi juga akan pergi, jangan terlalu memikirkan keadaan dirumah, segeralah kembali ke kesatuanmu " kata kakak ketika aku masih ragu untuk pergi, aku memeluknya dengan erat seakan aku tidak akan melepaskan lagi, dia adalah kakaku, kami tidak lagi berantem setiap hari, tapi kami berdua menjadi sosok asing yang saling menjaga jarak, aku sungguh ingin kembali ke masa lalu.
waktu libur sudah selesai, penempatan pertamaku adalah kesatuan Candraka dengan pangkat senapati, kami menempati bangsal kesatrian di sebelah kanan keraton, bangsal kecil itu dihuni oleh sepuluh orang perempuan, Aku, Laras dan Retno tergabung dengan tujuh perempuan yang lain, Sari, Anin, Wani, Ratih, Dewi, Galuh dan Wulan.
Pada awal penugasan kami, kekacauan sedang terjadi, pecahnya pemberontakan Pangeran Soka yang merupakan adik dari sinuhun, pangeran Soka sudah mempersiapkan semua jauh-jauh hari, keadaan kotaraja kacau balau, aku bersama Wani dan Ratih mempunyai tugas khusus dalam kondisi genting tidak tertolong kami berdua bertanggung jawab terhadap keselamatan ibunda sinuhun dan mengungsikan ke gunung Bedadu.
sudah berhari-hari pasukan disiapkan, beberapa kalo aku juga kebagian untuk berkeliling mengontrol keadaan di sekitar istana, pasukan pangeran Soka bergeser ke arah keraton, rakyat panik dan membentuk gelombang pengungsian, dalam kekacauan korban yang paling besar adalah rakyat kecil, maling dan rampok merasa lela memanfaatkan situasi, pasukan bayangkara bekerja lebih keras dari siapapun.
pagi buta terdengar sangsakala ditiup dengan nyaring, pertanda perang pecah di bukit Bander di batas Utara kotaraja, kami semua tegang
Pasukan Bayangkara benar-benar berada di garis depan, sedangkan pasukan kami yang lebih sedikit berada di lapisan kedua, dan menghalau pemberontak untuk masuk ke keraton, sedangkan di Bander pertempuran pasukan kerajaan dan pasukan pangeran Soka masih berlangsung.
seorang penghubung datang, dan menghadap pimpinan pasukan pengaman dalam.
" pasukan candraka segera bergerak " perintah akhirnya diberikan.
semua sudah disiapkan, delapan tandu berisi permaisuri, para selir, ibu suri dan beberapa putri naik tandu, beberapa putri dan selir ada yang menaiki kuda, sepuluh pengawal perempuan dan sepuluh lelaki bersama bergerak mengiring rombongan wanita tingkat atas, aku wani dan Ratih menaiki kuda kami masing-masing lebih mendekat ke tandu Ibu suri.
kami bergerak mengungsi meninggalkan saudara-saudari kami yang sedang berjuang bertaruh nyawa.
para selir dan putri yang menggunakan kuda menderap kudanya terlebih dahulu dipimpin oleh Senapati Galuh, kami terbagi dalam dua rombongan,
perjalanan dengan tandu yang masing-masing dibawa oleh empat orang lelaki jauh lebih sulit daripada yang berkuda, kami berpacu dengan waktu mencoba membawa rombongan secepat kami bisa.
terdengar suara rombongan derap kuda, tandu-tandu diturunkan, semua bersiap dengan senjata masing-masing, ternyata rombongan berkuda kami sendiri, mereka diserang oleh orang berkuda sempalan dari pemberontak yang memang menunggu kami di wilayah ini,
" kekuatan mereka berapa orang " tanya senapati untara yang merupakan pemimpin kami,
" sekitar empat puluh atau limapuluh pasukan berkuda " jawab senapati Widura,
" masuk ke hutan " kita akan memintas jalan di lereng bukit kerang, ada benteng kecil disana, sementara kita akan berlindung disana " jawab senapati untara, sulit bagi kami sampai di Bander ketika perjalanan kami sudah terendus pemberontak, kami setuju dengan itu.
" ada apa " kata ibu suri muncul dari dalam kelambu, memakai baju putih dengan memegang semacam tasbih untuk menghitung rapalan doa.
perempuan yang di dalam tandu lainya juga bermunculan , terjadi perdebatan kecil, beberapa orang tidak mau menurunkan egonya untuk berjalan, memakai tandu ke bukit kerang hampir mustahil, jalannya setapak kecil dan naik, tapi demikianlah kadang beberapa orang putri bangsawan sangat manja, bahkan ketika kami terdesak sangat sulit membuat mereka tunduk.
beberapa perempuan mulai memaki kami dan menyalahkan ketidak becusan kami.
" inikah yang dibilang bahwa satu orang setara tiga orang prajurit, bukankan mereka hanya lima puluh orang dan kalian dua puluh orang, bukankah seharusnya personil kita lebih kuat " kata putri Triwedari, bola matanya hampir keluar melotot ke arahku, aku menunduk bukan begini konsepnya tolol.
" hamba tidak bisa berjalan nenek " katanya merajuk kepada ibu suri,
" Ibu Suri, tolong kita harus segera berangkat, di depan kita sudah kehilangan orang-orang kita, " ucapku,
" Kau ambillah keputusan, kau ketua rombongan ini " kata ibu suri memberiku sebuah senyum kemenangan, aku menghunuskan celurit kebanggaanku.
" semua berjalan ke arah benteng bukit kerang, Senapati Lohdare segera memimpin di depan, yang tidak mau pergi tetaplah tinggal " kataku tegas dan berani.
rombongan bergerak berjalan, beberapa orang berboncengan di kuda, yang lain berjalan
" maaf sudah membuat ibu suri turun dari tandu " kataku sambil menuntun kuda ibu suri.
rombongan berjalan merayap sangat pelan, pada dasarnya semua putri bangswan mempunyai walaupun itu sedikit, pasti diajari berkuda, bukankah lebih baik berkuda dari pada naik tandu, sungguh tidak masuk akal.
" tidak apa " kata ibu suri