“Dikhianati suami, ditikam ibu sendiri… masihkah ada tempat bagi Andin untuk bahagia?”
Andin, seorang wanita sederhana, menikah dengan Raka—pria miskin yang dulu ia tolong di jalan. Hidup mereka memang pas-pasan, namun Andin bahagia.
Namun kebahagiaan itu berubah menjadi neraka saat ibunya, Ratna—mantan wanita malam—datang dan tinggal bersama mereka. Andin menerima ibunya dengan hati terbuka, tak tahu bahwa kehadiran itu adalah awal dari kehancurannya sendiri.
Saat Andin mengandung anak pertamanya, Raka dan Ratna diam-diam berselingkuh.
Mampukah Andin menghadapi kenyataan di depannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Mobil Andin melaju menembus keramaian. Kedua matanya menatap kosong ke luar jendela.
Setelah sekian lama. Setelah dirinya sukses dan meninggalkan masalalunya, Kini masalalu itu kembali. Raka hadir di depan matanya.
Air matanya menetes tak tertahan. Kenangan buruk itu kembali berputar, dimana dia kehilangan suami yang amat dia cintai, kehilangan seorang ibu yang memilih berselingkuh dengan suaminya sendiri. kehilangan anak yang dia perjuangkan selama bertahun-tahun dan akhirnya tak bisa dia pertahankan. Ingatan pahit itu menyakiti batinya. Merobek isi hatinya hingga tak tersisa.
"Kenapa? Kenapa kau datang lagi setelah aku sudah nyaman dengan kehidupan ku yang baru, Raka?" lirihnya sakit.
Sinar mentari sore itu, tak memberikan kehangatan. Melainkan hanya sebuah luka yang kembali digoreskan.
Ditengah kesedihannya, suara dering handphone mengagetkan Andin.
Nama Hans tertera di layar handphone miliknya. Andin segera mengusap air matanya sebelum mengangkat telepon itu.
"Hallo. Ada apa Hans?" ucap Andin sedikit terdengar parau habis menangis.
Hans diam sejenak.
"Andin. Kenapa? Apa ada masalah?" Tanya Hans segera yang langsung menyadarinya.
"Tidak Hans. Aku hanya teringat dengan anakku. Jadi aku agak sedih" jawab Andin cepat.
Hans diam lagi.
"Mau makan? Kamu dimana? Mau aku jemput?" Tanya Hans lagi mencoba menghibur Andin.
"Tidak usah. Aku bisa kesana, aku bawa mobil kok" jawab Andin segera.
"Baiklah. Aku tunggu di tempat biasa ya.... "
"Iya... Aku segera kesana" jawab Andin sebelum mematikan telepon. Andin pun melajukan mobilnya menuju lokasi.
Tak lama. Andin pun sampai.
Restoran malam itu cukup ramai oleh cahaya lampu gantung dan alunan musik lembut.
Andin melihat Hans, dan langsung menghampirinya.
"Sudah lama?" tanya Andin.
"Gak...baru aja sampai" jawab Hans segera.
"Yuk duduk" Hans dengan penuh perhatian menarik kursi mempersilahkan Andin duduk disana.
Andin nampak cantik dan dia duduk di meja dekat jendela berhadapan dengan Hans.
Hans menatap Andin. sama seperti sebelumnya, penuh kekaguman yang sulit ia bantah.
"Hans, kenapa?" Tanya Andin. Alisnya mengkerut.
"Kamu cantik sekali hari ini" Begitulah kata yang terucap setiap kali bertemu dengannya. Hans selalu memujinya setiap kali bertemu.
"Kami ya...." Andin tertawa malu. Wajahnya memerah menahan malu. Dan keduanya pun tertawa bersama melepaskan segala beban dengan beberapa cerita.
Hans sangat pandai mengubah suasana. Andin yang semula merasa sedih, kini ia tertawa bahagia dan itu berkat Hans. Lelaki itu selalu pandai membuat Andin melupakan kesedihannya.
Andin mengenakan blus sederhana namun elegan. Wajahnya tampak tenang, sedikit tersenyum mendengarkan Hans bercerita tentang proyek film barunya disela dengan lelucon kecil.
Hans terlihat nyaman, sesekali melontarkan candaan kecil yang membuat Andin tertawa ringan — tawa yang sudah lama tidak terdengar darinya.
"Kamu beneran mau bikin film kayak gitu... itu lucu banget tau" Andin tertawa ringan.
"Beneran, itu kayak imajinasi aku sejak kecil dan aku mau bikin film tentang itu" sahut Hans yang juga ikut tertawa.
Namun Tawa itu hanya bertahan sesaat.
Duarrrrrr......
Pintu restoran tiba-tiba terbuka dengan keras, membuat semua mata menoleh kearahnya.
Raka berdiri di sana. Wajahnya tegang, napasnya memburu.
Matanya langsung tertuju pada satu sosok — Andin, yang duduk bersama Hans.
“Andin!” suaranya lantang, tajam seperti cambuk.
Andin terkejut, begitu juga Hans.
Belum sempat siapa pun bereaksi, Raka melangkah cepat dan meninju wajah Hans keras-keras, membuat Hans terjatuh dari kursinya.
Suara dentingan gelas pecah terdengar di seluruh ruangan.
“Andin milikku!” teriak Raka penuh emosi.
“Kau tak tahu diri berani mendekatinya!”
“Raka!”
Andin menjerit, berlari membantu Hans yang kini berdiri sambil mengusap darah di sudut bibirnya.
Matanya menatap Raka tajam, marah, dan penuh kekecewaan.
“Apa yang kamu lakukan! Kau gila!? Kami hanya makan malam! Kau tidak punya hak!”
Raka menggertakkan giginya, matanya merah, suaranya bergetar antara marah dan putus asa.
“Aku masih mencintaimu, Andin! Aku tidak bisa melihatmu bersama pria lain. Aku tahu aku salah, aku hancur karenamu. Tapi aku bersumpah, aku akan memperbaiki semuanya. Aku akan menebus semua dosa-dosaku padamu!”
Andin menatapnya dengan mata berkaca-kaca — tapi bukan karena terharu, melainkan karena perih yang tak lagi bisa dijelaskan.
“Kesempatan?......Kesempatan itu sudah hilang, Raka…” suaranya pelan namun tajam.
“Sama seperti anak kita — yang mati karena kelalaianmu.”
Raka terdiam, seolah dadanya ditusuk ratusan jarum.
Kata-kata itu menggema di kepalanya berulang-ulang, menembus hatinya yang mulai retak.
Hans berdiri tegak di samping Andin, menatap Raka dengan sorot tegas.
“Dia sudah cukup menderita karena kamu, Raka. Kalau kau masih punya sedikit harga diri, jangan ganggu dia lagi.”
"Itu bukan urusan mu. Jangan ikut campur tentang masalah kami. Kamu bukan siapa-siapa Andin. Jadi jangan Sok menasehati" kecam Raka Tajam.
Raka menatap Hans dengan tatapan penuh kebencian.
"Raka" Sentak Andin tajam.
"Kamu itu sadar diri. Aku bukan lagi istrimu. Aku punya hak untuk dekat dengan siapapun. Kamu seharusnya urus saja kehidupan mu yang baru itu. Jangan pernah ikut campur dengan urusan ku lagi." Andin memperingati. Mata Andin kini beralih menatap Hans.
"Dia lebih dari pada berharga dalam hidupku."
Raka terdiam melihat adegan saling menatap penuh cinta di antara Hans dan Andin. Hanya napasnya yang terdengar berat, matanya menatap Andin yang kini bersandar pada Hans.
“Andin…”
Hanya satu nama itu yang keluar dari bibirnya sebelum ia berbalik pergi, meninggalkan restoran dalam langkah gontai.
Andin menatap punggungnya menjauh, hatinya terasa berat. Ada bagian kecil dari dirinya yang masih mengenal Raka, tapi bagian yang lebih besar telah hancur tanpa bisa disembuhkan.
Namun di luar restoran, dari sebuah mobil hitam yang terparkir di seberang jalan — Ratna duduk di balik kaca gelap, menatap adegan itu dengan wajah menegang.
Tangannya mengepal, kukunya hampir menembus kulit.
“Dia ingin merebut Raka dariku lagi,” gumam Ratna dengan suara penuh amarah.
Wajahnya memerah, matanya liar menatap Andin di dalam restoran.
“Tidak, Andin… Aku tidak akan membiarkanmu mendapatkan Raka. Sekali pun kau anakku, aku akan menghancurkanmu kalau kau menghalangi kebahagiaanku.”
Tatapannya berubah dingin dan kejam.
Hujan turun perlahan di luar jendela, menutupi air mata kecil yang jatuh dari matanya — entah karena cemburu, atau karena dosa yang kian menumpuk.
.
.
.
Bersambung.