Arzhel hanyalah pemuda miskin dari kampung yang harus berjuang dengan hidupnya di kota besar. Ia terus mengejar mimpinya yang sulit digapai.nyaris tak
Namun takdir berubah ketika sebuah E-Market Ilahi muncul di hadapannya. Sebuah pasar misterius yang menghubungkan dunia fana dengan ranah para dewa. Di sana, ia dapat menjual benda-benda remeh yang tak bernilai di mata orang lain—dan sebagai gantinya memperoleh Koin Ilahi. Dengan koin itu, ia bisa membeli barang-barang dewa, teknik langka, hingga artefak terlarang yang tak seorang pun bisa miliki.
Bermodalkan keberanian dan ketekunan, Arzhel perlahan mengubah hidupnya. Dari seorang pemuda miskin yang diremehkan, ia melangkah menuju jalan yang hanya bisa ditapaki oleh segelintir orang—jalan menuju kekuatan yang menyaingi para dewa itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21 Arzhel dan Laura
Lorong panjang itu senyap, hanya gema langkah Arzhel dan detak jantung Laura yang terdengar di telinganya sendiri.
Arzhel berbalik setelah dipanggil oleh Laura, sang Aktris cantik yang saat ini sedang jadi buah bibir.
"Ada yang ingin kau sampaikan?" tanyanya datar.
Laura menelan ludah sejenak, berusaha melupakan kejadian yang membuatnya trauma di tempat syuting sebelumnya.
“A-aku dengar kau mendapatkan tawaran di project Pak Raymond berikutnya. Apa kau menerimanya?"
Arzhel menoleh singkat, tatapannya tetap datar. “Belum. Aku akan memikirkannya dulu sebelum menerimanya.”
Laura mengangguk pelan, seolah sudah menduga jawabannya. Tapi bibirnya masih bergetar, seakan ada yang ingin ia ucapkan, namun tertahan.
Arzhel memperhatikan dengan alis sedikit mengernyit. “Ada lagi yang ingin kau katakan? Kalau tidak, aku pergi.”
Laura menelan ludah. Jemarinya menggenggam map lebih erat sebelum akhirnya suara lirih keluar. “Aku ingin berterima kasih..."
Arzhel berhenti sejenak, menatapnya dengan heran. “Terima kasih? Untuk apa? Aku rasa aku tidak pernah membantumu.”
Laura menunduk, lalu mengangkat wajahnya perlahan, matanya bergetar tapi jujur. “Mungkin kau sudah lupa, tapi kau sempat menolongku di bar seminggu yang lalu."
Alis Arzhel terangkat. Ingatan samar muncul dalam pikirannya. Malam itu, saat dia bekerja paruh waktu di tempat hiburan malam, ia sempat melihat seorang wanita mabuk yang nyaris diseret masuk ke kamar oleh Austin.
Arzhel yang merasa ada yang salah, lalu langsung menghentikan Austin, bahkan ia sampai memanggil polisi untuk itu. Malam itu hampir berakhir buruk… kalau saja ia terlambat.
Saat itu Laura mengenakan kacamata hitam dan menggunakan kerudung.
Arzhel tertegun sejenak. “Jadi… wanita itu, kau?”
Laura mengangguk. “Ya. Dan karena itu juga Austin jadi membencimu..."
Arzhel menyentuh dagunya, semuanya jadi jelas sekarang. Awalnya ia hanya berpikir apakah itu semua hanya bayangannya atau bukan. Austin sering merepotkannya di tempat syuting, bahkan benar-benar memukulnya ketika berakting.
Arzhel menarik napas pendek, dan untuk pertama kalinya senyumnya tipis muncul—bukan senyum bahagia, melainkan lebih pada rasa paham.
“Jadi itu alasannya.”
Laura buru-buru berkata, “Aku benar-benar berterima kasih, Arzhel. Kalau bukan karena kau malam itu… aku pasti terseret dalam skandal yang lebih buruk. Aku tidak tahu harus bagaimana membalasnya.”
Arzhel mengangkat bahu, nadanya tenang. "Awalnya aku sedikit kesal karena kau yang tiba-tiba menghilang, kau tidak hadir di kantor polisi dan memberikan penjelasan, jadi harus aku yang mengurus semuanya."
Laura menundukkan kepalanya. "Maafkan aku..."
Arzhel menatap Laura yang masih menunduk. Untuk sesaat ia hanya terdiam, lalu suaranya terdengar tenang namun mantap.
“Sudahlah. Aku sudah melupakan semua itu. Lagipula, aku bisa mengerti alasanmu tidak datang ke kantor polisi. Kalau kau muncul, semua akan semakin panjang, bisa berakhir jauh lebih buruk bagi semua pihak. Jadi aku tidak menyalahkanmu.”
Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan nada datar.
“Malah aku yang harus minta maaf. Aku ikut campur dalam urusan yang bukan urusanku.”
Laura mendongak, matanya bergetar. “Tidak… kau sama sekali tidak salah. Justru kalau saat itu kau tidak datang, aku benar-benar dijebak Austin. Semua itu sudah diatur… kalau sampai berhasil, skandal itu bukan hanya menghancurkan harga diriku sebagai seorang wanita, tapi juga mengakhiri karierku sebagai aktris.”
Suara Laura melembut, namun ketulusannya jelas. “Kau sudah menyelamatkanku, Arzhel. Untuk itu, aku akan selalu berterima kasih. Bukan hanya karena kau menolongku, tapi karena kau berani menghadapi resikonya. Itu sesuatu yang tak semua orang berani lakukan.”
Arzhel menatapnya dalam, seolah menimbang kata-kata itu. Namun pada akhirnya, ia hanya mengangguk singkat, seperti biasa, tanpa ekspresi berlebihan.
Laura tersenyum tipis, lalu berkata pelan, “Aku benar-benar berharap… suatu hari kita bisa bermain dalam satu film lagi. Bukan sekadar kebetulan, tapi berdampingan di layar.”
Ada keheningan sesaat. Arzhel tidak menjawab, hanya menoleh singkat dan berjalan meninggalkannya. Laura menatap punggungnya hingga hilang di balik pintu kaca gedung.
...
Di luar kantor MV Film, angin sore berembus pelan. Arzhel mendongak ketika pandangannya tertumbuk pada sebuah billboard raksasa di persimpangan jalan.
Sebuah poster terpampang megah: The Hero Who Saved the Princess.
Wajah pemeran utama, Austin memenuhi hampir seluruh papan reklame, dengan tagline besar bertuliskan “Coming Soon.”
Arzhel terdiam. Di bawah cahaya senja, matanya memantulkan bayangan billboard itu. Itu adalah film pertamanya, film di mana ia akhirnya mendapatkan peran penting—meskipun hanya muncul beberapa menit di bagian akhir.
Namun baginya, itu bukan sekadar durasi singkat. Itu adalah awal.
Senyum samar terbit di wajahnya. “Akhirnya… sebentar lagi.”
Suara kota kembali ramai, mobil dan orang berlalu-lalang. Tapi di hati Arzhel, sebuah tekad kecil membara—ia mungkin miskin, diremehkan, dan hanya aktor figuran, tapi langkahnya menuju panggung besar sudah dimulai.
...
Hari menjelang malam ketika Arzhel menjejakkan kaki di depan gerbang rumah barunya, ia terdiam hanya bisa terdiam melihat pemandangan di depannya.
Rumah yang sebelumnya lusuh, berdebu, dan penuh cat terkelupas itu kini menjelma menjadi mansion megah.
Dinding-dinding sudah dicat dengan warna putih gading yang bersih, dihiasi trim kayu gelap yang berkilau. Jendela-jendela kaca besar memantulkan cahaya lampu taman yang baru terpasang, sementara pintu utama dari kayu oak tampak kokoh dengan ukiran halus.
Halaman depan dipenuhi bunga-bunga segar, pagar besi hitam yang berkarat kini berkilau seperti baru ditempa. Bahkan air mancur di tengah taman kecil itu sudah diperbaiki, memancurkan air jernih yang berkilau diterpa cahaya sore.
Arzhel berdiri sejenak, tak percaya dengan pemandangan itu. “Rumah kumuhku… sudah berubah jadi istana.”