Hidup Alya berubah total sejak orang tuanya menjodohkan dia dengan Darly, seorang CEO muda yang hobi pamer. Semua terasa kaku, sampai Adrian muncul dengan motor reotnya, bikin Alya tertawa di saat tidak terduga. Cinta terkadang tidak datang dari yang sempurna, tapi dari yang bikin hari lo tidak biasa.
Itulah Novel ini di judulkan "Not Everyday", karena tidak semua yang kita sangka itu sama yang kita inginkan, terkadang yang kita tidak pikirkan, hal itu yang menjadi pilihan terbaik untuk kita.
next bab👉
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Retak di balik senyum
Begitu keluar dari ruangan Mama, udara di lorong rumah sakit terasa berat banget. Bau obat, bunyi langkah perawat, semua kayak bercampur sama degup jantung Gue yang belum juga tenang.
Gue cuma mau ketemu Adrian. Dokter barusan juga nelepon, katanya Adrian udah cukup stabil dan boleh pulang hari ini. Gue seneng, tapi rasanya campur aduk juga.
"Alya?"
Belum sempat Gue jalan lebih jauh, suara yang paling nggak pengen Gue denger malah muncul dari arah masuk.
Langkah Gue langsung berhenti. Sial.
Suara itu… Daryl.
Gue ngebalik pelan, dan bener aja, dia berdiri di sana, dengan kemeja putih rapi, jas abu-abu, dan senyum khasnya yang dari jauh aja udah keliatan dibuat-buat.
Tangan kirinya pegang buket bunga, dan tangan kanannya pegang bingkisan buah-buhan, entah untuk siapa. Gue cuma mendengus pelan.
"Ngapain lo di sini?" suara Gue datar.
Daryl melangkah mendekat dengan gaya percaya dirinya yang biasa. "Aku kesini karena denger dari orang kantor, Mama kamu dirawat di sini. Aku langsung datang begitu dapat kabar. Kamu nggak apa-apa? Kamu kelihatan capek. Maaf, aku baru bisa datang."
Gue pengen ketawa. Orang ini masih aja main peran, bahkan di tengah keadaan kayak gini. "Nggak usah pura-pura peduli deh. Lebih baik lo pulang, daripada lo nambah runyam hidup Gue aja."
Dia keliatan sedikit kaget, tapi cepat banget nutupinya dengan senyum yang lebih lembut. "Aku kesini dengan niat membesuk orangtua yang sebentar lagi menjadi Mama aku juga. Aku khawatir."
Gue melipat tangan di dada. "Lo percaya diri banget, ya? Lo kira Gue mau sama orang yang udah bohong ke keluarga Gue, terus pura-pura nyelamatin perusahaan?"
Dia diam sejenak, matanya berkedip pelan. Gue bisa liat jari-jarinya nyekel gagang bunga terlalu kenceng, sampai plastiknya berkerut. Entah karena gugup, atau karena sadar topengnya mulai retak.
"Kamu lagi emosi, ya? Aku ngerti. Situasi keluarga kamu lagi berat, jadi mungkin kamu salah paham—"
"Jangan balikin fakta," potong Gue cepat. "Gue udah tau semuanya. Lo bukan CEO, yang lo ucap itu. Semua yang lo omong juga cuma akting."
Wajahnya menegang sepersekian detik, tapi langsung berubah lagi, tenang, senyum tipis, seolah nggak terjadi apa-apa. "Siapa yang bilang begitu?"
"Lo pikir Gue bakal ngomong kalau nggak tau? Nggak punya bukti?" suara Gue meninggi sedikit. "Lo pikir Gue bakal diam aja liat lo main drama di depan keluarga Gue?"
Gue ngerasa napas Gue makin berat. Jantung Gue kayak mau meledak, tapi Gue paksa tetap tenang. Nggak boleh keliatan lemah di depan dia.
Daryl melangkah sedikit lebih dekat, sampai jarak kami cuma setengah meter. Tatapannya dingin sekarang, beda banget dari senyum manis yang biasa dia tunjukin. "Kamu harus hati-hati ngomong begitu. Nama baik aku juga taruhannya."
Gue menatap balik, tanpa gentar. "Nama baik lo udah rusak di mata Gue. Sejak kapan? Tentu sejak kali kita ketemu."
Dia menghela napas panjang, lalu tertawa kecil, tawa yang terdengar lebih kayak ejekan halus. "Kamu pikir kamu bisa jatuhin aku cuma dengan kata-kata? Dunia bisnis nggak sesederhana itu. Kadang, yang kelihatan bohong, justru yang paling realistis."
"Berarti lo ngaku, dong." Gue nyengir miris. "Lo emang cuma penipu."
Tatapan Daryl berubah lebih gelap, senyumnya hilang. "Aku nggak pernah menipu siapa pun. Aku hanya melakukan apa yang perlu dilakukan. Perusahaan keluarga kamu itu udah di ambang kehancuran. Kalau bukan aku yang turun tangan, kamu pikir siapa lagi?"
"Tentu Papa Gue." Gue menatap tajam. "Atau Gue sendiri."
Dia tertawa lagi, kali ini agak keras. "Papa kamu? Lelaki tua yang bahkan nggak bisa bedain aset bersih sama liabilitas jangka pendek? Dan kamu?"
Dia melangkah makin dekat, suaranya pelan tapi tajam. "Kamu cuma anak manja yang baru bisa teriak waktu keadaan udah jatuh. Kamu nggak paham gimana kerasnya dunia ini."
Kata-katanya nusuk banget. Gue pengen nonjok wajahnya, tapi nggak akan ada gunanya. Dia cuma akan senyum lagi dan pura-pura menang. Kata-kata dia kayak racun yang nyebar pelan-pelan, tapi Gue nggak mau kasih liat, dia itu nyakitin Gue.
"Lo nggak kenal siapa Gue."
"Oh, tentu aku kenal." dia mencondongkan badan sedikit. "Kamu itu cuma mau terlihat kuat. Tapi sebenarnya kamu takut sendirian. Kamu cuma berani di depan orang-orang yang udah kamu anggap musuh. Tapi kalau sendirian? Kamu bahkan nggak tau siapa kamu."
Gue nggak mau kasih dia kemenangan. Gue berdiri tegak, tangan Gue mengepal. "Oh, pikiran lo begitu rupanya tentang Gue. Lo bener-bener ya, nggak tau apa-apa soal Gue. Lo cuma orang asing yang numpang pakek nama besar buat naikin derajat sendiri."
Daryl terdiam sesaat, lalu melirik ke arah pintu ruang Mama. "Kamu tau nggak? Papa kamu sendiri yang bilang..." dia melangkah makin dekat, "Kalau kamu nggak bisa diandalkan sepenuhnya. Katanya kamu terlalu emosional. Aku datang justru buat bantu kalian. Malah kamu sendiri yang mengacaukan semuanya." suaranya pelan tapi tajam.
Gue nunduk sebentar, bukan karena takut, tapi nyoba ngontrol diri. Kalau Gue terus dengerin omongan dia, bisa-bisa tangan Gue beneran mendarat di pipinya.
"Ingat, ya! Papa Gue nggak pernah ngomong kayak begitu sama Gue. Jangan asal buat-buat omongan." sahut Gue cepat, tapi dada Gue panas.
Atau… mungkin iya? Kata-kata Papa semalam di kursi tunggu masih terngiang. "Papa percaya cuma kamu yang bisa." Tapi bagian percaya itu terasa goyah sekarang, gara-gara mulut Daryl.
"Lo emang hebat, ya." Gue berkata dengan nada getir. "Hebat banget muterbalikin cerita. Tapi sayangnya Gue bukan orang yang gampang dibodohin."
Daryl menarik napas panjang, lalu menunduk sedikit, seolah bosan. "Kamu ini keras kepala. Padahal kalau kamu mau kerja sama, semuanya bisa jadi lebih mudah. Aku bisa bantu perusahaan kamu pulih, dan kamu bisa dapetin posisi yang kamu mau."
"Posisi?" Gue nyipitkan mata. "Atau lo mau Gue tunduk sama lo?"
Dia tersenyum dingin. "Tergantung kamu mau lihatnya dari sisi mana."
Gue nggak tahan lagi. "Dengar baik-baik. Gue nggak peduli seberapa tinggi jabatan palsu lo, seberapa banyak orang lo tipu. Lo nggak akan pernah nyentuh satu hal, kepercayaan keluarga Gue. Dan Gue bakal buktiin itu."
Gue melangkah pergi, tapi suara Daryl menghentikan langkah Gue.
"Jangan terlalu percaya diri," katanya pelan. "Dunia ini nggak berpihak pada orang yang terlalu jujur."
Gue nggak menoleh. "Dan dunia juga nggak berpihak pada pembohong yang ketauan."
Langkah Gue makin cepat, tapi tangan Gue masih gemetar. Bukan karena takut, tapi karena marah, kecewa, dan entah kenapa… sedikit takut kalau Daryl beneran bisa ngelakuin sesuatu yang lebih parah.
Setelah semua yang terjadi, cuma satu hal yang Gue yakin, Gue nggak akan biarin Daryl ngambil apa pun lagi dari hidup Gue.
Nggak Mama.
Nggak perusahaan.
Nggak siapa pun.
Saat Gue sampai di depan kamar Adrian, Gue berhenti sebentar. Gue tarik napas dalam-dalam, nyoba nenangin diri. Dari balik kaca, Gue liat dia lagi duduk di tepi ranjang, ngobrol sama perawat. Wajahnya udah jauh lebih segar.
Adrian tersenyum kecil waktu perawat bercanda. Di tengah semua kekacauan ini, cuma itu satu-satunya hal yang keliatan tulus. Dan entah kenapa, itu cukup buat Gue nggak runtuh hari ini.