Menjelang hari pernikahannya, Amara menghilang tanpa jejak. Dengan waktu yang semakin sempit, keluarga calon pengantin pria mendesak agar pernikahan tetap berlangsung demi nama baik. Helena, adik Amara yang diam-diam mencintai tunangan kakaknya, Lucian, dipaksa menjadi pengantin pengganti.
Namun ketika ia menerima peran itu dengan hati yang penuh luka, Helena menemukan jejak kejanggalan: apartemen Amara yang terlalu rapi, koper yang tertinggal, dan waktu yang tidak sinkron dengan hari hilangnya Amara. Semakin ia melangkah ke dalam pernikahan, semakin besar pula misteri yang membayangi keluarga mereka.
Jejak-jejak ganjil tentang hilangnya Amara membuat Helena ragu: apakah ia sedang mengambil tempat seorang pengantin yang kabur, atau menggantikan seseorang yang sudah tak akan pernah kembali?
.
Jika ada kesamaan nama tokoh, dan latar hanyalah fiktif belaka, tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.
follow ig: @aca_0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Setelah tiga hari tinggal sendirian di rumah besar itu, rumah itu terasa berbeda sore ini. Suara mesin mobil berhenti di halaman, disusul langkah sepatu kulit yang berat dan tegas. Helena yang sedang duduk di ruang tamu, menatap jam dinding, sedikit tertegun. Lucian akhirnya pulang setelah tiga hari pergi keluar kota.
Helena awalnya berencana kembali ke apartemen Amara sore ini, ingin mencari petunjuk lain yang mungkin terlewat. Tetapi dengan kepulangan Lucian, niat itu seketika pupus.
Pintu terbuka. Lucian masuk dengan jas hitam rapi, wajahnya seperti biasa: dingin, sulit ditebak, dan sama sekali tidak menampakkan lelah meski ia baru menempuh perjalanan panjang. Sesaat, mata mereka bertemu.
“Lucian…” suara Helena terdengar lebih lembut.
Lucian hanya mengangguk singkat. “Kau di rumah.”
“Ya… hari ini tidak ada kelas,” jawab Helena, berusaha tenang.
Ada jeda yang canggung. Helena memperhatikan koper hitam di tangannya, sementara Lucian langsung meletakkannya di dekat tangga lalu menyalakan lampu ruang tamu meski sore masih terang.
“Bagaimana perjalananmu?” tanya Helena, mencoba membuka percakapan.
“Seperti biasa,” sahut Lucian datar.
Helena menelan ludah. Sejenak ia merasa ingin menawarkan diri memasak, tapi ada sesuatu dalam ekspresi Lucian yang membuatnya ragu.
Namun di sisi lain, kepulangan Lucian justru membuka kesempatan: tiga hari tanpa dirinya terasa hampa, dan Helena menyadari betapa renggang jarak di antara mereka.
Helena memberanikan diri berdiri dan mendekat. “Aku bisa siapkan makan… kalau kau mau,” katanya hati-hati.
Lucian melepaskan jasnya, menggantungkan di kursi, lalu duduk tanpa menatapnya. “Tidak usah repot. Aku sudah makan di jalan.”
Helena mengangguk pelan, menahan rasa kecewa yang samar. “Tiga hari kau pergi… aku sempat khawatir. Tidak ada kabar sama sekali.”
Lucian akhirnya menoleh, tatapannya tajam namun datar. “Aku sudah bilang, kalau aku pergi untuk urusan pekerjaan. Kau tidak perlu khawatir.”
“Tapi aku~” Helena ragu, lalu melanjutkan, “Aku hanya ingin tahu, setidaknya… kau baik-baik saja.”
Lucian menatapnya beberapa detik, seperti menimbang sesuatu, lalu bangkit. “Aku baik-baik saja. Yang tidak baik adalah kalau kau terlalu banyak memikirkan hal yang bukan urusanmu, Helena.”
Helena terdiam, dadanya terasa sesak. Ia tahu maksud ucapan itu bukan hanya tentang kepulangannya, tapi juga peringatan halus agar tidak menyelidiki hal-hal lain. Amara, misalnya.
“Aku hanya… ingin lebih dekat denganmu,” ucap Helena lirih, nyaris berbisik.
Lucian berhenti di anak tangga pertama, tidak menoleh. “Dekat bukan sesuatu yang bisa dipaksakan.” Lalu ia melanjutkan langkahnya ke atas, meninggalkan Helena sendirian di ruang tamu.
Helena berdiri kaku. Ruangan terasa hampa meski baru saja terisi kehadiran Lucian.
Helena berdiri lama di ruang tamu, mendengar langkah kaki Lucian menghilang di lantai atas. Hatinya berkecamuk, antara sakit karena ditolak dingin lagi, dan tekad yang sudah ia tanam beberapa hari terakhir: ia tidak ingin pernikahan ini terus menjadi tembok bisu.
Tangannya mengepal. "Aku tidak boleh mundur."
Ia menaiki tangga perlahan, jantungnya berdegup cepat. Sesampainya di koridor lantai atas, pintu ruang kerja Lucian setengah terbuka. Dari dalam, terdengar suara kertas dan gesekan pena.
Helena mengetuk pelan. “Lucian…”
Tidak ada jawaban.
Ia mendorong pintu, menampakkan dirinya. Lucian duduk di balik meja, jas sudah dilepas, kemeja putih masih rapi, wajahnya serius menunduk pada dokumen-dokumen. Ia menoleh sebentar, cukup untuk menyadari kehadiran Helena.
“Ada apa?” suaranya tetap dingin, tanpa emosi.
Helena menarik napas dalam, melangkah masuk. “Aku ingin bicara denganmu. Bukan tentang pekerjaanmu, bukan tentang hal-hal yang mungkin kau anggap bukan urusanku… tapi tentang kita.”
“Kita?” Alis Lucian sedikit terangkat, meski ekspresinya tetap kaku.
“Ya.” Helena memberanikan diri, menatap matanya. “Aku tidak ingin terus merasa seperti orang asing di rumah sendiri. Kita sudah menikah, Lucian. Aku ingin mencoba lebih dekat denganmu. Kalau kau terus menjaga jarak, sampai kapan pun aku tidak akan bisa mengenalmu.”
Lucian bersandar di kursi, menyilangkan tangan. Tatapannya menusuk, tapi ada sesuatu yang samar~keragu-raguan? kejengkelan? Helena tidak tahu.
“Dan jika aku memang ingin tetap ada jarak?” tanyanya pelan namun dingin.
"Maka aku akan tetap berusaha meruntuhkannya. Aku tidak akan menyerah, Lucian.” Helena menelan ludah, menjawab dengan suara sedikit bergetar m
Suasana hening. Hanya detik jam di dinding yang terdengar.
Lucian menatapnya lama, begitu lama hingga Helena hampir mundur. Tapi sebelum ia sempat menoleh, Lucian berkata lirih, nyaris seperti gumaman.
“Kau tidak tahu apa yang kau minta, Helena.”
Helena menggenggam erat jemarinya, menahan rasa takut yang hampir membuatnya mundur. Kata-kata Lucian barusan seolah peringatan, tapi juga semacam celah, seakan ada sesuatu di balik tembok dingin itu.
Ia melangkah maju, satu langkah, lalu satu langkah lagi, hingga kini berdiri di samping meja kerjanya. Lucian menatapnya dari kursi, sorot matanya tenang tapi berbahaya, seperti singa yang bisa menerkam kapan saja.
Helena menarik kursi di seberang meja, lalu duduk. Suaranya pelan tapi tegas.
“Mungkin aku tidak tahu… tapi aku ingin tahu. Aku ingin mengenalmu lebih dari sekadar nama dan wajah suamiku.”
Lucian menahan tatapan beberapa saat, lalu perlahan bersandar di kursi, napasnya berat. “Helena…” ia menyebut nama itu seakan ingin mengingatkan posisi mereka, “…kau tidak mengerti. Ada hal-hal yang lebih baik tetap tidak kau ketahui.”
“Aku tidak peduli,” potong Helena cepat. Ia menatap dalam, berusaha agar suaranya tidak bergetar. “Kalau aku terus dibiarkan dalam gelap, aku akan mati pelan-pelan, Lucian. Lebih menyakitkan daripada tahu kebenaran sekalipun.”
Kening Lucian berkerut tipis, ekspresinya sulit dibaca. Tangannya sempat mengepal di atas meja, lalu ia menghela napas panjang. “Kau keras kepala.”
Helena menunduk sebentar, lalu tersenyum getir. “Mungkin. Tapi aku keras kepala karena aku ingin kau tahu… aku di sini bukan hanya sebagai bayangan di rumah ini. Aku ingin menjadi bagian darimu.”
Ruangan kembali hening. Lucian menatapnya lama, matanya dingin, tapi ada sesuatu di balik sorot itu, meski ia berusaha keras menutupinya.
Helena bisa merasakannya. Untuk pertama kali, ia merasa ucapannya menembus sedikit dinding yang selama ini menjauhkan mereka.
Lucian tiba-tiba bangkit dari kursinya. Kursi berdecit pelan, membuat jantung Helena ikut berdegup kencang. Ia melangkah perlahan mengitari meja, langkahnya tenang namun berat, hingga berhenti tepat di hadapan Helena yang masih duduk.
Helena mendongak menatapnya. Dari dekat, bayangan wajahnya semakin jelas: dingin, tegas, tapi ada luka samar yang tersembunyi di balik sorot matanya.
Lucian menunduk sedikit, suaranya rendah, dalam, nyaris seperti bisikan yang menusuk.
“Kau ingin mengenalku lebih jauh? Kau ingin mendekat, meski aku sudah memperingatkanmu?”
Helena menggenggam erat rok gaunnya, menahan ketegangan. “Ya.”
Lucian menatapnya lama, lalu akhirnya berkata. “Aku masih mencintai Amara. Sama seperti sebelumnya. Tidak ada yang berubah.”
Helena tersentak. Jantungnya seperti dihantam keras.
“Dan kau… Helena… hanyalah pengantin pengganti. Jangan pernah lupa itu.” Lucian melanjutkan tanpa jeda, nada suaranya tetap datar, tapi mengandung luka yang dalam.
Kata-kata itu bagai pisau yang menusuk dada Helena. Tenggorokannya tercekat, matanya panas, tapi ia menahan air mata agar tidak jatuh.
Lucian menegakkan tubuhnya, berdiri menjulang di hadapannya. “Jadi berhentilah berusaha meruntuhkan jarak itu. Ada hal-hal yang tidak bisa kau gantikan, tidak peduli sekeras apa pun kau mencoba.”
Helena menarik napas berat, berusaha menahan gemetar di suaranya. “Kalau begitu… aku akan tetap di sini, meski hanya sebagai pengganti. Karena aku tidak bisa pergi, Lucian. Aku tidak mau.”
Kali ini, Lucian menoleh ke samping, menghindari tatapannya. Ada bayangan samar di matanya, entah marah, entah rapuh.
...***...
...Like, komen dan vote....
...💙💙💙...