Terkadang orang tidak paham dengan perbedaan anugerah dan kutukan. Sebuah kutukan yang nyatanya anugerah itu membuat seorang Mauryn menjalani masa kecil yang kelam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DessertChocoRi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab- 21 Rencana Besar
Kabut tebal turun menutup hutan, seolah bumi menyembunyikan rahasianya sendiri. Udara dingin menusuk kulit, membuat napas terlihat seperti asap tipis. Revan berdiri di mulut gua, tubuhnya tegang, matanya tajam menembus gelap.
“Mauryn, Ardan. Bangun. Sekarang.”
Mauryn yang masih setengah sadar mengerjap pelan. Rambutnya berantakan, matanya merah karena kurang tidur.
“Apa… sudah pagi?”
“Belum,” jawab Revan datar.
“Justru itu masalahnya. Kita tidak bisa menunggu pagi.”
Ardan berguling malas, menyelimuti kepala dengan kain.
“Aku menolak. Tubuhku masih menjerit minta tidur. Katakan padaku, kenapa orang normal harus bangun sebelum ayam jantan?”
Revan menoleh, menatapnya dingin.
“Karena orang normal tidak sedang diburu pembunuh bayaran.”
Ardan langsung menutup mulut, meski wajahnya masih muram.
“Titik bagus…”
Mauryn duduk, merapikan syalnya. Wajahnya letih, tapi matanya penuh tekad.
“Apa yang akan kita lakukan?”
Revan menoleh ke dalam hutan yang gelap.
“Kita berhenti berlari tanpa arah. Kita buat mereka datang ke sini. Kita balikkan keadaan.”
Ardan menelan ludah.
“Kedengarannya… gila. Apa maksudmu, pasang perangkap?”
“Ya.”
“Seperti…” Ardan melambaikan tangan asal
“…film perang kuno dengan batang pohon terayun, lubang penuh duri, dan jerat tali?”
Revan mengangguk singkat.
“Persis. Bedanya, kita tidak punya kamera. Kalau gagal, kita tidak bisa potong adegan.”
Mauryn menarik napas dalam.
“Berbahaya, tapi mungkin satu-satunya jalan.”
Ardan memegangi wajahnya.
“Baiklah. Tapi kalau aku mati, tolong buat batu nisanku bertuliskan: Ia dipaksa oleh dua orang gila.”
Mauryn menahan tawa, meski tegang. Revan hanya mengangkat bahu.
“Kita lihat nanti.”
Mereka meninggalkan gua, menapaki tanah lembap yang tertutup kabut. Pepohonan menjulang tinggi, rantingnya berderak tertiup angin. Burung malam perlahan berhenti berkicau, digantikan dengung serangga yang membuat suasana makin mencekam.
Revan berhenti di sebuah jalur sempit, diapit dua pohon besar yang tumbuh miring. Ia menepuk batangnya.
“Di sini jalurnya. Mereka pasti lewat.”
Mauryn menatap sekitar, lalu bergumam,
“Aku bisa mendengar mereka bahkan sebelum mereka mendekat, tapi kita butuh waktu menyiapkan ini semua.”
Revan mengangguk.
“Itu sebabnya kita mulai sekarang.”
Ardan menatap batang pohon, lalu ke Revan.
“Dan aku yang harus memotong pohon setebal itu? Aku tidak punya otot baja.”
“Kamu punya tangan. Itu cukup.”
“Hari paling buruk dalam hidupku.” Ardan mendesah dramatis.
Mereka mulai bekerja. Revan mengajarkan bagaimana memilih akar kuat untuk dijadikan tali. Dengan pisau, ia memotong ranting besar, lalu menunjukkannya pada Mauryn.
“Tarik di sini, ikat kuat. Kalau longgar, batangnya jatuh terlambat.” Ia memegang tangan Mauryn untuk menuntun.
Mauryn merasakan hangat dari genggamannya, meski udara dingin menusuk. Pipinya merona tipis, tapi ia pura-pura sibuk.
“Begini?”
Revan mengangguk, menatap matanya sesaat lebih lama dari seharusnya.
“Ya. Tepat begitu.”
Ardan, yang melihat itu, mendengus.
“Kalau kalian selesai bermesraan, aku akan tetap sendirian menyeret akar ini.”
Mauryn cepat-cepat menarik tangannya, wajahnya panas. Revan tetap tenang, seolah tak mendengar.
Dua jam kemudian, tiga batang pohon besar sudah siap ditahan dengan tali akar. Mereka juga menggali lubang kecil, menutupinya dengan daun kering dan ranting.
Ardan jatuh terduduk, keringat bercucuran.
“Aku benci berkata ini, tapi kita cukup hebat.”
“Aku tidak percaya bisa melakukan semua ini.” Mauryn mengusap keringat di dahinya.
Revan memeriksa hasil kerja mereka.
“Kita bisa. Karena kita tidak punya pilihan.”
“Kalau aku selamat, aku akan berhenti jadi pengembara. Aku akan bertani.” Ardan mengangkat tangan lemah.
“Petani?” Mauryn menatapnya heran.
“Ya. Setidaknya tanaman tidak berlari sambil membawa pedang.” Ardan mengangguk.
Mauryn tertawa kecil. Suara itu membuat Revan menoleh. Untuk sesaat, senyum samar terukir di bibirnya.
Namun keceriaan singkat itu sirna ketika Mauryn tiba-tiba kaku. Ia memejamkan mata, tangannya gemetar.
“Mereka… ada yang mendekat.”
“Berapa?” Revan langsung tegang.
“Tiga orang. Mereka… ragu. Mereka mencarimu, Revan. Dan aku.”
“Tiga?! Sekarang?!” Ardan hampir menjerit.
“Diam. Semua diam.” Revan memberi isyarat tegas.
Mereka bersembunyi di balik semak. Napas ditahan.
Tiga bayangan mendekat, membawa obor kecil. Suara mereka terdengar jelas.
“Sial, jejaknya hilang lagi.”
“Tenang. Mereka pasti di sekitar sini.”
“Kudengar gadis itu bisa baca pikiran. Kau tidak takut?”
Mauryn membeku, jantungnya berdegup keras. Kata-kata itu menusuk.
Rekan lain tertawa sinis.
“Itu hanya mitos. Kalau benar, dia sudah mati sejak dulu.”
Mauryn menggigit bibir, matanya panas. Revan menatapnya sekilas, lalu meraih tangannya erat, memberi kekuatan tanpa kata.
Langkah ketiga orang itu hampir menginjak lubang jebakan. Tapi tiba-tiba mereka berhenti, menyalakan obor lebih terang.
“Mereka lihat jebakan kita?” Ardan berbisik panik.
“Tidak. Mereka hanya curiga.” Revan menggeleng tipis.
Mauryn fokus, mendengar hati mereka.
“Salah satunya… sangat takut. Dia ingin kembali.”
“Bagus. Aku tahu siapa yang akan jatuh dulu.” Revan tersenyum samar.
Ia mengambil batu kecil, lalu melemparkannya ke arah semak jauh di seberang.
Brak!
Pria paling depan terlonjak, melangkah mundur… tepat ke lubang. Jeritannya melengking saat tubuhnya terperosok.
“Apa itu?! Hei!” Dua rekannya panik.
Mauryn menahan napas, tubuhnya gemetar. Revan tetap diam, matanya tajam.
Salah satu dari mereka berusaha menarik rekannya keluar, sementara yang lain gelisah, menoleh ke segala arah.
Revan membisik ke telinga Mauryn, suaranya rendah.
“Sekarang kamu lihat? Rasa takut bisa lebih mematikan dari pedang.”
Mauryn menatapnya, jantungnya berdegup kencang. Ia mulai mengerti.
Akhirnya, dua orang itu berhasil menarik rekannya yang pincang keluar. Mereka saling berteriak, lalu buru-buru mundur. Suara langkah mereka hilang dalam kabut.
Mauryn akhirnya mengembuskan napas panjang.
“Aku… aku kira kita habis.”
Revan menepuk bahunya singkat.
“Kalau mereka tahu benar kita di sini, kita sudah jadi mayat.”
Ardan jatuh terduduk, wajah pucat.
“Aku resmi trauma. Tapi aku harus akui… itu cukup keren.”
Revan berdiri, matanya menyapu hutan.
“Itu baru awal. Besok, mereka datang lebih banyak. Kita harus siap.”
“Kamu tidak takut?” Mauryn menatapnya, pelan.
Revan menoleh, tatapannya dalam.
“Takut selalu ada. Bedanya, aku memilih berjalan bersama rasa takut, bukan melawannya. Selama kamu di sini, aku tahu aku tidak sendiri.”
Mauryn terdiam. Kata-kata itu menyalakan sesuatu dalam dirinya. Untuk pertama kalinya, ia merasa bukan beban ia adalah bagian dari perlawanan.
Ardan mendesah, berusaha menutupi getaran suaranya.
“Baiklah. Kalau kalian selesai dengan drama motivasi, bisakah kita kembali ke gua? Aku butuh tidur sebelum mati besok.”
Revan dan Mauryn saling pandang, lalu sama-sama tersenyum samar.
Mereka tahu, malam itu hanyalah awal.
Bersambung…
Hai semua.. mohon dukungannya yah
Jangan lupa like, komen, dan Vote biar othor semakin semangat lagi 🥰