Bagaimana jadinya jika kamu menjadi anak tunggal perempuan di dalam keluarga yang memiliki 6 saudara laki-laki?
Yah, inilah yang dirasakan oleh Satu Putri Princes Permata Berharga. Namanya rumit, ya sama seperti perjuangan Abdul dan Marti yang menginginkan anak perempuan.
Ikuti kisah seru Satu Putri Princes Permata Berharga bersama dengan keenam saudara laki-lakinya yang memiliki karakter berbeda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurcahyani Hayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Satu Putri Princess Permata Berharga
Gadis cantik dengan rambut diikat dengan pita berwarna pink nampak melangkah masuk ke dalam kelas. Senyumnya tercipta indah membuat siapa saja yang melihatnya ikut tersenyum.
"Selamat pagi Incces!" sapa seseorang, salah satu teman sekelasnya saat ia sudah tiba di dalam kelas.
Yah, dia adalah anak kesayangan dari Marti dan Abdul. Siapa lagi jika bukan satu Putri Putri Permata Berharga yang akrab dipanggil Incces. Gadis yang tubuh dengan penuh cinta dari kedua orang tua dan juga keenam saudara laki-lakinya yang memiliki kepribadian unik.
Ia duduk di bangku kelas miliknya yang berada paling depan bersama dengan satu sahabat bangkunya, Tawi. Gadis yang memakai gigi kawat berwarna biru.
"Tas baru lagi?"
Incces tersenyum. Bagaimana bisa sahabatnya itu langsung peka dengan tas baru yang hari ini ia pakai.
"Kok tau?"
"Tuh, kan. Kok kamu bisa sih punya tas baru lagi? Hampir setiap hari tas kamu ganti-ganti tau nggak. Hari ini tas ransel besok tas selempang."
"Enggak, kok. Enggak tiap hari ganti-ganti."
"Tapi kok bisa, sih tas baru lagi?"
Incces menggaruk kepalanya yang tak gatal. Kedua matanya bergerak kiri dan kanan, sedang berpikir.
"Incces juga nggak tau," jawabnya sambil menggelengkan kepalanya pelan.
"Karena Incces kan anak kesayangan," ujar seseorang membuat Incces dan Tawi menoleh.
Dia Zen, pria berkacamata dengan rambut belah tengah yang sengaja diberi minyak kemiri tapi rambut belah tengah itu nampak lepek dan kaku sehingga angin pun tidak mampu membuatnya jadi berantakan.
Pria culun itu merupakan sahabat dari Incces dan Tawi dari sejak mereka masuk ke dalam sekolah ini.
"Iya, ih aku tuh iri banget tau nggak sih sama kamu, incces."
"Iri? Iri kenapa?"
"Iya aku iri sama kamu soalnya kamu itu disayang banget. Tasnya aja tiap hari ganti mana bagus-bagus semua lagi."
"Enggak kok biasa aja," jawab Incces sambil menggaruk lehernya yang tak gatal.
Beberapa jam kemudian suara peringatan jam istirahat terdengar membuat siswa dan siswi kelas satu itu melangkah keluar dari kelas menuju perpustakaan atau tempat di mana mereka akan menghabiskan waktu istirahat.
Kelas yang sepi itu menyisakan Incces, Tawi dan Zen yang duduk mengelilingi meja dengan bekal yang sudah tertata di depan mereka. Mereka bertiga memang sudah berjanji untuk membawa bekal dari rumah masing-masing.
"Kamu bawa apa Zen?" tanya Tawi yang menatap bekal Zen yang baru saja diletakkan di atas meja.
"Biasa, nasi goreng buatan sendiri."
"Nanti aku coba, ya. Mau. Oh iya Incces kamu bawa apa?"
"Aku juga nggak tahu."
Tawi mendekatkan wajahnya menatap serius pada bekal berwarna pink yang baru saja diletakkan oleh Incces. Bekal yang selalu membuat Tawi penasaran.
"Ciee ada suratnya lagi!" ujar Tawi kegirangan setelah Incces membuka bekal dengan sepucuk surat yang ada di bagian penutupnya.
"Mama kamu romantis banget. Setiap hari pasti selalu ada suratnya."
"Iya, bagus banget," tambah Zen.
Incces hanya tersenyum kecil. Membuka amplop pink dengan tulisan, Untuk anak kesayangan pada sampul luar surat itu. Incces mengeluarkan selembar kertas dengan uang berwarna hijau senilai dua puluh ribu.
"Seperti biasa. Sini biar gue yang baca!"
Incces tertawa kecil lalu menjulurkan surat itu yang sudah terbuka. Entah mengapa sahabatnya itu selalu suka membaca surat yang ditulis oleh Marti.
"Aku baca, ya. Ehm, ehm-" Tawi menarik nafas panjang lalu mulai membaca.
"Selamat makan untuk anakku tersayang. Nasi goreng yang Mama campur dengan kecap dan sedikit saus agar perutmu tidak sakit."
"Mama juga kasih tomat dan sedikit sayur agar tubuh kamu sehat dan tidak mudah sakit karena kalau kamu sakit Mama dan Bapak akan sedih."
"Mama juga kasih telur goreng dengan sedikit minyak agar tenggorokan kamu tidak sakit."
"Jangan lupa dihabiskan makanannya ya nak dan uang sakunya juga. Dari Mamamu yang cantik untuk anak kesayangan Mama dan Bapak."
"Ihh gemes," sambung Tawi setelah selesai membaca isi surat itu lalu menjulurkan surat itu membuat Incces mengambil dan memasukkannya ke dalam saku baju.
"Kok bisa, sih kamu punya Mama yang romantis kayak gitu?" ujar Tawi disela sela mereka makan.
"Iya aku jadi penasaran deh sama Mamanya Incces," tambah Zen.
Incces meneguk air dari botol minum yang juga telah disediakan oleh Marti tadi pagi.
"Kalau ada waktu nanti kapan-kapan kalian berdua ke rumah Incces. Nanti Incces kenalin sama Mama dan Bapak. Gimana?"
Tawi dan Zen berbinar. Keduanya saling berpandangan dengan senyum yang terbiasa.
"Setuju tapi kapan?"
Incces terdiam sejenak lalu menjawab, "Besok juga boleh. Nanti aku kasih tahu Mama."
"Setuju," jawab Zen dan Tawi secara bersamaan.
Ketiganya kini melanjutkan makan sehingga yang terdengar hanya suara gesekan sendok di permukaan bekal. Beberapa siswa dan siswi berlalu lalang melintasi mereka menanti jam masuk.
"Oh iya kalau boleh tau kamu anak tunggal, ya?" tanya Tawi.
Tawi cukup penasaran. Pertemanan mereka memang baru berjalan beberapa bulan karena mereka baru masuk di sekolah ini jadi Tawi maupun Zen tidak terlalu mengenal lebih dekat tentang keluarga Incces.
"Kok anak tunggal? Enggak kok "
"Aku pikir juga kayak gitu soalnya kamu disayang banget, iya kan, Wi?"
Tawi mengangguk, mengiyakan.
"Enggak kok. Incces itu bukan anak tunggal. Incces bahkan punya banyak saudara."
"Berapa? Dua?"
Incces menggelengkan kepalanya sambil memasukkan kotak bekal ke dalam tas miliknya.
"Empat?" tebak Zen.
Incces kembali menggelengkan kepala.
"Tujuh."
"Hah?!!" syok mereka sambil berteriak membuat kedua mata Incces ikut membulat.
"Serius?" tanya Tawi yang tidak percaya.
"I-i-iya, Incces anak ke tujuh dari tujuh bersaudara."
Zen mengangkat tujuh jemari tangannya di depan muka dengan ekspresi wajahnya yang masih sangat syok.
"Tujuh?"
"Iya tujuh," jawab Incces meyakinkan.
Zen dan Tawi saling berpandangan. Kali ini mereka benar-benar masih tidak percaya. Mereka sangat tidak percaya jika sahabatnya itu memiliki banyak saudara.
"Udah percaya aja! Kalau masih nggak percaya nanti Incces kenalin deh sama saudara-saudara Incces."
Seru juga bacanya