Tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba, dari balik kerumunan jemaah masjid yang baru saja menyimak tausiyah dzuhur, muncullah seorang gadis berwajah bening dengan sorot mata sekuat badai.
Di hadapan ratusan pasang mata, ia berdiri tepat di depan sang ustadz muda yang dikenal seantero negeri karena ceramahnya yang menyentuh hati.
"Aku ingin menikah denganmu, Ustadz Yassir," ucap Zamara Nurayn Altun, dokter magang berusia dua puluh satu tahun, anak dari keluarga terpandang berdarah Turki-Indonesia.
Seluruh dunia seakan berhenti sejenak. Para jemaah terdiam. Para santri tertegun. Dan sang ustadz hanya terpaku, tak sanggup berkata-kata. Bagaimana bisa, seorang gadis yang tak pernah ia kenal, datang tiba-tiba dengan keyakinan setegas itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 19
BEBERAPA HARI KEMUDIAN
Langit Jakarta sore itu mendung, seperti menahan hujan. Rumah sakit tempat Zamara praktik mulai sepi, suara sandal petugas medis terdengar sayup-sayup. Jam dinding menunjukkan pukul lima lebih lima menit.
Zamara baru keluar dari ruang operasi dengan masker tergantung di leher. Wajahnya lelah, tetapi tetap anggun. Langkahnya pelan sambil mengelus perutnya yang masih datar.
“Alhamdulillah, operasinya lancar tinggal aku yang mulai nggak waras,” gumamnya pelan.
Di tangannya ada file rekam medis pasien, tetapi di otaknya yang muter justru kue cubit. Tapi bukan sembarang cubit. Yang setengah matang, topping-nya meses cokelat, ditambah keju, dan tengahnya harus lembek seperti lava cokelat.
Sambil membuka ponsel, ia mengirim pesan ke Yassir.
> Mas... aku mau kue cubit. Tapi bukan yang biasa. Yang kayak waktu kita lewat Pasar Baru, inget nggak?
Yassir langsung membalas:
> Yang tengahnya meleleh, pinggirannya gosong dikit?
Zamara mengetik sambil tersenyum:
> Iya, tapi topping-nya mix. Keju dan cokelat. Terus anget, tapi wajib dan harus hanget.
Belum sempat Yassir bertanya lagi, chat selanjutnya muncul:
> Pokoknya harus dapet. Kalau nggak, aku bisa nangis di depan UGD, Mas.
Yassir langsung menelepon. Suara panik bercampur pasrah terdengar di seberang.
“Aku cari, tapi jangan nangis di rumah sakit, Mar. Kasihan pasien. Kue cubit anget mix keju cokelat tengah leleh pinggir gosong Oke, bismillah.”
Zamara terkekeh pelan. “Makasih ya, calon Abi panik level nasional,” katanya seraya duduk di kursi dokter.
Tak lama kemudian, dua perawat senior datang sambil menyeringai.
“Dok... ngidam, ya?” celetuk Bu Rina sambil menyenggol bahu Zamara.
“Nggak aneh-aneh sih, cuma kue cubit lava isi cinta,” sahut Zamara sambil tertawa.
“Waduh, itu susah. Harus gerobak veteran, tuh,” timpal perawat satunya.
Zamara mengangkat bahu. “Makanya doain aja Mas Yassir nemu. Kalau nggak, kita masak rame-rame di dapur UGD.”
Suasana ruang dokter pecah oleh tawa.
SATU JAM KEMUDIAN
Yassir muncul di parkiran depan IGD sambil membawa plastik transparan dan tatapan bangga. Kaosnya sudah kebasahan sedikit karena gerimis.
“Nih... tiga macam cubit dari tiga abang. Kamu nilai mana yang lolos standar Zamara edisi ngidam,” ucapnya sambil menyodorkan bungkusan.
Zamara langsung membuka satu per satu, matanya berbinar saat melihat kue cubit yang tengahnya lumer.
“Ini diaaaa juara sejati!” serunya senang.
Yassir duduk bersandar di trotoar rumah sakit, napasnya ngos-ngosan. “Aku dikejar waktu, dikira ojek online. Tapi demi kamu dan calon dedek, semua dilakuin.”
Zamara duduk di sampingnya, mengunyah pelan. “Sumpah, ini enak banget. Aku bisa nangis deh.”
“Kalau kamu nangis, aku cari es goreng tengah malam juga aku terjang,” imbuh Yassir sambil minum air mineral.
Zamara melirik suaminya, lalu berkata pelan, “Aku nggak nyangka ya, ngidam bisa bikin kita makin deket gini.”
Yassir menyeringai. “Kalau semua ngidam kayak kamu, abang-abang gerobak bisa jadi penyelamat rumah tangga.”
Mereka tertawa bersama. Hujan turun tipis-tipis, tetapi hati mereka terasa hangat.
Ternyata cinta itu bukan sekadar janji, tapi sabar pas disuruh muterin tiga gerobak demi kue cubit tengah lumer.
TENGAH MALAM DI RUMAH YASSIR & ZAMARA
Di luar, langit Jakarta berkilau. Bintang-bintang malu-malu menampakkan diri di sela awan tipis, sementara bulan purnama tergantung tenang di atas atap rumah. Lampu kamar menyala temaram, hanya menyisakan warna keemasan samar yang menyelimuti ruangan.
Zamara terbangun pelan, membalikkan tubuhnya menghadap suaminya yang tengah tertidur pulas di sebelah. Ia memperhatikan wajah Yassir dalam diam. Lelaki itu tampak lelah, tapi damai.
Zamara menyentuh pipinya dengan ujung jari. “Mas...” bisiknya lirih.
Yassir membuka mata perlahan. Senyum tipis muncul begitu melihat istrinya menatapnya dengan sorot mata penuh rasa ingin dimengerti.
“Kamu belum tidur?” tanyanya serak.
Zamara menggeleng. “Aku kangen.”
Yassir mengernyit. “Kangen siapa?”
Zamara tersenyum, lalu menjawab pelan, “Kamu.”
Yassir tertawa pendek, lalu membalik badan menghadap penuh ke istrinya. “Lho, aku kan di sini.”
Zamara menggenggam tangannya. “Iya, tapi aku pengen ngerasain kamu lebih dari sekadar fisik di sebelah. Aku pengen ngerasa disayang, dimanja, dibahagiain.”
Yassir diam sejenak, lalu meraih istrinya ke dalam pelukannya. “Aku di sini. Setiap malam. Setiap napas. Untuk kamu. Kalau malam ini kamu butuh aku bukan cuma untuk nemenin, tapi untuk membuat kamu merasa utuh, aku siap.”
Mereka saling menatap. Tak perlu banyak kata. Cinta, dalam bentuk yang paling tenang, mengalir dari mata ke hati. Ciuman hangat mendarat di kening, turun ke pipi, lalu berhenti lama di bibir, dalam dan penuh makna.
Zamara menarik napas lega dalam pelukan Yassir. “Terima kasih ya, Mas. Karena cinta kamu tuh nggak ribut, tapi dalam.”
Yassir mengecup rambutnya. “Aku juga nggak pernah nyangka bisa sayang sama seseorang sampai segininya.”
Malam itu bukan hanya raga yang mendekat, tetapi jiwa yang saling bersandar. Tak ada suara keras, hanya desahan napas yang bersahut dalam damai. Di luar, angin pelan meniup gorden putih yang menari-nari di bawah cahaya bulan.
Ada malam yang dingin, ada pelukan yang menghangatkan. Tapi malam seperti ini, bukan sekadar hangat ini rumah.
Pagi itu, suasana rumah masih dipenuhi suara ceria. Beberapa anak berseliweran dengan seragam rapi, sebagian lagi duduk di meja makan sambil menyantap sarapan.
Aroma sup ayam jahe dan roti gandum panggang memenuhi udara, bercampur dengan tawa kecil yang sesekali pecah dari ruang makan.
Bu Sarah sedang menata potongan buah di mangkuk, sementara Bu Salamah memastikan termos air hangat dan susu khusus ibu hamil tidak lupa disiapkan. Di sudut meja, Zamara duduk dengan perut yang mulai tampak jelas. Tangannya mengelus pelan sembari tersenyum lemah.
“Makannya pelan, Nak. Jangan sampai kembung,” pesan Bu Salamah lembut.
“Iya, Bu. Terima kasih,” jawab Zamara pelan, lalu menoleh pada Yassir yang baru turun dari lantai atas dengan kemeja putih sederhana dan peci abu-abu.
“Udah siap?” tanya Yassir sambil menarik kursi di samping istrinya.
“Insyaallah. Deg-degan sih,” jawab Zamara pelan. Senyumnya muncul sekilas, tapi sorot matanya tak bisa menyembunyikan rasa gugupnya.
Bayu yang duduk di seberang mereka ikut menyela, “Pasti cowok dua-duanya tuh. Lihat aja, kayak Ustaz. Gen kuat.”
“Eh, jangan gitu,” sahut Salwa, “cewek juga keren kali. Biar kayak Kak Zam.”
Mereka semua tertawa. Salsabila mengangkat dua jempol sambil berkata, “Yang penting sehat, ya. Cewek cowok bonus.”
Yassir mengangguk. “Aamiin,” ujarnya singkat tapi hangat.
Beberapa saat kemudian, setelah semua anak berangkat, mereka pun bersiap menuju rumah sakit. Dalam perjalanan, mobil terasa hening, hanya suara zikir kecil dari radio yang mengisi kabin.
“Yakin mau lihat jenis kelaminnya sekarang?” tanya Yassir pelan.
Zamara mengangguk cepat. “Aku penasaran banget. Biar bisa nyiapin namanya, bajunya, semuanya.”
Yassir menoleh sebentar, senyumnya miring. “Kalau cowok, aku namain Ustaz Junior. Kalau cewek, Syaikhah Nurayn.”
Zamara terkekeh. “Ya, jangan aneh-aneh juga, Mas.”
Begitu tiba di rumah sakit, mereka disambut perawat dan langsung diarahkan ke ruang pemeriksaan kandungan. Prosesnya berjalan lancar, hingga suara dokter memecah ketegangan.
“Selamat, Bu Zamara. Kembarannya sehat dan satu laki-laki, satu perempuan.”
Zamara terbelalak. “Serius, Dok?”
“Iya. Sempurna dan sepasang.”
Seketika matanya berkaca-kaca. Yassir terdiam beberapa detik sebelum berkata dengan polosnya, “Masya Allah... seimbang. Satu bisa jadi imam, satu lagi bisa jadi istri imam.”
Zamara langsung mencubit pelan lengan suaminya. “Mas bisa aja.”
Dokter tertawa kecil. “Langka, loh, dapat sepasang langsung.”
Yassir menimpali, “Saya juga langka, Dok. Dapat istri kayak Zamara ini.”
Ucapan itu membuat suasana haru berubah menjadi canggung tapi hangat. Zamara hanya geleng-geleng kepala, tapi senyum di wajahnya tak lepas sepanjang hari itu.
Dokter Rina, perempuan paruh baya yang mengenakan kerudung krem dan jas putih rapi, menatap layar USG sambil tersenyum. Tangannya masih menggerakkan transduser di atas perut Zamara.
“Nggak heran anaknya bagus-bagus. Ibunya dokter bedah muda yang terkenal perfeksionis,” ujarnya sambil menatap Zamara sekilas, lalu melirik Yassir. “Dan ayahnya, yaa Ustaz ganteng yang viral di TikTok minggu lalu itu, kan, Ustaz?”
Yassir tersedak pelan, membuat Zamara menahan tawa. “Dok jangan ikut-ikutan anak-anak, dong,” sahut Yassir dengan nada bercanda, walau pipinya memerah.
Dokter Rina terkekeh. “Serius, loh. Tadi pagi anak saya ngotot bilang, ‘Bu, itu pasien Ibu yang suaminya Ustaz Qayyim, bukan? Yang sering muncul di FYP aku, tuh.’”
Zamara tertawa kecil. “Ya ampun, sampai segitunya.”
“Ya iyalah, siapa suruh nikahnya mendadak. Tiba-tiba hilang dari IG, tahu-tahu hamil lima bulan. Netizen kan pintar mikir,” timpal Dokter Rina sambil membersihkan gel dari perut Zamara.
Yassir mendekat, merapikan kerudung istrinya yang sedikit tergeser, lalu membisik, “Jangan deg-degan. Yang penting anak-anak sehat. Gosip mah biar lewat aja.”
Zamara mengangguk pelan, wajahnya berseri. “Iya, Mas. Tapi lucu juga ya dulu aku pikir hidupku bakal penuh tekanan dan bedah-bedahan terus. Sekarang, malah belajar ngaji bareng suami dan jadi ibu.”
“Dan kamu tetap dokter hebat,” timpal Dokter Rina tulus. “Semua orang di rumah sakit tahu kok, kamu bisa tegas di ruang operasi, tapi tetap lembut pas pegang pasien bayi.”
Yassir mengangguk cepat. “Setuju. Makanya saya nikahin dia, bukan yang lain.”
Zamara hanya menunduk, pipinya memerah.
Ustaz Yassir mencium perut buncit sang istri tercinta, lalu mengucapkan banyak doa dan ayat Al-Qur’an, di antaranya:
"Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyyatina qurrata a’yun, waj’alna lil muttaqina imama.”
(Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan dan keturunan yang menyejukkan hati kami, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Furqan: 74)
Ia juga membacakan Surah Al-Fatihah dan Surah Maryam perlahan, berharap ketenangan mengalir melalui kalimat-kalimat suci yang dilafalkannya.
Suasana ruangan menjadi hangat. Tidak ada
tekanan. Tidak ada batas antara profesional dan personal. Hanya ada dua insan yang sedang bersyukur dan satu dokter yang ikut bahagia karena menyaksikan awal baru dalam hidup mereka.
Semoga saja kamu tidak membuat ustadz Yassir kecewa , kamu harus hati" dgn Aisyah