Ketika Liora terjebak dalam malam penuh kesialan, ia tak pernah menyangka hidupnya akan berubah selamanya setelah bertemu Felix Dawson, Sang CEO yang dingin sekaligus memikat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yourhendr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1. Cinta Satu Malam
“Liora, aku tidak bisa menikahi mu. Keluargaku tidak pernah benar-benar menerima kehadiranmu. Aku sudah memilih wanita lain. Maafkan aku.”
Kalimat itu berputar-putar di kepala Liora, menghantam pikirannya tanpa henti. Vodka dalam gelasnya habis dengan sekali tenggak, meninggalkan panas membakar di tenggorokan. Jemari mungilnya bergetar, namun dia kembali mengangkat tangannya, memanggil bartender. “Satu lagi,” desisnya.
Sang bartender menatapnya penuh ragu. “Nona, sepertinya Anda sudah terlalu banyak—”
“Aku bilang satu lagi!” potong Liora, suara seraknya mengandung amarah bercampur putus asa.
Dengan helaan napas berat, lelaki itu akhirnya menuangkan kembali vodka. Liora meraihnya tanpa basa-basi, lalu menenggaknya seakan cairan bening itu obat mujarab yang bisa menghapus pengkhianatan.
Dadanya terasa sesak. Tiga tahun bersama pria yang dia kira akan jadi rumah terakhirnya, ternyata hanya kesia-siaan. Dia mendengus, lalu bergumam lirih, “Bodohnya aku percaya pada cinta murahan itu.”
“Aku ingin tanya sesuatu,” ucap Liora dengan suara sengau, matanya sayu namun tajam.
Bartender yang tengah meracik minuman menoleh. “Apa yang ingin Anda tanyakan, Nona?”
“Apakah aku ini wanita yang buruk? Sampai-sampai dia bisa meninggalkanku hanya karena aku bukan siapa-siapa. Semua hanya soal uang, kan?”
Air mata menggenang di pelupuk matanya, tapi Liora tertawa getir. Wajahnya kusut, indah tapi penuh luka.
Lelaki di balik meja bar itu tersenyum tipis, mencoba menenangkan. “Anda cantik, Nona. Orang seperti dia yang tak tahu cara menghargai Anda… dialah yang seharusnya merasa menyesal, bukan Anda.”
Kalimat itu hanya terdengar seperti hiburan murahan di telinga Liora. Ia terkekeh miris, bibirnya bergetar. “Cantik tidak cukup. Cinta pun tidak cukup.”
Saat tatapannya mengembara, matanya terpaku pada sosok asing di sudut bar. Seorang pria dengan bahu lebar, duduk sendiri dengan segelas wine berwarna merah darah. Sorot matanya tajam, wajahnya memikat. Alkohol mendorong Liora berdiri dan melangkah menghampiri.
“Hai…” suara Liora terdengar lirih namun penuh keberanian mabuk.
Pria itu menoleh. Senyumnya tipis, tapi tatapannya seakan menilai dalam sekali pandang. “Hai. Kau ingin duduk bersamaku?” tanyanya dengan nada rendah, berbahaya namun memikat.
Liora tertawa kecil, lalu duduk tanpa menunggu jawaban lebih lanjut. “Kenapa tidak?”
Pelayan datang membawa pesanan baru pria itu: sebotol alkohol lebih pekat dari vodka. Lelaki asing itu menuangkan isinya ke dua gelas, lalu menyodorkan salah satunya. “Coba ini.”
Liora menerima tanpa ragu. Satu tegukan, dua tegukan, lalu gelas itu kosong. Pria itu menaikkan alis, terkejut namun kagum. “Kau benar-benar berbeda,” katanya.
Liora tersenyum miring. “Aku sedang bahagia. Bukankah begitu kelihatannya?”
Tubuhnya hampir terhuyung, namun pria itu sigap meraih pinggangnya, menahan agar tak jatuh. Jarak mereka mendadak rapat, aroma parfum maskulin memenuhi hidung Liora. Hatinya berdetak tak karuan.
“Aromamu…” bisik Liora sambil menatap wajah tampan itu dari jarak nyaris bersentuhan. “Aku suka.”
Pria itu terkekeh rendah, jemarinya menyapu pipi Liora. “Kalau begitu, maukah kau berdansa denganku?”
Tanpa pikir panjang, Liora melingkarkan tangannya di leher pria itu. “Menolak? Mustahil.”
Ia membiarkan tubuhnya dipimpin ke lantai dansa. Musik slow bergema, lampu temaram berpendar, dan pasangan-pasangan di sekitar tampak larut dalam pelukan mesra.
Liora pun demikian. Pinggangnya direngkuh erat, membuatnya tak mungkin berdiri tanpa sandaran itu. Tubuhnya nyaris lemah, tapi alkohol dan luka batin mendorongnya untuk larut dalam momen.
“Kenapa pria setampan kamu sendirian?” bisiknya menggoda.
Pria itu menunduk, bibirnya menyentuh telinga Liora. “Aku tidak sendiri. Aku bersamamu sekarang.”
Kata-kata itu membuat Liora tersenyum samar. Tanpa ragu, dia menempelkan bibirnya ke bibir pria itu. Sebuah ciuman singkat yang segera berubah menjadi lumatan panjang, panas, dan membakar.
Pria itu sempat tertegun, tapi dengan cepat membalas. Lidah mereka saling bertaut, membuat Liora mendesah pelan di sela-sela ciuman. Nafasnya terengah, dadanya naik turun.
“Namamu siapa?” tanya pria itu di sela tarikan napas.
“Liora,” jawabnya, jemarinya menyapu rahang sang lelaki.
“Indah sekali,” gumamnya. “Aku Felix.”
Mendengar nama itu, Liora mengulum senyum. “Felix… cocok sekali untuk wajah setampan ini.”
Felix menunduk kembali, menyambar bibirnya dengan gairah lebih liar. Pelukan di pinggangnya semakin erat, tangannya menelusuri lekuk tubuh Liora. Desahan samar lolos dari bibir perempuan itu, membuat tubuhnya semakin panas.
“Temani aku malam ini,” bisik Liora di sela kecupan.
Felix menyeringai puas. “Aku tidak akan menolakmu.”
Seketika, ia menggenggam tangan Liora, lalu menyeretnya menjauh dari lantai dansa. Liora menuruti tanpa pikir panjang. Dalam kepalanya hanya ada satu hal: melupakan luka dengan cara paling gila.
***
Pintu hotel berderit saat Felix mendorongnya terbuka. Tubuh Liora langsung terhempas ke dalam, punggungnya menempel pada dinding dingin.
Felix mencengkeram tengkuknya, bibirnya menubruk bibir Liora lagi. Kecupan itu liar, rakus, seakan ingin menelan habis kesedihan perempuan di hadapannya.
Liora tidak kalah beringas. Tangannya menjalar ke dada bidang Felix, merasakan otot yang mengeras di balik kemeja tipis. Jemarinya menekan, lalu meraih kerahnya, menarik semakin dekat.
Gaun yang menempel di tubuh Liora perlahan melorot saat Felix merenggut resletingnya. Sekejap kemudian, pakaian itu terjatuh ke lantai, meninggalkan tubuh yang membuat mata Felix terbelalak. “Kau luar biasa indah,” bisiknya serak.
Liora menatapnya dengan senyum nakal. “Jangan hanya menatap.”
Felix tak menunggu lagi. Ia mengangkat tubuh Liora, meletakkannya di ranjang, lalu kembali menyambar bibirnya. Malam itu berubah panas seketika, tubuh mereka saling terjerat dalam gelora yang tak terkendali.
Kulit bertemu kulit, nafas bertemu nafas. Jeritan lirih Liora pecah ketika rasa perih mendadak menyerang tubuhnya. Jemarinya mencengkeram sprei, matanya terpejam rapat.
“Kevin…” nama itu lolos begitu saja dari bibirnya, membuat Felix terhenti sesaat. Keningnya berkerut, namun kemudian ia kembali menunduk, enggan membiarkan momen pecah oleh nama asing itu.
Bibirnya menutup kembali mulut Liora, mencoba mengalihkan setiap keluhan menjadi desahan. Gerakan mereka semakin panas, ritme semakin liar. Ranjang itu berderit pelan seiring tubuh yang berulang kali bertubrukan.
Liora hanyut. Luka hatinya, alkohol yang menguasai darahnya, dan pesona Felix membuatnya menyerahkan diri tanpa kendali.
Felix, di sisi lain, terpikat oleh keberanian sekaligus kelemahan wanita itu. Dia menekan, memeluk, mencumbu, seakan malam itu hanya milik mereka berdua.
Malam panjang pun bergulir, penuh bisikan, kecupan, dan hasrat yang menelan habis sisa kesedihan.
Lampu kamar remang menyisakan bayangan di dinding. Liora terbaring di samping Felix, napasnya masih tak beraturan. Tubuhnya terasa letih, namun pikirannya kosong.
Felix menoleh, menatap wajah yang masih memerah oleh panas. Jemarinya mengusap pipi Liora lembut. “Kau berbeda dari wanita lain,” ucapnya lirih.
Liora hanya terkekeh pelan, menatap langit-langit. “Aku bahkan tidak tahu kenapa aku melakukan ini.”
Felix mendekat, menempelkan bibirnya di pelipis Liora. “Karena kau butuh tempat melarikan diri.”
Kalimat itu menghantam hatinya. Liora terdiam, lalu menutup mata. Ingatan tentang Kevin kembali muncul, menusuk, namun tubuhnya terlalu lelah untuk melawan.
Felix memeluknya erat, dan malam itu pun berakhir tanpa janji apa pun. Hanya dua orang asing yang menyatukan luka dalam gelora sesaat, mencoba melupakan kenyataan pahit dengan cara paling berbahaya.
Dan Liora tahu, saat fajar datang, hidupnya tak akan lagi sama.
mampir karna nama PM sama kayak nama di cs aku Felix & Leora (Saudara kandung)/Sob//Sob/
lah disini malah nikah