Perjalanan Kisah Cinta Om Pram dan Kailla -Season 2
Ini adalah kelanjutan dari Novel dengan Judul Istri Kecil Sang Presdir.
Kisah ini menceritakan seorang gadis, Kailla yang harus mengorbankan masa mudanya dan terpaksa menikah dengan laki-laki yang sudah dianggap Om nya sendiri, Pram.
Dan Pram terpaksa menyembunyikan status pernikahannya dari sang Ibu, disaat tahu istrinya adalah putri dari orang yang sudah menghancurkan keluarga mereka.
Disinilah masalah dimulai, saat sang Ibu meminta Pram menikahi wanita lain dan membalaskan dendam keluarga mereka pada istrinya sendiri.
Akankah Pram tega menyakiti istrinya, di saat dia tahu kalau kematian ayahnya disebabkan mertuanya sendiri.
Akankah Kailla tetap bertahan di sisi Pram, disaat mengetahui kalau suaminya sendiri ingin membalas dendam padanya. Akankah dia tetap bertahan atau pergi?
Ikuti perjalanan rumah tangga Kailla dan Om Pram.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Casanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 : Doa Seorang Ibu
Tengah malam, Pram terbangun dari tidurnya dengan sakit kepala, karena harus berbaring lumayan lama di sofa yang tidak seempuk ranjang mereka.
Tak lama, Pram sudah berdiri di ujung ranjang, menatap Kailla yang sedang terlelap, bersembunyi di balik selimutnya yang nyaman. Senyum menyeringai terukir di bibir, menandakan otaknya sedang merangkai rencana licik pada istrinya.
Srettttt!!!
Selimut tebal dan nyaman yang tadinya memberi kehangatan untuk Kailla saat ini sudah berpindah tempat, tergeletak di lantai tak berdaya. Berikutnya, Pram menyalakan pendingin ruangan di empat penjuru kamar. Yang biasanya di tengah malam, mereka hanya akan menggunakan satu pendingin ruangan saja.
“Aku menunggumu, Sayang,” ucap Pram pelan, tersenyum licik.
“Kamu pasti membutuhkan tubuhku untuk menghangatkanmu!” lanjutnya lagi.
Baru saja Pram akan melangkah kembali ke sofa, pandangan tertuju pada selimut hangat yang tadi sempat di lemparnya ke lantai.
Berbalik, Pram meraih kembali dan menjadikan miliknya. Kembali berbaring di sofa, bersembunyi di balik selimut rampasannya.
Otaknya sedang menghitung mundur, menunggu detik-detik sang nyonya terusik. Saat dingin itu menusuk tulang dan menganggu tidur lelapnya. Pram yakin istrinya tidak akan betah tidur dalam keadaan menggigil.
Tak membutuhkan waktu lama. Tidur Kailla terganggu. Bolak-balik sambil memeluk tangan di dada sekaligus meringkuk. Sampai akhirnya dia terjaga.
“Sayang....,” panggil Kailla dengan suara serak khas orang bangun tidur. Bangkit duduk dengan mata setengah terpejam, meraba-raba mencari sang suami berikut selimut hangatnya.
“Iya Sayang,” gumam Pram berteriak dari tempatnya berbaring.
“Selimutku mana?” tanya Kailla masih dengan rambut acak-acakan dan wajah bantalnya. Entah dia sadar atau sedang bermimpi, tidak jelas.
“Kamu kenapa Kai?” tanya Pram bersiap menunggu jawaban.
“Kenapa jadi dingin begini. AC-nya tolong dimatikan!” pinta Kailla kembali berbaring.
Pram langsung bangkit melempar selimut. Bukan mematikan pendingin ruangan, tapi berlari menghampiri. Pram sudah berbaring di sisi istrinya, memeluk tubuh mungil itu dari belakang, sambil berbisik.
“Kai, dingin ya?” tanya Pram tersenyum.
“Hmmmmm.” Hanya sebuah gumaman tidak jelas.
“Mau dipeluk seperti ini?” tanya Pram menawarkan diri, mengeratkan pelukannya.
“Hmmm.”
Kembali tidak ada jawaban. Kailla hanya berbalik menelusupkan ke dada bidang sang suami.
“Aku boleh memelukmu sekarang?” tanya Pram lagi pada sosok cantik yang sedang terpejam. Wajah polos yang sekarang sedang menikmati zona nyamannya.
Hening. Kailla tidak menjawab. Sebagai ganti, dia sudah melingkarkan tangannya ke pinggang Pram.
“Kita masih bertengkar atau gencatan senjata sementara, Kai?” tanya Pram, tangannya sudah mulai bergerilya. Mengusap lembut tubuh Kailla yang hanya terbalut lingerie super seksi, yang sudah mengganggu pertahanannya sejak beberapa jam yang lalu.
“Sudah tidur saja!” omel Kailla masih dengan mata terpejam.
“Aku boleh memelukmu?” tanya Pram lagi.
“Boleh, tapi jangan menyentuhku. Ingat perjanjian kita!” sahut Kailla membuka mata, kesal.
Kailla sudah terbangun sejak Pram memeluknya, tapi berada di pelukan Pram juga sangat nyaman. Jadi cara terbaik adalah pura-pura tidur. Setidaknya, Pram tidak menyadari dia sadar atau terjaga. Menyelamatkan harga dirinya adalah hal terpenting di saat ini.
“Bagaimana ceritanya Kai, boleh memeluk tapi tidak boleh menyentuh,” tanya Pram bingung.
“Haduh!” keluh Kailla, akhirnya bangkit duduk dan menarik Pram untuk mengikutinya duduk.
“Ini menyentuh!” ucap Kailla yang sudah sepenuhnya sadar. Meraba lengan Pram, mencontohkan arti menyentuh yang dimaksudnya.
“Ini memeluk!” lanjut Kailla, langsung memeluk Pram sambil memejamkan matanya. Menikmati aroma suaminya, yang beberapa jam belakangan ini sangat dirindukannya.
“Jadi boleh memeluk, tidak boleh menyentuh itu seperti ini!” Pram tertawa terbahak-bahak.
Kailla sudah siap kembali tidur, menarik Pram supaya berbaring di sampingnya. Memeluk tubuh kekar itu dengan erat.
“Sayang, kita sedang bertengkar. Tapi karena aku butuh pelukanmu, aku tidak masalah harus berbagi ranjang denganmu. Tapi aku tidak mau sampai terjadi kontak fisik denganmu!” jelas Kailla lagi.
“Hah?!” Aturan apalagi ini, Kai?” tanya Pram bingung.
“Boleh memeluk, tapi tidak lebih!” tegas Kailla, membuka mata.
“Astaga Kai, ini lebih menyiksa dibanding harus tidur di sofa,” ucap Pram kesal.
“Setidaknya kamu bisa memelukku, merasakan tubuhku. Dibanding kamu tidur disana, hanya bisa memandangku sampai air liurmu menetes,” ejek Kailla, tersenyum. Menaikkan kedua alisnya, menggoda Pram.
“Kamu tega Kai?” bisik Pram ditelinga istrinya.
“Kamu lebih tega padaku,” sahut Kailla tidak mau kalah.
“Kamu ingat, apa yang kamu lakukan padaku selama empat tahun ini?” lanjut Kailla, raut wajahnya berubah sedih. Mengingatkan Pram tentang dosa dan kesalahan laki-laki itu selama ini.
“Maafkan aku. Sudah banyak bersalah padamu selama ini,” ucap Pram, menarik Kailla, membawanya ke dalam dekapan.
“Menangislah di pelukanku. Kamu boleh memarahiku, boleh juga mengumpatku,” lanjut Pram.
“Aku ingin membunuhmu, kalau bisa,” omel Kailla. Dia masih saja kesal setiap mengingat kesalahan Pram.
“Kamu tahu, umurku sudah tidak muda. Sebentar lagi, aku mungkin sudah tidak kuat lagi mengurusmu,” lanjut Pram, membelai rambut panjang Kailla yang sekarang berada di pelukannya.
“Lalu kenapa tidak mengizinkanku hamil?” isak Kailla, mulai menangis.
“Aku sudah 44 tahun. Aku juga lebih menginginkannya, Kai. Tadinya aku berharap bisa mendapatkan restu mama terlebih dulu,” sahut Pram.
Sampai saat ini, Pram masih mengingat jelas, sumpah serapah dari mama saat Kailla hamil anaknya. Tak lama setelah itu, Kailla mengalami keguguran. Dan itu, menjadi ketakutan Pram sampai sekarang.
Kailla tidak melihat jelas janinnya saat peristiwa keguguran. Tapi Pram menyentuh janin itu dengan tangannya sendiri. Mengangkat dan membersihkan segumpal daging tidak berbentuk bercampur darah itu dari lantai toilet rumah sakit.
Setelah mengetahui Ibu Citra adalah mamanya, Pram semakin menyadari kalau doa seorang Ibu penting untuk hidup anaknya. Kebahagiaannya dan Kailla akan sempurna dengan restu dari mamanya. Dan selama ini dia memperjuangkannya. Berusaha membuat mama melupakan dendam masa lalunya.
“Setidaknya aku harus membuat mama ikhlas menerimamu, walau dia masih belum bisa menyukaimu, Sayang,” bisik Pram.
“Jadi kalau mama tidak merestuiku, kamu akan membiarkan kita menua tanpa anak! Kamu jahat, Sayang!” gerutu Kailla.
“Maafkan aku. Aku salah, harusnya aku mengenalkanmu pada mama sejak dulu. Tapi aku takut kamu terluka.”
Kailla melepaskan pelukannya, tampak berpikir.
“Tidak masalah. Aku baru 24 tahun. Jalanku masih panjang. Kalau kamu tidak memberiku anak, aku bisa meminta pada yang lain,” ucap Kailla, mulai usil.
“Berani melakukannya?” tanya Pram, menatap istrinya sambil tersenyum.
Kailla menggeleng.
“Aku mencintaimu. Tapi saat ini aku sedang membencimu. Aku sedang menikmati bertengkar denganmu,” ucap Kailla, mengusap kasar sisa air mata yang menetes di pipinya.
“Setelah kita tidak bertengkar lagi. Mari kita membuat perjanjian kerjasama kembali. Aku berjanji akan bekerja keras untuk menghamilimu Nyonya. Dengan ataupun tanpa restu mama. Masih ada kesempatan untukku kan?” tanya Pram, membingkai wajah Kailla dengan kedua tangannya.
“Baiklah, tapi setelah kita menandatangani perjanjian damai. Tapi sekarang aku masih marah padamu.”
“Masih belum puas bertengkar denganku?” tanya Pram, membawa Kailla ke dalam pelukannya.
“Belum. Aku masih marah padamu. Jadi jangan bicara yang manis-manis. Kita sedang bertengkar sekarang!” ucap Kailla mengingatkan, sambil memeluk erat pinggang suaminya.
“Astaga Kailla, kenapa setiap marah harus begini menggemaskan!” celetuk Pram, mengecup puncak kepala istri nakalnya.
“Tidak, aku serius marah padamu Sayang. Kalau tidak percaya, aku siap membuat kekacauan untukmu lagi,” lanjut Kailla, dengan wajah serius. Dan kedua tangan masih memeluk erat suaminya.
Pram hanya terkekeh, tidak mau membantah ucapan istrinya. Kailla dari dulu memang begitu, tidak ada yang berubah. Selalu manja dan menggemaskan di matanya.
“Hmm.. Kamu tidak mengantuk?” tanya Pram, mengusap lembut punggung istrinya.
“Sudah tidak lagi! Kamu menganggu tidurku,” bisik Kailla.
“Kai..., aku belum memceritakan semuanya tentang orang tuaku.” Pram berkata.
Dia sebenarnya bingung, harus menceritakan kebenarannya pada Kailla atau tidak. Tapi suatu saat istrinya akan mengetahui juga.
“Apa lagi yang kamu sembunyikan dariku?” tanya Kailla mendongak, menatap Pram.
“Sebenarnya... mama mengenal daddy..,” ucap Pram pelan.
***
Maaf telat up.
Love you all
Mohon bantuan rate-nya.
Thanks you