Naya, gadis kaya raya yang terkenal dengan sikap bar-bar dan pembangkangnya, selalu berhasil membuat para dosen di kampus kewalahan. Hidupnya nyaris sempurna—dikelilingi kemewahan, teman-teman yang mendukung, dan kebebasan yang nyaris tak terbatas. Namun segalanya berubah ketika satu nama baru muncul di daftar dosennya: Alvan Pratama, M.Pd—dosen killer yang dikenal dingin, perfeksionis, dan anti kompromi.
Alvan baru beberapa minggu mengajar di kampus, namun reputasinya langsung menjulang: tidak bisa disogok nilai, galak, dan terkenal dengan prinsip ketat. Sayangnya, bagi Naya, Alvan lebih dari sekadar dosen killer. Ia adalah pria yang tiba-tiba dijodohkan dengannya oleh orang tua mereka karna sebuah kesepakatan masa lalu yang dibuat oleh kedua orang tua mereka.
Naya menolak. Alvan pun tak sudi. Tapi demi menjaga nama baik keluarga dan hutang budi masa lalu, keduanya dipaksa menikah dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Matahari mulai memanjat tinggi, sinarnya menyilaukan tapi tetap membawa kehangatan khas Bali. Naya dan Sarah kini duduk di salah satu gazebo tepi pantai, menyantap kelapa muda sambil tertawa cekikikan, memandangi hasil selfie mereka yang penuh gaya absurd.
“Nih yang ini bagus,” ujar Sarah sambil menunjukkan fotonya bersama Naya mengenakan kacamata hitam dan handuk melilit rambut.
“Ya ampun Sar, muka gue kayak ikan asin kepanasan di foto itu.”
Mereka berdua tertawa keras.
Setelah tawa mereda, Sarah menoleh dengan ekspresi menggoda. Ia menyikut pelan lengan Naya.
“Oh iya Nay, ngomong-ngomong... semalam gimana lo sama suami lo?”
Alis Sarah naik-turun genit, lengkap dengan senyum yang penuh arti.
Naya mendengus pelan. Ia langsung menenggak kelapa mudanya.
“Jangan mikir yang aneh-aneh deh, Sar.”
Sarah tertawa geli. “Loh, gue cuma tanya doang. Masa langsung defensif sih.”
“Gue sama Pak Dosen itu cuma menikah, titik. Gak ada hubungan dalam, gak ada cinta-cintaan, gak ada peluk cium romantis ala drama Korea yang lo bayangin itu.”
Naya menjawab cepat, tapi nada suaranya terdengar... terlalu tegas. Seolah sedang meyakinkan dirinya sendiri.
Sarah menatapnya, lalu mendecak kecil.
“Yakin lo?”
“Yakin dong.”
Naya kembali meneguk kelapa mudanya.
“Lagipula, dia juga gak minat apa-apa ke gue. Bahkan nyuruh gue tidur di ujung ranjang dengan pembatas bantal segede gaban. Gimana tuh, romantis?”
Sarah tertawa keras. “Gue yakin itu justru bentuk kontrol dirinya biar gak... terseret suasana. Lo tuh kalau lagi tidur mukanya kayak anak kucing manja, bisa bikin orang lupa kalau lo bar-bar.”
“Gak lucu tau gak.”
Tapi Naya tertawa juga.
Sementara itu dari kejauhan, Alvan dan Arya yang duduk di kursi santai hotel memperhatikan mereka. Alvan membuka laptopnya, pura-pura bekerja, tapi matanya beberapa kali tertuju pada Naya.
Dan Arya hanya diam, menyimpan segalanya dalam diam.
Tidak ada interaksi antara Alvan dan Arya hanya diam.
____
Ruangan itu tampak mewah dan rapi. Dinding berlapis kayu cokelat tua dan rak buku tinggi menciptakan kesan klasik yang elegan. Di balik meja kerja besar, Pak Firman tengah serius menatap layar laptop, jari-jarinya sibuk menekan-nekan keyboard. Sementara itu, Bu Mita berdiri tak jauh dari jendela besar, melipat tangan di dada dengan ekspresi tak sabar.
“Mas, aku sudah bilang, kan? Anak aku sebentar lagi pulang dari Belanda. Aku ingin kita sambut dia dengan baik. Sekalian kenalkan sama Naya juga.”
Pak Firman tak mengalihkan pandangan dari laptopnya.
“Hmm.”
“Mas, aku serius. Dia sudah lama di luar negeri, dan selama ini aku gak pernah minta apa-apa tentang dia. Sekarang dia mau pulang dan—”
“Mita.”
Suara Pak Firman akhirnya terdengar. Pelan, tapi tegas. Ia menutup laptopnya dan menatap istrinya dengan tatapan datar.
“Kita sedang bicara soal Naya dan Alvan. Bukan yang lain.”
Bu Mita mengatupkan rahangnya. Sorot matanya berubah.
“Kenapa? Kamu selalu seperti ini. Naya, Naya, Naya. Padahal dia bukan satu-satunya anak di rumah itu.”
“Dia anak kandungku.”
Jawaban itu membuat udara di ruangan mendadak terasa lebih dingin.
“Dan anak aku?”
Bu Mita memajukan tubuhnya sedikit, nadanya meninggi.
“Kamu bahkan gak pernah tanya kabarnya. Gak pernah video call. Gak pernah peduli. Dia juga anak dari istrimu sekarang, Mas!”
Pak Firman berdiri. Matanya menatap Bu Mita dengan tajam.
“Aku gak pernah janji untuk jadi ayah dari anak orang lain, Mita.”
Bu Mita tertegun. Mulutnya terbuka, tapi tak ada kata yang keluar.
“Aku menikah sama kamu karena kamu bilang ingin membantuku membesarkan Naya, bukan bawa urusan baru.”
Seketika, wajah Bu Mita berubah. Ia menunduk, menahan marah.
“Kamu akan menyesal sudah bilang begitu.” gumamnya dalam hati.
Namun di wajahnya, ia pasang senyum pahit.
“Baiklah, Mas. Tapi jangan salahkan aku kalau nanti rumah ini tidak berjalan seperti yang kamu harapkan.”
Pak Firman sudah kembali duduk dan membuka laptopnya lagi.
“Terserah kamu.”
Langkah Bu Mita terdengar cepat dan berat menuruni anak tangga kantor. Suara hak tingginya bergema di koridor marmer yang biasanya penuh senyum dan sapaan ramah. Tapi hari ini, wajah Bu Mita dingin dan gelap—bukan karena lelah, tapi karena amarah yang ditekan setengah mati.
Beberapa karyawan yang sedang berjalan membawa berkas dan kopi sempat menunduk hormat, memberikan senyum sopan.
“Siang, Bu Mita—”
Bu Mita hanya lewat begitu saja, seolah mereka tak kasat mata. Senyumnya lenyap, matanya menatap lurus ke depan. Tidak ada balasan. Bahkan tidak satu anggukan kecil pun.
Para staf saling pandang, bisik-bisik kecil mulai terdengar.
“Bu Mita kenapa ya? Tadi kayaknya... mukanya serem banget.”
“Iya, padahal biasanya nyapa, ya? Kalau senang pasti langsung balik nyapa.”
Di luar, supir pribadinya buru-buru membukakan pintu mobil. Tapi Bu Mita bahkan tak menunggu. Ia membuka pintu sendiri dengan kasar dan menutupnya dengan keras.
BRAKK!
Mobil melaju meninggalkan kantor, menyisakan keheningan tegang dan sejumlah tatapan penasaran dari para karyawan.
🍒🍒🍒🍒
Salam hangat untuk semua pembaca karya ku😊, semoga kalian suka dan Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca novel ini. Semoga setiap halaman bisa menyentuh hati dan membekas dalam ingatanmu. Kehadiranmu sebagai pembaca adalah anugerah terbesar bagi penulis.