Judul: Suamiku Tak Pernah Kenyang
Genre: Drama Rumah Tangga | Realistis | Emosional
Laila Andini tak pernah membayangkan bahwa kehidupan rumah tangganya akan menjadi penjara tanpa pintu keluar. Menikah dengan Arfan Nugraha, pria mapan dan tampak bertanggung jawab di mata orang luar, ternyata justru menyeretnya ke dalam pusaran lelah yang tak berkesudahan.
Arfan bukan suami biasa. Ia memiliki hasrat yang tak terkendali—seakan Laila hanyalah tubuh, bukan hati, bukan jiwa, bukan manusia. Tiap malam adalah medan perang, bukan pelukan cinta. Tiap pagi dimulai dengan luka yang tak terlihat. Laila mencoba bertahan, karena “istri harus melayani suami,” begitu kata orang-orang.
Tapi sampai kapan perempuan harus diam demi mempertahankan rumah tangga yang hanya menguras
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Euis Setiawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
suara yang tak pernah di dengar
malam itu laila melangkah perlahan ke kamar, membawa secercah harapan. Wajahnya dirias tipis, meski mata lelahnya tak bisa disembunyikan. Ia memakai gaun tidur satin warna ungu tua, hadiah dari Arfan di ulang tahun pernikahan mereka yang kedua.
Di atas ranjang, Arfan duduk menyandar sambil memegang sebuah majalah dewasa. Seperti kebiasaan yang tak pernah putus, ia selalu "mempersiapkan diri" dengan menonton atau membaca sesuatu sebelum melampiaskan hasratnya pada Laila.Laila menahan sesak di dadanya.
Tapi malam itu, ia punya maksud. Rani, sahabat kuliahnya, baru saja menghubungi dan mengajaknya makan malam bersama teman-teman alumni. Bukan acara besar, hanya reuni kecil di kafe pinggir kota. Sesuatu yang sederhana, tapi sudah sangat langka untuk Laila—keluar rumah bukan untuk belanja atau menuruti perintah Arfan.
Ia duduk di samping Arfan, menyenderkan kepalanya di bahu sang suami.
“Mas…” panggilnya lembut.
Arfan menoleh sedikit, menutup majalahnya dan tersenyum miring. "Kamu sudah siap, sayang?"
"Siap?" tanya Laila, bingung.
"Iya. Siap untuk aku cumbu," jawab Arfan dengan nada menggoda sambil mulai membuka kancing bajunya satu per satu.
Laila tercekat. Ia menahan napas. Di saat ia ingin menyampaikan sesuatu yang penting, Arfan justru kembali mengartikan kelembutannya sebagai undangan. Rasa takut itu kembali merayap. Tapi ia tetap mencoba kuat.
“Ma… Mas, aku mau bilang sesuatu dulu,” katanya pelan.
“Bilang aja,” jawab Arfan sambil masih sibuk melepas kausnya.
Laila menarik napas panjang. "Tadi siang, Rani telepon. Dia ngajak aku ketemuan sama teman-teman kuliah. Cuma makan malam biasa, di kafe deket kampus dulu. Aku pengen ikut, Mas… sekalian cari udara segar..."
Arfan menghentikan gerakannya. Wajahnya berubah. Ekspresinya tak lagi menggoda, tapi penuh kecurigaan.
“Kamu yakin cuma makan malam biasa?” tanyanya datar.
Laila mengangguk cepat. “Iya, Mas. Beneran. Ada lima orang, semuanya teman lama. Aku udah lama banget nggak ketemu mereka. Aku cuma pengen…”
Arfan menyela. “Kenapa harus sekarang? Kenapa harus malam? Kenapa harus keluar rumah, pas aku lagi pengen ditemani istri?”
Laila menunduk.
Arfan kembali bersuara, kali ini lebih keras. “Kamu tahu, aku capek kerja seharian. Aku butuh istri, bukan bayangan. Aku butuh kamu di rumah. Di ranjang.”
“Mas, aku juga capek,” bisik Laila lirih. “Aku juga butuh waktu buat diriku sendiri.”
“Waktu buat dirimu? Maksud kamu, aku egois?” tanya Arfan menahan nada tinggi.
Laila terdiam. Ia tahu, jika ia menjawab ‘iya’, maka malam ini akan berakhir dengan pertengkaran. Tapi jika ia diam, maka semua ini akan terus berulang.
Dan diamlah yang ia pilih.
Arfan menghembuskan napas kasar. “Udah lah. Gak usah macam-macam. Kamu temani aku malam ini. Nanti juga lupa tuh sama reuni nggak penting itu.”
Laila hanya duduk membatu. Pipinya memanas menahan tangis. Malam yang awalnya ingin ia isi dengan harapan dan kebebasan, berubah menjadi malam yang lagi-lagi hanya milik Arfan. Hanya untuk hasratnya. Hanya untuk egonya.
Pagi harinya, Laila mengantar Arfan sampai ke mobil seperti biasa. Ia tersenyum, meski hati tak benar-benar ikut. Di balik kaca jendela, ia melambaikan tangan. Tapi begitu mobil suaminya melaju, senyum itu runtuh.
Ia masuk ke kamar, duduk di pinggir ranjang, dan menunduk. Rasa lelah tak lagi hanya fisik. Tapi jauh lebih dalam. Mental dan hati yang terus tergerus.
Ia membuka ponselnya, membuka pesan dari Rani yang masuk semalam:
“Gimana, bisa ikut nggak, Lay? Aku tahu kamu butuh keluar dari rumah. Kita cuma mau kumpul kok, nggak akan lama. Please datang ya…”
Laila menangis pelan. Jari-jarinya mengetik balasan dengan gemetar:
“Maaf Ran. Aku nggak bisa. Suamiku nggak izinkan…”
Pesan terkirim. Dan hampa pun menyelimuti.
Hari-hari berikutnya, Laila menjalani rutinitasnya seperti biasa. Tapi ada sesuatu yang berubah. Matanya tak lagi bersinar. Langkahnya lamban. Hatinya kosong.
Ia mulai menulis di buku harian kecilnya. Sebuah kebiasaan lama yang dulu membuatnya merasa punya ruang untuk bicara, walau hanya pada kertas.
“Aku mencintainya. Dulu. Tapi kini aku mulai mempertanyakan. Apakah cinta bisa hidup jika satu pihak selalu menuntut, dan yang lain selalu mengalah?”
“Aku ingin bicara. Tapi dia tak pernah benar-benar mendengarkan. Bahkan jika aku menangis, ia hanya melihat sebagai kelemahan. Bukan sebagai jeritan.”
“Apa aku istri yang buruk? Atau dia suami yang tak pernah merasa cukup?”
Malam kembali datang. Seperti biasa, Arfan membawa pulang marah dari kantor, dan memindahkannya ke meja makan.
“Apa ini doang lauknya?” keluhnya saat melihat nasi, telur dadar, dan sayur bening.
Laila mengangguk. “Tadi aku kehabisan ayam di pasar, Mas…”
“Selalu aja ada alasan!”
Malam itu, tak ada percakapan. Hanya bunyi sendok dan piring. Dan suara Laila menahan air mata yang tak tertahan.
Di kamar, Laila menatap langit-langit. Ia berpikir panjang. Mungkin sudah waktunya ia bicara pada seseorang yang bisa mendengarkan. Bukan hanya mencatat di buku harian, bukan hanya menangis diam-diam.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Laila memberanikan diri menghubungi nomor yang ia temukan di salah satu artikel psikologi pernikahan:
“Konseling Pernikahan dan Kekerasan Emosional – Hotline Gratis.”
Jarinya gemetar saat memencet tombol panggil.
Tapi ini awal dari sebuah keberanian.