"kamu pembawa sial tidak pantas menikah dengan anakku" ucap Romlah
"aku sudah mempersiapkan pernikahan ini selama 5 tahun, Bagaimana dengan kluargaku" jawab Ratih
"tenang saja Ratih aku sudah mempersiapkan jodohmu" ucap Narti
dan kemudian munculah seorang pria berambut gondrong seperti orang gila
"diakan orang gila yang suka aku kasih makan, masa aku harus menikah dengan dia" jawab Ratih kesal
dan tanpa Ratih tahu kalau Rojali adalah pendekar no 1 di gunung Galunggung
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RR 21
Di tengah riuhnya suara ibu-ibu yang sibuk memilah kue dan membicarakan tetek bengek dapur desa, udara terasa hangat. Namun, di antara keramaian itu, dua pasang mata saling beradu tajam.
Lisa melangkah perlahan, seolah kakinya membawa beban gengsi turun-temurun. Gaunnya berkilau samar di bawah cahaya matahari sore, tapi sorot matanya jauh lebih menusuk daripada sinar mentari itu sendiri.
"Ratih, di mana suamimu sekarang?" tanyanya, bibirnya menyungging senyum tipis yang lebih mirip ejekan daripada sapaan.
Suaranya tenang, namun dingin seperti angin malam dari gunung Galunggung. Ia adalah perempuan yang tak pernah puas melihat perempuan lain bahagia, apalagi Ratih—perempuan yang dulu sering dicibir, kini berdiri tanpa gentar.
Ratih tak langsung menjawab. Tangannya masih sibuk memilah-milah kue basah di nampan anyaman bambu. Wajahnya tak menunjukkan emosi, matanya tenang seperti permukaan danau yang dalam.
"Suamiku sedang bekerja," jawabnya pelan, namun cukup jelas hingga terdengar oleh para telinga yang haus akan kabar burung.
Lisa mengangkat alis, senyumnya menyeringai, "Bekerja di mana? Mana ada perusahaan yang mau menerima orang yang pikirannya tak waras seperti dia?"
Beberapa ibu yang mendengar langsung menundukkan wajah, pura-pura tak mendengar. Tapi Ratih tak mundur.
"Yah, yang penting ada usaha untuk mencari nafkah. Daripada disebut waras, tapi hanya tahu berleha-leha di rumah," jawab Ratih. Nadanya datar, tapi dinginnya menusuk, membuat sekeliling terasa lebih sunyi.
Lisa mengepalkan jemarinya, suara tawanya pendek, penuh ketegangan. "Kamu sedang menyindirku, Ratih?"
Ratih menoleh perlahan, memandang Lisa dengan tatapan tajam namun tetap anggun. "Aku tidak menyindir siapa-siapa. Aku hanya heran, kenapa ada orang yang begitu sibuk mengurusi rumah tangga orang lain, seolah rumah tangganya sendiri sudah sempurna tanpa cela."
Kalimat itu bagaikan cambuk yang tak terlihat namun meninggalkan bekas. Beberapa ibu langsung berpaling, pura-pura melihat langit. Lisa menggertakkan gigi.
"Ratih! Sekarang kamu berani ya melawanku!" suaranya meninggi, matanya membelalak seperti naga yang terusik di puncak tidur siangnya.
"Aku takut kok," jawab Ratih pelan, tapi bukan karena gentar. Kalimatnya mengalir bagaikan pisau berbalut sutra—lembut, namun mematikan.
Lisa nyaris tertawa. Dalam hatinya, ia sempat mengira Ratih telah berubah menjadi sosok yang kuat, namun ternyata masih Ratih yang dulu—Ratih yang hanya diam ketika dihina.
Namun, kalimat berikutnya dari Ratih membuat seluruh dadanya membara.
"Aku takut... jika aku terus diam saat dihina, nanti orang-orang seperti kamu akan merasa besar kepala, merasa punya hak untuk menginjak-injakku."
Lisa membeku. Tak ada satu pun tawa keluar dari mulutnya. Mata-mata yang tadinya berpura-pura sibuk kini diam menatap Ratih. Untuk pertama kalinya, Ratih bukan lagi bayangan samar di keramaian. Ia telah menjadi bayang-bayang yang menutupi sinar palsu para pencibirnya.
Bagi Lisa, bukan hinaan yang paling menyakitkan.
Bukan pula sindiran tajam yang dilontarkan dalam bisik lirih.
Yang paling menusuk adalah kenyataan:
bahwa seorang Ratih—yang dulu hanya diam saat dihina—kini berani berdiri, berbicara, dan membalas.
Itulah yang membakar dadanya.
Ia berdiri, napasnya berat, matanya merah—bukan karena air mata, melainkan amarah yang tak mampu diredam. Tanpa sepatah kata, Lisa meninggalkan ruang tengah dan melangkah cepat ke halaman. Daun-daun kering yang diinjaknya seolah ikut menjerit, seperti isi hatinya yang terbakar.
Sementara itu, di dalam rumah, Ratih masih membungkus kue-kue di atas tampah. Jemarinya cekatan, wajahnya teduh. Tidak sedikit pun terlihat luka di rautnya, padahal semua orang tahu—hari ini seharusnya menjadi hari paling menyakitkan bagi dirinya.
Calon suaminya menikah dengan adik tirinya sendiri.
Dan pesta hajatan ini? Dibiayai dari uang yang Ratih kumpulkan selama lima tahun.
Namun tak ada tangis, tak ada teriakan. Tidak ada marah atau keluh.
Sebaliknya, Ratih tetap membantu hajatan dengan ketulusan yang tak bisa dipahami banyak orang. Ia bahkan sempat melempar canda ringan, membuat para tetangga tersenyum lega meski tahu luka di dalam hati Ratih pasti dalam.
Sikapnya yang elegan justru membuat semua merasa malu sendiri.
Aura Ratih begitu tenang, seperti air telaga yang dalam dan jernih. Siapa pun yang berada di dekatnya akan merasa damai, seolah semua beban hidup tiba-tiba menjadi ringan. Wajahnya bersih dan manis, menenangkan siapa pun yang memandangnya.
Tak heran, para pemuda kampung sejak pagi sibuk berlalu-lalang di halaman rumah.
Mereka membawa kursi, menata tenda, mengangkat tampah, bahkan menawarkan diri mengantar pesanan ke rumah tetangga.
Tapi siapa pun tahu, bukan karena semangat gotong royong semata.
Mereka hanya ingin melihat Ratih. Ingin berbincang, walau hanya satu kalimat. Ingin mendapat senyum darinya, walau hanya sepersekian detik.
Namun, semua kehangatan itu seketika terpecah.
"RATIHHHH!" Sebuah bentakan menggelegar, memotong suara sendok yang beradu di piring.
Semua menoleh. Ratih pun mendongak.
Di ambang pintu, berdiri Narti—ibu tirinya.
Wajahnya merah padam, tangan bertolak pinggang, dan langkahnya seperti badai yang hendak menerjang sawah. Amarahnya begitu jelas, seperti petir sebelum hujan besar.
Tanpa aba-aba, tangannya terangkat. Tamparan mengarah ke pipi Ratih, keras seperti cambuk benci.
Namun—plak!
Tangannya tertahan di udara.
Ratih memegang pergelangan tangan itu. Bukan dengan kekerasan, tapi dengan kekuatan yang tak disangka keluar dari tubuh yang selama ini dikenal lemah.
"Ibu," ucap Ratih dingin, suaranya tajam dan jernih, "kenapa Ibu ingin menamparku?"
"Lepaskan!" bentak Narti, mencoba menarik tangannya, tapi tak mampu.
"Aku harus memberimu pelajaran!" seru Narti. "Beraninya kamu menghina Lisa! Kamu bilang dia sial! Kamu bilang suaminya tak berguna!"
Di dalam hatinya, Ratih menahan napas.
Wajahnya tetap tenang, tapi pikirannya bergejolak seperti pusaran air yang berputar di bawah permukaan danau.
"Oh… rupanya wanita itu ingin memutarbalikkan kenyataan dengan kebohongan," gumam Ratih dalam hati.
"Baiklah. Kalau dia bersenang-senang dengan kebohongan, mengapa aku harus bersusah payah menjaga kejujuran?"
Ia menunduk sedikit, memasang wajah panik dan ketakutan seperti gadis tak berdaya yang baru saja melihat kilat menyambar pohon.
Dan ketika semua mata tertuju padanya—mata para tetangga, pemuda, dan ibu-ibu yang tadinya hanya ingin melihat hajatan berjalan mulus—Ratih mulai memainkan peran.
Dengan suara yang gemetar, seolah menahan tangis, ia berseru:
“Astaga… Ibu! Aku hanya ingin membela Ibu…”
Semua orang menahan napas. Bahkan suara sendok yang beradu di dapur pun terdiam.
Ratih menoleh ke arah Narti, matanya berkaca-kaca. Tapi siapa pun yang cermat akan tahu: itu bukan air mata kelemahan, melainkan air mata bidak yang siap menumbangkan ratu di papan catur.
“Dia… Bi Lisa… dia bilang hidup Ibu ini sial karena Ibu punya banyak dosa pada dia…”
Nadanya lirih, namun jelas.
“Ibu punya suami lumpuh… anak sambung sial seperti aku…” Ratih menunduk dalam-dalam, seolah ucapan itu terlalu menyakitkan untuk dilanjutkan.
“Katanya itu semua karena Ibu dulu terlalu banyak memakan harta warisan Bi Lisa…”
Seketika suasana meledak dalam keheningan yang tegang.
Narti tertegun, lidahnya tercekat. Lisa yang tadi menyusun siasat pun terdiam, matanya membelalak, tak menyangka Ratih akan menyerang balik dengan menggunakan racun miliknya sendiri.
Para tetangga yang tadi hendak berpihak perlahan saling berbisik.
Sekali lagi, Ratih bukan melawan dengan pedang, melainkan dengan cermin—memantulkan semua tuduhan kembali ke wajah penuduhnya.
Sementara itu, Ratih menatap tanah dengan sikap penuh kesedihan pura-pura, tapi ujung bibirnya bergerak samar… seperti senyuman tipis seorang pemain wayang yang tahu setiap gerak lawan sudah dalam kendalinya.
ditagih hutang siapin Paramex lah hehe
up lg thor masih kurang ini
bg jali bg jali orangnya bikin happy
sehat selalu