Apa yang kita lihat, belum tentu itulah yang sebenarnya terjadi. Semua keceriaan Aurora hanya untuk menutupi lukanya. Dia dipaksa tumbuh menjadi gadis kuat. Bahkan ketika ayahnya menjual dirinya pada seorang pria untuk melunasi hutang-hutang keluarga pun, Aurora hanya bisa tersenyum.
Dia tersenyum untuk menutupi luka yang semakin menganga. Memangnya, apa yang bisa Aurora lakukan selain menerima semuanya?
"Jika kamu terluka, maka akulah yang akan menjadi obat untuk lukamu." —Skala Bramasta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Dor!
"Kurang tepat."
Dor!
"Sedikit ke kanan."
Dor!
"Good job, Princess." Thomas menepuk puncak kepala Aurora dengan bangga.
Wajah Aurora sedikit tegang, dia menyerahkan pistol yang ia pegang pada Thomas.
Melihat raut wajah adiknya, Thomas terkekeh kecil. "Tidak apa-apa, kamu masih pemula, wajar kalau terkejut dengan suara tembakan."
"But, kamu sudah melakukan yang terbaik, Aurora. Hanya tiga kali tembakan, kamu sudah bisa menjatuhkan apel itu," lanjutnya.
Aurora tersenyum tipis, dia tidak tau harus bereaksi seperti apa. Bangga? Apakah dia harus bangga karena telah berhasil menggunakan senjata ilegal itu?
"Sudah cukup."
Archie yang sedari tadi memantau di belakang langsung melangkah ke arah Aurora dan menarik tangannya.
"Jangan terlalu memaksa Aurora untuk belajar tentang senjata, Thomas. Dia masih kecil," ujar Archie pada sang kakak.
Thomas tersenyum miring. "Apa ada yang salah?"
Archie tidak membalas lagi. Dia memilih menarik Aurora pergi dari sana. Wajah adiknya saja terlihat masih tegang. Dia takut jika Aurora akan trauma nantinya. Bagaimanapun juga, ini kali pertama Aurora memegang senjata api itu.
"Maafkan kakakmu, dia memang terlalu suka dengan hal-hal seperti itu," ucap Archie.
Aurora mengangguk pelan. "Tidak apa-apa, Kak. Justru aku suka, karena dengan begitu, bukankah aku akan menjadi perempuan kuat? Aku tidak ingin menjadi selalu lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa."
Archie terdiam mendengar penuturan adiknya. Dia pikir, Aurora akan mengatakan jika ia takut, tapi nyatanya? Sebesar itukah tekad Aurora ingin menjadi perempuan kuat?
"Aku juga ingin belajar bela diri!" Aurora seketika sumringah. "Kakak bisa ajari aku?" tanyanya pada Archie.
"Kenapa tidak?" Archie tersenyum, tangannya mengelus puncak kepala Aurora dengan lembut. "Aku akan mengajarimu, semuanya."
Aurora melebarkan senyumnya. Tanpa ragu dia memeluk Archie dengan erat. "Terimakasih, Kak!"
"Sama-sama, Princess." Archie mengecup puncak kepala Aurora.
Di sisi lain, Skala dan Charlie berada di lapangan khusus memanah. Charlie, wajahnya terlihat sumringah karena memang dia suka sekali memanah. Memanah adalah keahliannya.
"Kamu harus belajar denganku, adik ipar. Lihat—" Charlie mulai menarik anak panahnya. Dan...
Ctas!
Anak panah itu menancap tepat di titik tengah. Sangat sempurna.
"Bagaimana? Bukankah sangat mudah?" Ia menatap Skala dengan sombong. Sedangkan Skala sendiri mengangguk singkat dengan wajah datarnya.
"Giliranmu. Jika tidak kena ke titik tengah, kamu harus tinggalkan adikku," ucapnya dengan santai.
Tanpa ragu Skala mengambil panahnya. Wajahnya tetap datar dan santai, hal itu membuat Charlie muak. Skala memang benar-benar seperti kakaknya.
"Ingat, kalau tidak kena, kamu harus—"
Ctas!
Ucapan Charlie seketika terhenti. Dia melongo menatap anak panah Skala yang menancap sempurna di titik tengah.
"Bagaimana bisa?" gumamnya. Dia pikir, Skala tidak akan mahir memanah. Makanya dengan percaya diri dia memamerkan pada Skala jika ia bisa mencapai di titip tengah. Tapi, apa ini? Ternyata adik iparnya itu benar-benar mahir.
"Ada tantangan lagi?" Skala bertanya pada Charlie. Tatapannya santai, tidak ada sorot sombong seperti Charlie tadi.
Charlie mendengus. Dia mengusap pelan hidungnya, sebelum bicara.
"Tentu saja." Charlie berjalan menuju sebuah meja kayu yang tingginya mencapai pundaknya. Lalu dia meletakkan buah blueberry di atasnya.
Setelah selesai, Charlie kembali menghampiri Skala.
"Buah blueberry adalah targetmu. Kamu harus bisa menjatuhkannya. Kalau gagal, kamu harus tinggalkan adikku," ujar Charlie seraya tersenyum remeh. Dia melipat tangannya di dada dan matanya menatap remeh Skala.
Tak banyak bicara, Skala pun mulai ancang-ancang. Dia benar-benar fokus, karena targetnya adalah buah blueberry yang ukurannya kecil. Bahkan dia sedikit menyipit untuk fokus.
Charlie sendiri yakin kalau Skala tidak akan berhasil. Buah sekecil itu, pasti tidak akan terkena anak panah Skala.
"Lama sekali," gumamnya lalu menguap. Dia berkacak pinggang menunggu Skala yang benar-benar fokus.
Hingga...
Ctas!
Buah blueberry nya jatuh, bahkan hancur akibat terjangan anak panah yang diluncurkan oleh Skala.
Skala kembali berdiri tegak dan menatap Charlie yang melongo.
"Ada lagi?"
Charlie menelan ludahnya dengan kasar. Astaga ... apakah dia terlalu meremehkan Skala?
Prok prok prok
Keduanya menoleh saat mendengar tepuk tangan di belakang.
Benjamin menatap menantunya dengan bangga. "Good job, Skala."
Charlie semakin kesal. Bahkan selama ini Benjamin tidak pernah bereaksi seperti itu ketika dia berhasil menjatuhkan sebuah apel menggunakan anak panahnya.
Skala hanya tersenyum tipis.
"Cih, aku juga bisa," cibir Charlie.
"Oh ya?" Sebelah alis Benjamin terangkat.
"Tidak usah meremehkan aku, Dad." Charlie berdecak. "Tadi hanyalah sebuah keberuntungan Skala. Dua, tiga, empat kali, dia pasti akan gagal."
Benjamin tersenyum miring. "Belajarlah dengan adik iparmu, Charlie. Berhenti bersikap sombong."
Skala melirik Charlie yang sepertinya sudah kesal sekali. Dia tersenyum meski tidak terlalu nampak. Manusia seperti Charlie itu terlalu sombong, padahal ada yang lebih baik dari dirinya.
"Aku ingin menemui Aurora lebih dulu. Permisi," pamit Skala, setelah itu ia melangkah pergi dari sana.
Benjamin menatap Charlie. "Ayo, Daddy ingin melihat kemampuanmu."
****
Lythia yang sedang menikmati cookies bersama Aurora pun menoleh ketika Skala menghampiri mereka.
"Enak, bisakah nanti Mommy ajarkan aku membuat cookies ini?" Aurora menatap mommy nya sambil terus mengunyah. Cookies buatan Lythia tidak terlalu manis, bahan-bahannya pun sehat dan mahal.
"Iya, Sayang. Mommy ingin menemui Daddy mu dulu, ya?" Lythia mengelus puncak kepala Aurora dengan lembut. Setelah putrinya mengangguk, Lythia pergi dari meja makan, membiarkan Skala menemui sang istri.
"Kitten."
Aurora menoleh, dia mengerjap ketika melihat Skala berdiri menjulang di sampingnya.
"Mau?" Tangan mungilnya terulur memberikan sebuah cookies pada Skala.
Skala duduk di samping Aurora, lalu membuka mulutnya untuk menerima suapan dari gadis itu.
"Enak?" tanya Aurora ketika Skala mengunyah cookies nya.
Skala mengangguk pelan sebagai jawaban. Hal itu tentu membuat Aurora tersenyum senang. Dia pun kembali memakannya dengan lahap.
"Bagaimana perasaanmu?" Tangan Skala terulur mengelus puncak kepala istrinya.
"Senang," jawab Aurora tanpa ragu. "Di sini, semua orang menyayangi ku. Aku merasa nyaman dan aman," lanjutnya.
Skala tersenyum. Puas sekali dengan jawaban Aurora. Selama ini ia hanya bisa melihat Aurora diam dan bermain sendiri, sekarang, semua orang yang ada di sini menemaninya. Mengajarkannya hal-hal baru. Aurora senang, Skala juga senang. Kebahagiaan istri, juga kebahagiaan suami, kan?
"Apa yang kamu lakukan hari ini?"
"Kak Thomas mengajariku menggunakan pistol. Aku berhasil menembak apel tadi." Aurora meminum susu yang ada di dalam gelas sebelum melanjutkan ceritanya. "Rasanya aneh. Aku takut memegang senjata itu. Tapi, kata kakak, itu wajar karena aku masih pemula. Aku takut, tapi senang, karena dengan begitu aku memiliki kemampuan baru, kan?"
"Kalau kamu, bisa menembak atau tidak?" tanya Aurora.
"Tidak tau," jawab Skala seadanya. Tangannya tak berhenti mengelus rambut Aurora, dan tatapan matanya membuat Aurora sedikit salah tingkah.
"Kalau tidak bisa, minta ajari Kak Thomas saja nanti," saran Aurora. "Kak Archie juga ingin mengajariku bela diri." Senyum nya mengembang lebar. "Dari dulu, aku ingin belajar bela diri agar bisa berkelahi."
"Tapi, apakah sulit? Apakah aku harus melawan Kak Archie?" tanya Aurora.
"Tidak sulit jika kamu bisa dengan cepat mempelajari gerakannya," jawab Skala.
Aurora mengangguk paham. Sepertinya akan mudah baginya.
"Baiklah, besok aku akan belajar bersama Kak Archie!"
Skala mengangguk pelan. Dia sama sekali tidak melarang Aurora untuk belajar ini itu. Padahal apa yang Aurora pelajari itu termasuk hal yang berbahaya. Tapi, Skala yakin jika Aurora akan aman bersama ketiga kakaknya.
bersambung...
LIKE LIKE LIKE LIKE
lanjuuuut