Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Draft
“Pokoknya sampai kapan pun, bapak melarang kamu berhubungan dengan anaknya Ratmoyo!”
Suara Mispan meledak seperti petir yang menghantam genting malam. Tak diberinya Wiji untuk menjelaskan.
“Kamu tahu, Buto ijo itu pernah menginjak-injak harga diri orang tuamu. Ia pernah mempermalukan wajah bapak ini di hadapan orang-orang, seolah-olah kehormatan bisa ditendang dan dijatuhkan sesukanya!"
Kata-katanya mengalir deras, meletup-letup seperti kawah gunung Kelud. Mulutnya nyaris berbusa, suaranya menggerung tanpa jeda.
“Bapakmu ini dulu difitnah habis-habisan oleh buto ijo itu—semata karena iri! Karena dengki! Dan sekarang kamu malah menjalin asmara dengan darah dagingnya? Cuih.... Mau ditaruh di mana muka orang tuamu ini, ha?!"
“Sudah to, Pak… Jangan emosi terus,” potong Ruqayah dengan suara pelan, mencoba menenangkan badai yang tengah mengamuk di hadapannya.
Namun Mispan tak memberi ruang. “Diam kamu!” bentaknya, tajam tanpa ampun dan tak berperasaan.
Sejenak suasana beku. Udara di ruang tengah itu terasa menekan. Wiji masih berdiri di tempatnya—diam, tapi hatinya riuh. Sementara Ruqayah hanya bisa menahan napas, menahan duka yang mulai menggenang di kelopak matanya.
Lalu Mispan kembali bersuara, kali ini dengan suara lebih dalam, seperti sumpah dari lubuk yang terluka:
“Kalau kamu tidak bisa diatur oleh orang tuamu ini… maka akan bapak lenyapkan keluarga Ratmoyo dari tanah ini. Satu per satu!”
Wiji pun sontak berdiri. Dadanya bergetar. Sorot matanya menyala—bukan oleh benci, tapi oleh cinta yang tak ingin dilukai.
“Kalau bapak sampai menyakiti Asmarawati… maka lebih baik aku yang pergi. Aku tak ingin tinggal di rumah yang menanam dendam dan membiarkan cintaku diludahi.”
“Sudah! Jangan bertengkar!” Suara Ruqayah pecah, tangisnya mulai mengalir. Tapi isaknya diabaikan.
“Kamu ini bisa diatur atau tidak?!” gebrak meja mengguncang ruang, suara kayu dan marah berpadu jadi satu.
“Bapak boleh mengatur hidupku… tapi tidak dengan hubunganku dengan Asmarawati.”
Kalimat itu meluncur tenang, tapi tajam. Seperti bilah yang sudah lama disimpan dalam sarung. Dengan langkah mantap, Wiji berbalik dan pergi—meninggalkan bara yang masih menyala di belakangnya.
“Heh! Anak celeng! Mau ke mana kamu?! Matamu picek!”
Suara Mispan meledak seperti petir dalam ruangan sempit. Nafasnya tersengal, dadanya naik turun seperti barongan kehabisan tenaga. Wajahnya merah padam, urat di lehernya menegang.
Wiji berhenti di ambang pintu. Bayangannya tergambar panjang di lantai. Ia tak menoleh, hanya bicara dengan suara tenang yang mengguncang.
“Kalau hubunganku sama Asmarawati di anggap aib, biarlah aku memikulnya sendiri. Tapi jangan Bapak kira aku akan tunduk pada dendam yang bahkan aku tak tahu asalnya.”
“Mulutmu sudah berani sekarang ya?! Lupa kamu itu anak siapa?! Perempuan itu anak musuh bapakmu! Kamu ngerti gak?! Ratmoyo itu bukan orang baik! Dia pernah—”
“Pernah apa, Pak?!” Suara Wiji meninggi, matanya berkaca-kaca tapi tak menetes. “Pernah membuat Bapak terhina? Atau pernah membuat Bapak di kurcilkan? Itu urusanmu. Bukan urusanku. Aku tidak dilahirkan untuk mewarisi kebencian.”
Mispan maju dua langkah, seolah ingin menampar, tapi tangannya gemetar di udara—gagal menurunkan ego yang menggunung.
“Bocah edan! Nggak tahu diuntung!”
“Tidak, Pak…” suara Wiji merendah, tapi lebih menusuk. "Yang tidak tahu diuntung itu orang yang tak bisa membedakan antara anak-anak dan dendam.”
“Cukup, Pak… cukup…”
Ruqayah terjatuh di sudut ruangan. Tangisnya pecah tanpa suara, hanya air mata yang terus mengalir. Wajahnya pucat, tubuhnya menggigil. Air matanya adalah saksi: bahwa antara cinta dan dendam memang sulit untuk dileburkan.
Keheningan menyelimuti ruangan. Lampu gantung berayun pelan tertiup angin malam, menimbulkan bunyi berderit yang terdengar seperti keluhan rumah tua yang ikut menahan duka.
Wiji menatap lantai sejenak. Lalu melangkah ke teras. Langit malam gelap, hanya bulan sabit menggantung pucat di antara awan. Angin malam menerpa wajahnya—dingin, tapi hatinya panas.
Ia tak menoleh lagi. “Aku memang anakmu, Pak…
Tapi bukan bayanganmu.”
***********
Langit malam belum sepenuhnya runtuh. Awan tipis bergerak lambat di atas pekarangan desa yang mulai sepi. Suara jangkrik menyusup dari sela-sela ilalang, menemani deru halus sebuah motor tua yang melaju pelan di jalan cor beton desa Wonosari.
Honda CB klasik berwarna oranye lusuh — tampak kontras di antara sunyi dan gelap. Lampu depannya remang, berpendar seperti mata orang yang lelah menangis. Di atas joknya, Wiji mengendara tanpa arah pasti. Jaket hitam lusuh membungkus tubuhnya yang menggigil, bukan karena angin malam, tapi oleh perasaan yang tak bisa ia kendalikan.
Dari rumah, ia langsung mengendarai motornya begitu keluar dari ledakan amarah sang bapak. Ia tak ingin mendengar teriakan lagi. Tak ingin menyaksikan ibunya menangis lagi. Hanya ingin menjauh. Maka ia tancap gas, membelah malam yang dingin, mencari tempat untuk menenangkan hatinya yang sedang porak-poranda.
Sesampainya di tanggul kali Brantas, ia mematikan motornya. Suara mesin CB tua itu perlahan padam, digantikan desah angin dan gemericik air dari kejauhan.
Wiji duduk di atas motornya sejenak, menatap jauh ke arah sungai. Angin menari-nari di sela rambut gondrongnya yang tergerai. Di bawah sinar bulan separuh, tubuh motor itu terlihat seperti saksi bisu perjalanan hidup seorang pemuda yang tak tahu harus berpihak pada siapa: cinta atau darah.
Ia lalu turun, menyandarkan CB-nya pada batang pohon akasia, dan duduk di rerumputan tepi tanggul. Di seberangnya, cahaya rumah-rumah kecil tampak berpendar lembut. Ia tahu, salah satu dari rumah itu adalah tempat tinggal Asmarawati—satu-satunya alasan mengapa hatinya tak bisa menyerah begitu saja.
Ia mengeluarkan rokok dari saku jaketnya, menyalakan sebatang, dan membiarkannya terbakar perlahan. Asapnya mengepul naik ke udara, seperti doa-doa yang tak sampai.
"Apa memang cintaku harus berdarah agar bisa searah? Haruskah kubiarkan sejarah merampas hari depanku?" Ia melamun, tapi matanya tetap waspada. Jari-jarinya meraba setang CB kesayangannya.
Jam menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Ia masih belum berniat pulang. Entah ke mana ia akan bermalam, yang jelas malam ini bukan untuk rumah, bukan untuk tidur, tapi untuk merenung. Karena ada cinta yang harus dipikirkan. Ada luka lama yang harus dimengerti, dan ada masa depan yang ingin ia rebut — walau harus melawan arus darah sendiri.
Waktu merangkak perlahan seperti luka yang enggan sembuh. Wiji masih duduk di tepi tanggul, bersandar pada tubuh motor CB oranye miliknya yang kini tampak seperti teman karib dalam sunyi. Suara gemercik kali Brantas menyapa pelan, seolah menawarkan pelipur dari getir yang mengendap di hatinya. Di atas sana, bintang-bintang mulai beringsut dari langit. Malam semakin dalam, dan kabut tipis mulai turun dari arah gunung Kelud. Embun menggantung di ujung-ujung daun, juga di setang motornya yang dingin terbungkus udara lembab. Jaket Wiji basah oleh udara, tapi ia tak bergeming. Hanya menatap sungai, menunggu sesuatu yang entah.
Dari kejauhan terdengar lolongan anjing, bersahutan dengan suara burung hantu yang mengintai dari pepohonan bambu. Suara malam itu seperti lagu yang mengiringi kehampaan, dan Wiji mendengarnya dalam diam yang penuh doa. Matanya sayu, tapi hatinya tak bisa tertidur. Ia terus mengulang kata-kata Asmarawati malam itu dalam benaknya: "Cinta adalah perjuangan..."
Di antara kabut dan dingin yang mulai menelusup hingga tulang, tubuhnya gemetar. Tapi tidak karena takut. Melainkan karena getar rindu yang tak bisa ia reda-rekakan. Cinta itu telah menjadi suluh dalam kegelapan yang diwariskan oleh masa lalu. Dan ia bersumpah, malam ini ia tidak akan pulang sebagai pecundang.
Ia menyalakan kembali rokoknya, mungkin yang ketiga atau keempat malam itu. Asapnya menyatu dengan kabut yang turun dari langit. Dalam hening ia berkata pada dirinya sendiri, "Asmarawati adalah cahaya yang kutemukan di lorong gelap sejarah bapakku. Tak ada yang boleh merampasnya dariku..."
Menjelang fajar, langit mulai merekah perlahan. Warna lembayung muda menyapu batas-batas gelap, seperti selembar harapan yang datang malu-malu. Suara kokok ayam dari kejauhan menyusul, diikuti cicit burung-burung kecil yang mulai bangun di rerimbun perdu pinggir sawah.
Embun membasahi seluruh tubuh motor CB-nya. Dan di sela-sela kabut tipis yang mulai menyingkir, tubuh Wiji tampak menyatu dengan pagi yang baru tumbuh. Matanya sembab, tapi ada binar kecil di dalamnya — tanda bahwa malam panjang itu telah menempanya menjadi lebih tegar.
Ia berdiri, meregangkan tubuh, lalu menatap matahari yang sebentar lagi muncul dari balik perbukitan gunung Kelud. Ia menepuk tangki motornya pelan.
"Ayo, Bejo... kita belum selesai. Masih ada cinta yang harus diperjuangkan."
Lalu ia menyalakan motor CB-nya. Suara mesinnya batuk sebentar sebelum hidup perlahan. Getarnya menyatu dengan udara pagi yang dingin. Dan dengan nafas yang panjang, ia menuruni tanggul kali Brantas, kembali menyusuri jalanan desa yang masih sepi — membawa hati yang tak lagi gelisah, tapi bersiap untuk sebuah pertarungan panjang: antara cinta, dendam, dan pengampunan.
Fajar telah datang. Tapi perjuangan baru saja dimulai.
***********
Langit siang terbentang luas tanpa awan, dan di bawahnya, Wiji mengayuh waktu dengan motor CB oranye kesayangannya. Mesin tua itu menderu pelan, namun setia menelan aspal panas yang membentang di depan mata.
Dari Kediri ia memulai. Kota pecel tumpang dan pabrik gudang garam. Yang jalan-jalannya dipenuhi aroma kegelisahan dan lalu lintas padat. Ia sempat berhenti di Ngadiluwih, menyesap segelas kopi hitam dari warung tua di pinggir jalan. Tidak untuk istirahat semata, tapi untuk menenangkan hati yang masih menimbang: "apakah cinta pantas diperjuangkan? .....Melawan sejarah kelam masa silam!"
Lalu ia menukik menuju Tulungagung. Sepanjang jalan, ia melintasi area persawahan dan pabrik batu yang sibuk dengan denting palu dan gemuruh mesin pemotong. Di pasar Ngemplak, ia melihat pedagang menjajakan kerupuk rambak, sandal jepit, dan suara tawar-menawar yang mengingatkannya pada desanya sendiri. Tapi ia hanya melintas, seperti angin yang tak ingin hinggap.
Dari Tulungagung ia lanjutkan ke timur—ke Blitar, kota yang selalu tampak sepi meski dipenuhi sejarah. Di sana, ia berhenti di alun-alun. Menatap patung Bung Karno sejenak, mencoba membaca sesuatu dari tatapannya yang tegas dan jauh. Tapi jawaban tentang cintanya sendiri tetap tak muncul dari monumen batu itu. Hanya bayangannya sendiri yang tercermin di kolam.
Ia kembali naik ke atas motornya. Jalan berkelok membawanya ke utara, menuju kota Malang. Sore telah menyelimuti langit, dan hawa mulai berganti dari gerah menjadi sejuk. Di sepanjang jalan Wlingi sampai Kepanjen, ia melihat sawah yang telah ditinggalkan senja. Petani-petani sudah kembali ke rumah, dan kabut tipis mulai turun dari perbukitan.
Di Malang, ia disambut angin kota yang lebih dingin. Bangunan kolonial berdiri anggun, tua tapi masih menyimpan pesona. Ia sempat berhenti di dekat Pasar Besar, menyantap semangkuk bakso, sambil memandangi lalu lalang mahasiswa yang menyisipkan tawa ke dalam senyap hatinya. Tapi ia tidak lama tinggal. Malam mulai merambat, dan hatinya belum tenang.
Akhirnya, menjelang pukul delapan malam, ia menanjak ke utara, menuju kota Batu. Jalanan mulai berliku tajam, naik menembus hutan pinus. Lampu-lampu kota Malang perlahan menghilang di belakang, digantikan kelap-kelip lampu vila dan aroma kebun apel yang basah oleh embun. Udaranya dingin menusuk. Tapi Wiji terus melaju, seolah ingin membekukan kegelisahan yang menghanguskan jiwanya.
Di Batu, ia berhenti di pelataran Panderman Hill. Dari ketinggian itu, ia melihat hamparan kota seperti lukisan cahaya yang terbentang di bawah langit malam. Angin gunung menyentuh wajahnya, lembut namun dalam.
Ia mematikan mesin motornya. Diam. Mendongak ke langit yang penuh bintang. Dalam hatinya hanya ada satu nama: Asmarawati.
“Aku sudah jauh mengembara, Dek…” bisiknya dalam hati, tapi ternyata yang paling jauh bukan jarak, melainkan luka lama yang belum sembuh ”
Ia duduk di jok motornya. Menyulut sebatang rokok terakhir hari itu. Lalu menatap ke arah timur, tempat fajar esok akan muncul, dan mungkin—membawa jawaban yang belum selesai.
Pagi itu, kota Batu masih berselimut embun.
Langit memudar perlahan dari kelam menuju biru keperakan. Udara dingin menyusup lewat sela jaket, membawa aroma dedaunan basah dan sisa hujan semalam. Gerai-gerai belum buka. Jalanan masih lengang, hanya sesekali dilewati truk sayur atau ibu-ibu berkerudung membawa bakul ke pasar.
Ia mengendarai motornya pelan, menuruni jalanan kota yang masih terkantuk. Di matanya, pemandangan kota Batu seperti lukisan hidup: rumah-rumah berselimut kabut, pohon-pohon apel di kejauhan, dan pucuk-pucuk bukit yang disepuh cahaya fajar.
Tak ada musik. Tak ada dering ponsel.
Hanya dengung angin yang melintas di telinga, dan suara mesin motor yang terdengar sayup—seperti gumam hati yang belum selesai.
Dari Simpang Selecta, ia membelok ke barat, menyusuri jalan berkelok menuju Ngantang.
Kabut masih turun tipis-tipis, menari di antara lereng dan jurang. Satu dua petani mulai tampak di ladang, membungkuk pada tanah seperti berdoa.
Di tikungan kelima, ia memperlambat laju.
Di depannya, hamparan Ngantang mulai terlihat: ladang-ladang luas, rumah-rumah kecil berselimut asap dapur, dan sawah-sawah basah diterpa sinar pagi.
Ia duduk di atas jok, tak terburu turun. Matanya menyapu lanskap Ngantang yang menantang—terhampar luas ladang dan sawah dalam diam pagi yang suci. Di kejauhan, Gunung Kawi berdiri gagah, puncaknya diselimuti kabut putih, seperti raksasa tua yang sedang bermeditasi dalam sunyi.
Lembah-lembah hijau di kakinya tertutup embun. Kabut pagi menggantung rendah, mengambang pelan di antara pucuk-pucuk kopi dan rumpun bambu yang menguning. Beberapa petani mulai tampak di bawah sana, berjalan perlahan menyusuri pematang sawah, membawa cangkul dan doa.
Angin pagi mengibaskan ujung jaketnya. Dingin dan tajam, namun ada keheningan dalam hembusannya—seolah alam sedang berkata: diam dan ingatlah. Ia pun diam. Mengingat. Menghadirkan kembali suara yang pernah akrab di telinga: tawa Asmarawati, yang ia selalu bawa.
Kabut perlahan mulai menyingkir. Cahaya matahari pagi menyelusup pelan dari sela-sela awan, menyepuh tubuh Gunung Kawi dengan cahaya keemasan. Tapi sinar itu belum mampu menembus bayangan di hatinya—yang masih menggenggam satu nama, yang tak bisa ia lepaskan: Asmarawati.
Ia kembali menyalakan motor. Suaranya pelan, seperti enggan mengganggu sunyi pagi di kaki Gunung Kawi. Ia memandang sekali lagi ke arah barat daya, ke puncak yang perlahan mulai terang, sebelum akhirnya menuruni jalur yang membawanya keluar dari Ngantang.
Jalan berkelok membelah ladang dan rumpun pinus. Matahari mulai naik, mengguratkan cahaya keemasan di ujung-ujung dedaunan. Bayangan panjang pohon bergoyang pelan diterpa angin gunung yang masih bersisa. Ia melaju tak terburu, seolah tak sedang mencari tujuan, hanya ingin mengikuti arah jalan—dan arah hatinya.
Perjalanan menuju Pare terasa jauh dan dekat sekaligus. Dekat, karena peta dan aspal tahu ke mana harus melaju. Jauh, karena kenangan tidak tahu arah pulang.
Di sepanjang jalan, ia melewati pasar-pasar kecil yang baru mulai buka, para ibu menyusun sayuran di atas tikar, anak-anak sekolah berseragam berjalan beriringan, dan tukang becak tertidur di sudut warung kopi. Semua terasa akrab, tapi asing—karena ia hanya melintas, bukan tinggal.
Setelah satu jam perjalanan yang hening, ia mulai melihat papan nama: Selamat Datang di Pare.
Kota kecil yang tenang. Tempat orang belajar bahasa Inggris dan melupakan tentang kegelisahan hati—atau justru merasakannya lebih dalam. Sedalam cintanya kepada Asmarawati.