Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.
Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.
Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TDT 21
Langkah Bagas terasa berat saat ia memasuki rumah yang sudah beberapa hari tak ia datangi. Udara di dalam rumah itu tak banyak berubah masih sama sunyinya, masih menyisakan aroma pisang matang dari banana cake buatan Aruna yang belum sempat disentuh.
Tapi ada yang berbeda hari ini. Dua koper besar tergeletak di dekat pintu. Bagai palu godam di kepala Bagas. Ada ketergesaan dalam cara koper itu ditaruh. Seolah pemiliknya sudah siap melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
Bagas mematung.
"Aruna?" panggilnya pelan, nyaris berbisik.
Dari kamar utama, terdengar suara ritsleting. Bagas melangkah cepat, jantungnya berdebar tidak karuan. Pintu kamar tak sepenuhnya tertutup. Ia mendorongnya perlahan dan mendapati Aruna sedang merapikan beberapa perlengkapan ke dalam tas kecil di atas ranjang. Wajah perempuan itu datar, tenang, tapi jelas bukan tenang yang damai, melainkan tenang yang menyerah.
Aruna menoleh. Hanya sebentar. Tatapannya tak marah, juga tak menangis. Lebih buruk dari itu tatapannya kosong. Seperti seseorang yang sudah berhenti berharap.
“Kamu pulang,” katanya datar.
Bagas berdiri di ambang pintu, tak tahu harus berkata apa. Tangannya menggantung di sisi tubuhnya. Ia ingin marah, tapi tak punya alasan. Ia ingin menahan, tapi merasa tak berhak.
“Apa kamu mau pergi?” tanyanya akhirnya, suaranya lebih rendah dari biasanya.
Aruna menghela napas. “Sudah waktunya, Gas. Aku lelah menunggu kamu pulang untuk menyelesaikan ini. Tapi aku sadar, kamu nggak mau menyelesaikan. Kamu memilih pergi.”
"Aku di sini sekarang, ‘kan?"
Aruna tersenyum kecut. “Terlambat.”
Bagas maju beberapa langkah. “Kita bisa bicarakan ini. Aku... aku salah. Tapi jangan pergi seperti ini.”
Aruna menatapnya, kali ini lebih dalam. “Bukan aku yang pergi, Bagas. Kamu yang pergi duluan dari rumah ini, dari hati ini. Aku cuma menyusul.”
Bagas tak bisa berkata-kata. Ia tahu, ini bukan sekadar drama sepasang suami-istri yang bertengkar. Ini babak akhir dari kebisuan yang sudah terlalu lama. Dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar takut kehilangan.
Suara mesin mobil terdengar masuk ke halaman. Raka tiba, tepat waktu seperti yang dijanjikan. Saat ia memarkir mobil, matanya langsung menangkap sesuatu yang membuatnya terdiam sejenak.
Mobil Bagas. Sudah terparkir di sana.
Jantung Raka berdetak lebih cepat, namun langkahnya tetap mantap. Ia tahu kedatangannya bukan untuk menantang, melainkan menolong. Dan ia tak akan mundur hanya karena kehadiran pria itu.
Di dalam rumah, Bagas berdiri terpaku menatap dua koper besar yang telah tersusun rapi di dekat pintu keluar. Di kejauhan, ia mendengar suara langkah mobil masuk ke pekarangan. Ketika menoleh keluar jendela, matanya membelalak.
“Dia datang...” desisnya, wajahnya berubah tegang.
Bagas melangkah cepat ke pintu, membukanya dengan kasar. Di depannya, Raka baru saja menaiki tangga teras rumah sambil menenteng tas selempang dan menatapnya tenang.
“Bagus. Jadi kamu benar-benar niat jemput istri orang, ya?” suara Bagas tajam.
“Bukan istri siapa-siapa kalau tidak diperlakukan sebagaimana mestinya,” balas Raka tegas.
“Kurang ajar!” Bagas melangkah maju dengan gerakan mengancam.
Tepat saat itu, pintu kamar terbuka. Aruna keluar sambil membawa tas terakhirnya. Matanya langsung menangkap dua pria yang siap berseteru di depan rumahnya.
“Bagas! Sudah cukup! Jangan buat semua ini lebih buruk dari yang sudah terjadi!” serunya dengan napas cepat.
Bagas terdiam. Napasnya berat. Tatapannya berpindah dari Raka ke Aruna, dan dalam sekejap, ia seperti kehilangan semua tenaga untuk marah.
Langkahnya goyah mendekat ke arah istrinya. “Aruna, tolong... jangan pergi.”
Aruna menatapnya, matanya basah namun tetap teguh. “Aku sudah lelah, Bagas. Rasanya aku sudah tak punya tempat di rumah ini. Bahkan kau bilang aku hanya menumpang.”
“Oke, oke aku mengaku salah,” suara Bagas merendah. “Aku... pulang karena ingin menyelesaikan semua ini. Aku sadar aku terlalu egois, terlalu keras kepala. Tapi jangan pergi sekarang, jangan tutup pintu kita begitu cepat. Aku masih ingin memperbaiki semuanya.”
Hening. Hanya suara angin yang menyapu pelan dedaunan kering di halaman. Raka memandang Aruna, menanti keputusan yang akan diambil wanita itu.
Dengan napas panjang, Aruna menatap mata suaminya. Di sana ia melihat ketakutan... dan penyesalan.
“Baiklah,” ujarnya pelan. “Aku beri satu kesempatan lagi. Tapi ini bukan untukmu, Bagas. Ini untukku... untuk semua yang sudah aku perjuangkan.”
Bagas mengangguk pelan, matanya mulai berkaca-kaca.
Aruna kemudian menoleh ke arah Raka. “Raka... terima kasih sudah datang. Terima kasih sudah mau menolongku.”
Raka terlihat ragu. Ada sesuatu di matanya sedikit kecewa, mungkin. Tapi ia tetap tersenyum kecil.
“Aku senang kamu memilih untuk tetap bertahan. Semoga kamu menemukan bahagiamu kembali, Aruna,” katanya lembut.
Aruna mengangguk, matanya berkaca-kaca.
Raka lalu melangkah pelan menuju mobilnya. Sebelum masuk, ia sempat menoleh sekali lagi ke arah Aruna. Lalu tanpa kata, ia masuk dan pergi.
Aruna berdiri di ambang pintu, masih menatap ke arah jalan yang perlahan menelan kepergian Raka. Di belakangnya, Bagas hanya bisa berdiri diam. Menyadari bahwa ia baru saja diselamatkan oleh wanita yang hampir ia lepas, dan oleh lelaki yang mungkin bisa saja menggantikan dirinya.
Setelah Raka pamit dan mobilnya perlahan meninggalkan halaman, keheningan menyelimuti rumah itu. Suara mesin memudar, namun ketegangan di antara Bagas dan Aruna tetap menggantung di udara. Mereka berdiri beberapa langkah saling berjauhan, seperti dua orang asing yang baru saja dipertemukan dalam kondisi yang tak pernah mereka harapkan.
Aruna menunduk, memeluk lengan kirinya sendiri. Bayangan kata-kata Bagas yang kasar dan menghina beberapa waktu lalu masih berputar di kepalanya. Luka itu belum sempat mengering, apalagi menghilang. Sementara Bagas berdiri di tempatnya, matanya menatap Aruna dengan rasa bersalah yang jelas terbaca.
Tanpa banyak kata, Bagas melangkah ke arah pintu. Ia menunduk, mengangkat kedua koper yang tadi sempat disiapkan Aruna untuk pergi. Perlahan, ia membawanya kembali ke dalam kamar mereka. Tak ada suara, hanya denting roda koper menyentuh lantai yang mengisi ruang sunyi di antara mereka.
"Kalau kamu sudah siap... aku akan menunggu di ruang kerja," kata Bagas singkat saat ia keluar dari kamar kembali, suaranya rendah namun tidak tergesa. "Kita bicarakan semua. Tanpa emosi. Aku nggak mau semuanya makin rusak."
Aruna hanya mengangguk pelan, tanpa menoleh. Di balik sikap diamnya, pikirannya kacau. Tapi di dasar hatinya, ia tahu entah siap atau tidak pembicaraan itu harus terjadi. Karena mereka sudah terlalu jauh saling menyakiti.
Dan kali ini, satu kalimat bisa jadi awal pemulihan... atau benar-benar akhir dari segalanya.
prosanya sip...mkin skbma novel mu thor