Devan Arenra Michael adalah Laki-laki berumur 21 tahun yang menyukai sahabatnya sejak tiga tahun yang lalu. Takut ditolak yang berujung hubungan persahabatan mereka hancur, ia memilih memendamnya.
Vanya Allessia Lewis, perempuan dengan sejuta pesona, yang sedang berusaha mencari seorang pacar. Setiap ada yang dekat dengannya tidak sampai satu minggu cowok itu akan menghilang.
Vanya tidak tahu saja, dibalik pencarian dirinya mencari pacar, Devan dibalik rencana itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Citveyy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 21 Bersaing
Devan mengerucutkan bibirnya karena diabaikan oleh dua makhluk yang sedang sibuk bermain. Sejak tadi ia berusaha mengalihkan atensi mereka berdua tapi mereka tetap saja bermain tanpa memperdulikannya.
Para orang tua yang melihat Devan yang duduk agak jauhan dari Vanya dan Devin hanya terkekeh kecil. Selalu saja seperti ini setiap saat ada Devin. Pasti Devan selalu dilupakan karena Vanya lebih memihak Devin jika kedua bersaudara itu sedang bertengkar.
"Kasihan Devan."
"Benar banget, dia mirip orang gila kalau kayak gitu, " Cetus Lena tertawa.
"Cabe gak boleh gitu sama anak sendiri," Vanesa berbicara namun ada nada geli diperkataannya.
"Lihat-lihat Devan mau mendekat," Seru Michel membuat mereka berempat kembali fokus pada Devan yang mulai mendakati Vanya dan Devin.
Devan mendekat ia bukan tipe orang yang begitu sabar. Ia mendekat kemudian berdehem akan tetapi Devin dan Vanya masih saja belum menyadari kehadirannya.
"Halo." Devan menyapa seperti orang bodoh. Senyumnya begitu lebar berharap dalam hati kalau Devin dan Vanya menoleh padanya dan mengajaknya juga bergabung.
"Mami ini."
Devin anjay
Devan berteriak dalam hati. Devin ini licik sekali. Ingin menguasai Vanya padahal kakaknya ini yang akan jadi suaminya kelak tapi ia lebih ingin seluruh perhatian Vanya ada pada dirinya.
"Ini pelurunya di masuki kesini," Jelas Vanya mengajari Devin. "Terus ini tombolnya di pencet kayak tadi."
Duk
"Anjing sakit Devin!"
Devan mengadu memegang pipinya yang terkena peluru tembakan Devin. Untung bukan matanya yang kena.
"Devan ih, namanya juga anak kecil. Devin sampai kaget loh sama teriakan lo. Sana-sana deh, ganggu aja. Gitu aja teriak kesakitan, lembek."
Poor Devan. Lihat kan, belum beberapa menit saja ia bergabung dirinya sudah diusir. Apa salahnya coba. Peluru yang terkena pada pipinya itu lumayan sakit, tidak ada salahnya jika ia berteriak kesakitan.
"Awas aja lo Devin."
Vanya hanya menggelengkan kepalanya. Devan ini seperti anak kecil saja. Tidak ingin mengalah padahal Devin adiknya sendiri.
•••
Keluarga Devan memutuskan bermalam dirumah Vanya karena Devin yang tak ingin pulang dan Vanesa juga yang memaksa Lena dan Michel untuk bermalam satu hari saja dirumahnya. Devan? Tentu saja ia ikut bermalam. Mana mungkin ia pulang disaat ada kesempatan emas.
Devin berada dikamar Vanya karena bocah itu terus menangis jika dibawah oleh Lena dan michel. Bocah itu memang dari dulu lengket pada Vanya karena itu ulah Devan sendiri. Jika Devan ingin pergi kemana-mana pasti ia akan mengatasnamakan Devin supaya Vanya ikut pergi dengannya. Dan untuk panggilan Mami dan Papi itu ajaran Devan sendiri.
Dulu saat mereka bertiga pergi jalan-jalan ada segerombolan laki-laki mendekat pada Vanya yang sedang membeli telur gulung. Mereka meminta nomor telfon Vanya membuat Devan geram dan muncullah ide jahil dikepalanya. Ia menyuruh Devin yang memang sedang pintar-pintarnya berbicara memanggil Vanya dengan sebutan Mami. Alhasil segerombolan cowok itu berhasil pergi dari sana berkat ide jahilnya. Saat Vanya bertanya siapa yang mengajari Devin Devan hanya mengatakan tak tahu.
"Devin tidur sekarang. Ini sudah malam."
"Gak mau." Devin kembali mewarnai gambar yang diberikan Vanya.
"Devin ih, tidur!"
"Devan gak usah teriak-teriak. Devin masih kecil, jangan dimarahin terus."
"Bela aja terus."
"Dih kayak anak kecil lo."
Devin meleletkan lidahnya dengan sengaja. Devan yang melihatnya ingin rasanya mencekik adiknya itu.
"Ih pintar banget sih," Vanya memberi pujian pada Devin. Devan yang mendengarnya hanya tersenyum remeh. Itu apaan coba? Mewarnai dengan coret-coretan tak jelas saja dibilang pintar.
"Makaci."
Cup
"Eh," Kaget Vanya namun setelah itu terkekeh.
Devan melototokan matanya begitu lebar. Ia mendekat dan langsung menarik Devin menjauh dari Vanya.
"Heh ngapain lo cium Vanya di bibirnya? Anak kecil kok gitu hah?!"
"Dev---"
"Diam!" Bentak Devan. Ia teramat cemburu karena Devin mencium Vanya tepat dibibirnya. Vanya juga bisa-bisanya bereaksi biasa saja.
"Anak kecil itu gak boleh gitu."
"Hua!"
Devin menangis karena mendapatkan bentakan dari kakaknya. Sedangkan Vanya langsung mengambil Devin dan menggendong bocah itu.
"Nangis terus, sudah salah malah nangis. Gak gentlemen banget sih lo."
"Keluar."
"Tap---"
"Keluar!"
"I....iya," Devan langsung ngacir keluar karena takut melihat tatapan mematikan Vanya.
•••
Vanya menggeliat kecil karena merasakan pipinya yang dikecup terus. Dan berdecak kecil saat tahu siapa orang yang menganggu tidurnya.
Devan pelakunya. Vanya segera memunggungi Devan dan menghadap Devin yang sedang tertidur nyenyak. Sedangkan Devan yang mendapatkan sikap cuek dari Vanya hanya terkekeh. Ia tak bermaksud menganggu tidur gadisnya hanya saja dirinya tak dapat menahan ingin mengecup dan mencubit pipi Vanya yang tembem.
"Devan jangan ganggu. Gue ngantuk banget."
"Gak ganggu kok. Tidur aja." Devan semakin mengeratkan pelukannya membuat Vanya menghela nafas kasar. Ia tak punya mood bertengkar dengan Devan di tengah malam hari.
"Tangannya jangan kemana-mana."
"Iya-iya."
Mereka berdua sama-sama terdiam atau hanya Vanya yang kembali tertidur. Devan mencoba membuktikannya dengan mencubit kecil perut Vanya.
"Aw, Devan ih!"
"Sorry-sorry kirain sudah tidur."
"Ya lo ganggu terus."
"Hehehe hadap sini coba."
"Mau ngapain?"
"Ya hadap sini dulu."
Vanya menghadap pada Devan dengan amat terpaksa. Matanya masih sayu seperti ingin kembali tertidur. Devan semakin bersalah karena telah menganggu tidur Vanya. Ya gimana lagi, Vanya itu gemesin jadi Devan tak tahan.
"Masih ingat gak cerita Ale sama Endra?"
"Hmm," Vanya merespon dengan menggumam.
"Kalau Endra jadi berhenti suka sama Ale gimana menurut lo?"
Vanya langsung membuka matanya yang sebelumnya ingin memejam.
"Gak mungkin, soalnya Endra cinta banget sama Ale."
"Siapa tahu kan. Perasaan gak ada yang tahu. Siapa tahu Endra sudah capek sama perasaanya."
"Kenapa Endra gak langsung bilang aja kalau dia cinta banget sama Ale."
"Gak seggampang itu Vanya. Endra itu takut kalau cintanya ditolak terus persahabatan mereka jadi renggang."
"Belum dicoba kan? Cewek itu butuhnya keberanian dari cowok."
"Tapi ini beda."
"Yaudah."
Devan mencebbikkan bibirnya mendengat reaksi Vanya yang biasa saja. Memang cewek gak peka. Padahal kan cerita ini cerita mereka berdua.
"Dev."
"Apa."
"Kirain sudah tidur."
"Mata gue masih terbuka lebar ini. Mata lo aja itu yang tertutup makanya gak lihatin gue," Cetus Devan.
"Oh."
Oh doang? Ya ampun. Devan kenapa bisa suka sama cewek kayak gini sih. Lucu iya tapi nyebelinya minta ampun
"Dev."
"Apasih?" Tanya Devan dengan suara kesal.
Cup
"Selamat malam."
Vanya memunggungi Devan yang sedang bengong. Bagaimana tidak bengong kalau Vanya memberikan kecupan singkat di sudut bibirnya. Mana gak bertanggung jawab lagi sama keadaan jantungnya yang mulai berdisko ria.
"Anjing malam-malam nih anak bikin gue baper"
Devan menahan senyumnya dan memeluk Vanya dari belakang. Agaknya malam ini akan menjadi malam terindah untuk kesekian kalinya.
•••
Karena ini hari minggu Vanya mengajak Devin joging pagi di sekitaran komplek rumahnya. Kompleknya ini ada lapangan yang lumayan besar dan ada juga taman-taman kecil disana sehingga tetangga-tetangga disini banyak yang suka nongkrong disana.
"Vanya." Sapa segerombolan ibu-ibu yang sepertinya ingin berjalan kearah yang sama seperti Vanya.
"Ibu-ibu mau pada senam pasti kan?" Tebak Vanya yang diangguki mereka. Pasalnya mereka ini suka melakukan senam setiap pagi dan sore di lapangan.
"Iya dong kan kita mau punya badan sehat kayak kamu."
"Ibu biasa aja, ayo saya juga mau ikut senam sama kalian."
"Eh dia siapa Vanya?"
"Oh ini dia adik Devan sahabat saya."
"Adiknya toh, kirain Devan anak tunggal."
"Hehehe enggak Bu."
Mereka melanjutkan perjalanan dan sampai mereka di lapangan mereka semua mulai bersenan. Sedangkan Devin sendiri nyaman duduk diatas rerumputan memainkan game di hp Vanya.
Devan yang baru saja datang dengan masih memakai celana pendek selututnya mendengus. Baru bangun ia sudah membuat gaduh seisi rumah karena tak melihat kehadiran Vanya.
Devan berhenti melangkah. Ia berkacak pinggang. Selalu saja jika Vanya datang kelapangan. Pasti bocah-bocah tengik yang katanya ingin berolahraga itu mengambil kesempatan dengan terus berusaha mendekati Vanya dan mencuri gambar Vanya secara diam-diam.
"Ih kak Vanya cantik banget."
"Iya cantik banget."
"Heh dia punya gue. Lo pada kan sudah punya pacar. Mau gue ngadu sama mereka kalau lo mau selingkuh?"
"Iya-iya Remon kita cuma bercanda. "
Devan berjalan cepat dan langsung mengambil ponsel ketiga anak itu. Ia menatap bocah yang bernama Remon yang ia sangat kenali sangat menyukai Vanya.
"Heh bocah, lo pada bisa di penjara loh kalau ambil foto orang diam-diam."
Teman Remon langsung menunduk takut. Mereka berdua itu sangat takut pada Devan karena dulu Devan pernah membantu mereka lepas dari preman. Makanya sampai sekarang ini mereka tak punya nyali melawan Devan.
"Kak Devan kenapa sih selalu ganggu kami?"
Bocah ini. Devan rasanya ingin tertawa keras melihat keberanian anak ini.
"Ya kalian ambil foto sahabat gue diam-diam."
Remon memutar bola matanya malas. Tidak ada alasan lain lagikah. Remon tahu betul kalau Devan ini juga menyukai Vanya sama seperti dirinya. Tidak bisakah mereka bersaing secara sehat saja.
"Gue tahu lo suka sama Kak Vanya kan kak? Ngaku aja deh."
"Heh mulutnya."
"Kalau gak suka ngapain marahin kami ambil foto kak Vanya."
"Karena gue gak mau sahabat gue di dekatin bocah tengik kayak kalian."
"Dih daripada Kak Devan yang cuma diam-diam suka sama Kak Vanya."
"Heh lo," Devan menunjuk Remon dengan gigi yang bergemelatuk.
"Gini aja deh kak, gimana kalu kita bersaing secara sehat saja. Gimana?"
"Apaansih lo."
"Yaudah kalau gak mau."
"Heh!"
"Terus mau lo apa kak?"
Devan berfikir keras. Ia tak rela jika Vanya berada digenggaman bocah ini. "Yaudah."
"Deal?" Remon mengulurkan tangannya yang di balas oleh Devan.
"Deal!"