Jalan berliku telah Nina lalui selama bertahun-tahun, semakin lama semakin terjal. Nyaris tak ada jalan untuk keluar dari belenggu yang menjerat tangan dan kakinya. Entah sampai kapan
Nina mencoba bersabar dan bertahan.
Tetapi sayangnya, kesabarannya tak berbuah manis.
Suami yang ditemani dari nol,
yang demi dia Nina rela meninggalkan keluarganya, suaminya itu tidak sanggup melewati segala uji.
Dengan alasan agar bisa melunasi hutang, sang suami memilih mencari kebahagiaannya sendiri. Berselingkuh dengan seorang janda yang bisa memberinya uang sekaligus kenikmatan.
Lalu apa yang bisa Nina lakukan untuk bertahan. Apakah dia harus merelakan perselingkuhan sang suami, agar dia bisa ikut menikmati uang milik janda itu? Ataukah memilih berpisah untuk tetap menjaga kewarasan dan harga dirinya?
ikuti kelanjutannya dalam
KETIKA SUAMIKU BERUBAH HALUAN
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18
Beberapa hari kemudian, laundry sederhana milik Nina mulai beroperasi. Tetangga-tetangga berdatangan, membawa cucian mereka.
“Nin, punyaku ini nanti cuci terus lipat tok aja ya. Ra usah disetliko. Wong gombal amoh wae kok.”
Hari masih pagi, seorang tetangga bernama Lasmini datang membawa kantong besar berwarna merah berisi pakaian kotor.
“Nggih, Mbah. Kalau cuma cuci lipat, in Syaa Allah nanti sore sudah jadi. Nanti biar saya antar ke rumah.”
Nina melayani pelanggannya dengan sepenuh hati. Dia menimbang pakaian itu dan menunjukkannya pada si empunya, lalu memberikan label menggunakan kertas yang direkatkan dengan selotip dan menempelkannya pada bagian luar kantong. Selain itu nina juga menandai bagian dalam pakaian agar jangan sampai tertukar dengan punya orang lain. Tak lupa Nina juga membuat catatan dalam sebuah buku besar. Nina benar-benar me-managemen usahanya dengan baik.
“Ya sudah kalau gitu. Aku mau pergi ke sawah dulu,” pamit Lasmini.
“Matun to Mbah?” Di sawahnya siapa?” Nina basa-basi bertanya.
“Iyo, e Nduk. Matun ning sawahe Pak Pur. Yo wis tak tinggal disek.”
“Nggih, Mbah. Matur suwun.”
***
Usaha laundry Nina semakin berkembang dari hari ke hari. Tak jarang Wito membantu sebisanya jika dia sedang tidak pergi ke sawah.
Matahari mulai meninggi, membakar semangat kerja Nina di laundry kecilnya. Senyumnya merekah setiap kali melihat tumpukan cucian yang bersih dan rapi. "Alhamdulillah, hari ini lumayan ramai," gumam Nina, sambil merapikan pakaian yang sudah kering.
“Aku yang bagian lipat ya Dek. Biar Kamu tinggal tangani yang setrika saja.” Wito yang baru selesai makan ingin ikut turun tangan.
"Memangnya Kamu gak capek, Mas. Kamu kan juga baru pulang dari sawah tadi?” Nina merasa tak enak hati.
“Tadi di sawah juga gak ngapa-ngapain kok Dek. Kebetulan ketemu sama pak puh Tarso, lalu ngobrol di gubuk.” Wito menjawab dengan jujur kalau dia tidak melakukan apapun di sawah. “Lagian sudah selesai matun. Padi yang baru mulai bunga kan gak boleh disasak. Jadi tinggal sesekali ngubat sambil nunggu panen.”
“Ya sudah bantuin kalau gitu. Tapi cuci tangan dulu sana, Mas. Yang bersih pakai sabun. Tanganmu bau rokok kan?”
“Aku belum pegang rokok kok Dek, dari habis mandi tadi,” bantah Wito. “Tapi aku cuci tangan aja deh, soalnya tanganku bekas kerupuk pas makan barusan. Takutnya pakaian orang bau minyak nanti.” Wito pun segera ke belakang untuk cuci tangan.
Nina memang mengutamakan kebersihan agar tak mengecewakan pelanggan. Bahkan dia selalu mandi dulu sebelum mulai menyetrika pakaian, agar tak ada keringatnya yang terkena pakaian. Harapan nya, pelanggan tidak kapok untuk datang ke tempatnya.
Usaha Nina yang semakin maju itu pun, sampai juga di telinga Romlah dan Damin. Dan hal itu membuat hati mereka merasa terbakar
"Dasar perempuan tidak tahu terima kasih!” umpat Romlah. “Dibaik-baikin, ditolongin bayar hutang malah tak tahu balas budi!” gerutunya.
“Memangnya apa salahnya sih berbagi suami? Apa dia itu tidak tahu, kalo berbagi itu berpahala?” Romlah ngomel-ngomel tiada henti. “Awas saja, aku pasti akan membuat usahanya itu sia-sia. Dia akan bangkrut, lalu terlilit hutang lagi. Lalu dia akan merengek padaku. Dia akan meminjam uang dan membiarkan Wito menjadi milikku.” tawa jahat terdengar dari suaranya yang sedikit mengerikan.
Di pasar ketika beberapa tetangga datang berbelanja di kiosnya, Romlah mulai menebar racunnya.
"Eh, Mbak-mbak… tau nggak sih, laundry Nina itu… kotor tau!" ucap Romlah, ucapnya tanpa mengecilkan suara, hingga beberapa orang yang juga berbelanja di kios lain pun ikut mendengarnya.
Bu Sarni, tetangga yang kebetulan sedang berbelanja di tempatnya mengerutkan kening. "Kotor? Maksudmu?" tanyanya penasaran.
Romlah melanjutkan dengan licik, "Iya, kotor. Kurang bersih. Menurutku sih dia itu pake deterjen yang murah, bajuku malah jadi bau semua setelah dicuci di situ. Mana setrika nya gak halus pula!”
Beberapa orang yang memang belum pernah menggunakan jasa laundry di tempat Nina tiba-tiba merasa ragu, mereka sedikit mempercayai ucapan Romlah.
“Apa benar seperti itu?” Tanya Mbak Susi.
“Ya benar lah. Masa iya aku bohong?” jawab Mbak Romlah ketus.
“Wah wah, untung aku belum pernah laundry di sana. Kalau tidak pasti menyesal, bayar mahal-mahal tapi hasilnya tidak bagus.” Sahut yang lain.
Mbak Santi yang ikut mendengar itu mengernyit bingung, sekaligus merasa aneh. “Memangnya kamu nyuci di tempat Nina?” tanya nya.
“Engg,,, ya iya lah. Kalau nggak dari mana aku tahu?” Romlah sedikit gelagapan menjawab pertanyaan Santi.
Mata Santi memancing karena merasa aneh. “Serius kamu nyuciin baju di sana? Memangnya dia mau nerima? Secara kan kamu itu mantan selingkuhannya Wito. Kalau aku jadi Nina, mungkin bukannya aku cuci tapi malah aku bakar habis.” Santi yang merasa tidak percaya dengan ucapan Romlah malah menyerang wanita itu.
“Iya, benar juga ya?” Bu Sarni membenarkan ucapan Santi. Dan diikuti oleh yang lain yang menyerukan suara senada.
“Eh itu. Maksud aku bukan aku yang nyuciin pakaian di sana. Kalau aku sih ogah ya nyuci di sana, nggak level.” Romlah mencoba meralat ucapannya. “Yang nyuciin di sana itu temanku, dan dia bilang begitu.” Lanjutnya dengan sedikit gugup.
“Tadi kamu bilang kamu yang nyuci di sana, sekarang kamu bilang temanmu. Yang bener yang mana?” Bu Asih yang sudah menahan suara sejak tadi akhirnya tidak tahan. Karena dia sendiri sering mencuci di tempat Nina dan hasilnya sangat memuaskan.
“Kalian ini kalau dibilangin tidak percaya. Lihat saja nanti, lama-lama pakaian kalian akan rusak kalau sering di laundry ke sana. Dia itu kan baru belajar, belum profesional.” Romlah terus mencoba mengkopori mereka.
Mbak Santi dan Bu Asih yang merasa pembicaraan dengan Romlah tidak ada faedahnya segera pergi dari sana. Mereka berpikir kalau Romlah hanyalah orang yang sirik dengan Nina, jadi untuk apa ditanggapi.
“Mereka itu kan cs-nya Nina. Terang saja mereka berdua membela Nina.” Romlah masih mencoba mengompori Susi dan temannya yang lain.
Bahkan demi memuluskan rencananya, Romlah tak segan memberikan beberapa barang belanja secara gratis pada mereka.
Strategi Romlah tampaknya berhasil. "Aku nggak berani nyuci di situ deh," kata Susi kepada Bu Nunik
Bu Nunik mengangguk setuju. "Aku juga, mending nyuci sendiri saja," timpalnya.
Romlah tersenyum penuh kemenangan, dan dia berjanji tak akan berhenti sampai di situ.
***
Beberapa hari kemudian, Nina yang awalnya merasa senang karena usahanya berkembang pesat, kini mulai merasakan penurunan pelanggan.
"Kok aku merasa beberapa hari ini laundry sepi ya?" gumam Nina heran, sambil menatap tumpukan pakaian yang semakin sedikit. Hari ini hanya ada beberapa orang yang suci lipat saja. Tidak ada yang meminta jasa setrika.
Tapi Nina mencoba tetap berpikir positif. “Ah mungkin Allah Sedang menyuruh aku untuk istirahat sebentar. Mungkin DIA takut aku kelelahan,” gumamnya.
“Sholatullah salamullah….”
“Ala Thoha Rasulillah…”
“Sholatullah salamullah…”
“Ala Yasin habibillah…”
Sambil melipat pakaian-pakaian yang telah kering, Nina melantunkan sholawat untuk menentramkan hatinya.
duh, wit wit..mulakno to ora usah kakean polah, duwe bojo pinter golek duit kok yo isih bertingkah... ckckck