Angelo, yang selalu menyangkal kehamilannya, melarikan diri setelah mengetahui bahwa ia mengandung anak Maximilliam, hasil hubungan semalam mereka. Ia mencari tempat persembunyian terpencil, berharap dapat menghilang dan menghindari konsekuensi dari tindakannya. Kehamilan yang tak diinginkan ini menjadi titik balik dalam hidupnya, memaksanya untuk menghadapi kenyataan pahit dan melarikan diri dari masa lalunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Novianti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Don't want any competition ll.
"Kalau mau adopsi, ya ambillah, rawat saja bersama istrimu nanti," jawab Angelo acuh tak acuh, matanya menatap kosong ke arah deretan boks bayi mungil yang berjejer rapi. Ruangan itu berbau khas susu formula dan bedak bayi, aroma yang biasanya menenangkan, namun bagi Angelo terasa menyesakkan.
Maximillian mengamati Angelo. Wanita itu tampak benar-benar tidak nyaman di ruangan itu, tubuhnya tegang, tangannya mengepal di sisi tubuh. "Bukankah lebih baik kita belajar merawat bayi sebelum anak kita lahir?" tanya Maximillian lembut, berusaha mencairkan suasana.
Angelo menghela napas panjang, suaranya terdengar berat. "Aku tidak akan pernah mengadopsi anak siapa pun."
Maximillian mengerutkan kening, tatapannya tajam. Cyne dan Janet, yang sedari tadi berdiri di dekatnya, ikut menatap Angelo dengan heran. "Tapi..." Maximillian memulai lagi, namun ucapannya terpotong.
"Aku tidak ingin menciptakan saingan untuk anakku," potong Angelo cepat, suaranya sedikit meninggi. "Apalagi anak adopsi tak memiliki darah yang sama denganku. Tak menutup kemungkinan mereka akan menuntut hal yang sama seperti anakku kelak, dan aku tak suka itu." Ia menatap tajam ke arah ketiganya, seolah menantang mereka untuk membantah.
Cyne, Janet, dan Maximillian terdiam. Harapan mereka untuk mengadopsi salah satu bayi mungil itu sirna seketika. Hening menyelimuti ruangan, hanya suara isak tangis bayi yang sesekali terdengar.
"Dan soal mengurus bayi, aku akan melakukan yang terbaik," lanjut Angelo, suaranya sedikit melunak, namun tetap tegas. "Tapi tidak dengan membawa orang asing ke dalam hidupku." Dengan langkah pasti, Angelo meninggalkan ruangan, meninggalkan ketiga sahabatnya yang masih terpaku di tempat, merenungkan kata-kata Angelo yang menusuk hati. Aroma susu formula dan bedak bayi yang tadi terasa menyesakkan bagi Angelo, kini terasa begitu menyayat bagi mereka bertiga.
. . .
Senja mulai merambat, menyelimuti taman kota dengan warna jingga keemasan. Angelo duduk di bangku taman, sendirian. Tatapannya kosong, mengikuti bola sepak yang ditendang anak-anak kecil dengan riang. Angin sore berhembus lembut, membawa aroma bunga mawar dan tanah basah, namun tak mampu meredakan beban di hatinya. Sebuah helaan napas berat terdengar, memecah kesunyian.
Tak jauh dari sana, Jacob dan Maximillian memperhatikan Angelo. Cahaya senja menerpa wajah mereka, menyorot raut wajah yang penuh simpati. "Angelo punya alasan di balik penolakannya," ucap Jacob pelan, suaranya hampir tak terdengar di antara suara anak-anak yang bermain.
Maximillian menoleh, tatapannya mengikuti arah pandang Jacob yang tertuju pada Angelo. Wajah Jacob tampak sendu, matanya menyimpan cerita yang berat. "Angelo punya banyak yayasan di bawah tanggung jawabnya. Dia memberikan tempat yang layak untuk anak-anak kurang beruntung. Tapi kalau soal mengadopsi, atau merawat mereka secara langsung… Angelo tak akan pernah melakukannya," lanjut Jacob, suaranya bergetar sedikit.
Jacob menatap Maximillian yang masih terlihat bingung. Ia menarik napas dalam-dalam, seolah mengumpulkan keberanian untuk menceritakan kisah yang menyakitkan. "Masa lalunya membuat Angelo enggan berhubungan langsung dengan anak-anak kurang beruntung. Dia lebih memilih menempatkan mereka di yayasan, memastikan mereka hidup dengan baik di sana."
Mata Jacob berkaca-kaca. "Dulu, Miracle dan Maureen, kakak-beradik angkat Kakek Angel—karena Profesor Rin terlalu sibuk mengurus pekerjaannya—mereka meminta hak yang sama dengan anak kandung Kakek Angelo, termasuk pembagian harta. Saat Kakek menolak, mereka membunuh orang tua Angelo… tepat di depan matanya." Jacob mengusap air mata yang jatuh membasahi pipinya. Ia mengingat kembali saat menemukan Angelo kecil bersembunyi ketakutan di dalam lemari pakaian, tubuhnya gemetar hebat.
Jacob menghapus air matanya. "Mungkin Miracle adalah ibu yang baik sebelum kejahatannya terungkap. Tapi bagi Angelo, tak ada kata 'baik' untuk orang-orang yang telah merenggut orang tuanya." Suaranya tercekat, diiringi desiran angin sore yang semakin dingin.
"Dan kalau kamu mau adopsi anak itu, silakan. Tapi jangan harap bisa menikah dengan Angelo," potong Jacob, mengakhiri kalimatnya dengan nada tegas. Tatapannya tajam, seolah menekankan keseriusan ucapannya.
Maximillian kini mengerti alasan Angelo menolak mengadopsi bayi-bayi itu. Ia tak pernah terpikir sampai ke sana. Dan soal Miracle… Maximillian tak akan menutup mata jika ibunya Angelo adalah salah satu penyebab Angelo bersikap demikian terhadap anak-anak kurang beruntung.
. . .
Lampu-lampu restoran mewah itu berkilauan, memantul di permukaan sendok garpu perak. Aroma hidangan-hidangan mahal memenuhi ruangan, namun tak mampu menggugah selera makan Angelo. Malam itu, mereka makan malam bersama, namun nuansa hangat sebuah keluarga terasa hampa. Kakek Xavier dan Theodore asyik berbincang bisnis, seakan tak menyadari keberadaan cucu-cucu mereka di meja makan yang besar dan megah itu.
Angelo hanya mengaduk-aduk makanan di piringnya, hidangan lobster panggang yang tampak lezat itu sama sekali tak menarik perhatiannya. Wanita itu kehilangan selera makan setelah mengunjungi yayasan tadi siang. Kata-kata suster yang mengatakan Angelo sombong karena tak mau mengadopsi, dan bahkan mengatakan Angel tak pantas menjadi ibu… ucapan itu masih bergema di telinganya. Bayangan mata bayi-bayi mungil itu seolah menatapnya penuh tanya.
Angelo menghela napas panjang, suaranya terdengar lirih. Seketika, semua orang di meja makan menatapnya. Suasana riuh rendah seketika menjadi hening. "Angelo, ada apa?" tanya Kakek Xavier, suaranya terdengar lembut namun penuh perhatian. Ia memperhatikan raut wajah cucunya yang tampak lesu dan gelisah.
Angelo menggeleng pelan, "Aku tidak apa-apa, Kek." Namun, raut wajahnya yang pucat dan matanya yang berkaca-kaca membantah ucapannya.
Cyne, yang memahami alasan di balik kemurungan Angelo, mendekat ke Kakek Xavier dan membisikkan sesuatu ke telinganya. Kakek Xavier mendengus keras, kemarahan terlihat jelas di wajah tua itu. Namun, ia segera meredam amarahnya. "Angelo sayang, malam ini, menginaplah di kediaman Kakek," ucap Kakek Xavier dengan lembut, suaranya penuh kasih sayang.
Angelo mengangguk lemah. Ia kembali menyentuh makanannya, namun suapannya kecil dan lamban. Perutnya terasa penuh, bukan karena makanan, tetapi karena beban yang menghimpit hatinya. Stres dan kekhawatiran membuatnya kehilangan selera makan.
Melihat raut wajah Angelo yang pucat dan matanya yang berkaca-kaca, Maximillian memutuskan untuk membiarkan wanita itu menginap di kediaman Cyne. Ia berpikir, berada di tengah keluarga dan orang-orang terdekatnya mungkin akan lebih menenangkan Angelo daripada di kediaman McKlaine yang terasa begitu formal dan kaku.
Malam itu, Angelo kembali ke kediaman mewah Kakek Xavier. Cyne, dengan lembut, berusaha meyakinkan Angelo bahwa dirinya adalah calon ibu yang baik. Ia juga mengatakan bahwa keputusan Angelo untuk tidak mengadopsi adalah pilihan yang tepat, terutama demi kesehatan bayi dalam kandungannya. Sentuhan tangan Cyne yang hangat di bahu Angelo, memberikan sedikit ketenangan.
Kakek Xavier, tak tinggal diam. Pria tua itu langsung menghubungi ketua yayasan dan menceritakan apa yang telah dikatakan Cyne. Ia menyampaikan kekesalannya atas ucapan tak bermoral suster tersebut yang telah membuat Angelo terbebani dan stres berlebihan. Suaranya terdengar dingin dan tegas melalui sambungan telepon, tak ada ruang untuk pembelaan.
Amarah Kakek Xavier memuncak saat melihat cucunya menangis tersedu-sedu, terus bergumam, "Aku bukan ibu yang baik… aku bukan ibu yang baik untuk anak-anakku kelak…" Air mata Angelo membasahi pipinya, menetes di atas selimut sutra yang lembut. Melihat penderitaan cucunya, Kakek Xavier membuat keputusan tegas. Dengan berat hati, namun dengan tekad bulat, ia memutuskan untuk menarik seluruh dukungan finansialnya untuk yayasan tersebut. Keputusan itu berat, namun kesejahteraan cucunya jauh lebih penting daripada sebuah yayasan. Ia tak akan membiarkan siapa pun menyakiti cucunya.
lgian,brsa bgt jd krban pdhl dia yg jd trsngka....yg slingkuh kn dia,tp janet yg d tduh....dsr gila....
Angelo mau jg nkah sm max.....aws aja kl max ky sng mntan yg bjingn....
Laahhh.....janet mlh ktmu mntan...bkln gelut ga y????🤔🤔🤔
tmbh lg trauma msa lalu,pst bkin dia mkin down....mga aja max bsa bkin dia lbh smngt.....
lgian,udh ada ank sndri knp mlah adopsi????sukur2 kl ga iri pas udh dwsa,kl iri kn mlah bhya....
jgn blng kl goerge d jbak skretarisnya pke ssuatu,trs dia tau dn nyri istrinya????
tp mmdingn gt sih,drpd jd skandal....
kl angelo nkah sm max,brrti janet jd adik ipar....tp kn janet bkln nkah sm jacob,pdhl jacob pmannya angelo....
🤔🤔🤔