Benar kata orang, tidak ada hal yang lebih menyakitkan kecuali tumbuh tanpa sosok ibu. Risa Ayunina atau kerap disapa Risa tumbuh tanpa sosok ibu membuatnya menjadi pribadi yang keras.
Awalnya hidup Risa baik baik saja meskipun tidak ada sosok ibu di sampingnya. Karena Wijaya—bapak Risa mampu memberikan kasih sayang penuh terhadapnya. Namun, di usianya yang menginjak 5 tahun sikap bapak berubah drastis. Bapak yang awalnya selalu berbicara lembut kini berubah menjadi sosok yang keras, berbicara kasar pada Risa dan bahkan melakukan kekerasan fisik.
“Bapak benci sama kamu, Risa.”
Risa yang belum terlalu mengerti kenapa bapaknya tiba tiba berubah, hanya bisa berdiam diri dan bersabar. Berharap, bapak akan kembali seperti dulu.
“Risa sayang bapak.”
Apakah Bapak akan berubah? Apa yang menyebabkan bapak menjadi seperti itu pada Risa? Ikuti terus kisah Risa dan jangan lupa untuk memberikan feedback positif jika kalian membaca cerita ini. Thank you, all💐
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hyeon', isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPS 21
“Tolong jangan pergi, gue mohon.” Mendengar penuturan Jeff membuat Risa tertegun. Ia sempat diam sejenak dengan posisi Jeff yang masih memeluknya.
Desiran angin menerpa kulit lembut mereka. Langit yang semula cerah kini mulai tertutup oleh awan mendung. Sambaran petir mulai terdengar begitu nyaring. Risa sontak menutup telinganya kala mendengar bunyi petir.
“Jangan takut, ada gue.” Bisik Jeff tepat di telinga Risa. Dengan hitungan detik, hujan turun dengan lebat. Tidak. Jeff tidak membawa Risa untuk berteduh. Melainkan menyuruhnya untuk berdiri di tengah derasnya hujan. Menikmati setiap tetesan air yang jatuh dari langit.
“Jangan takut hujan, Sa. Mari nikmati setiap tetesan air yang jatuh dari langit.”
“Tapi, Jeff—”
“Nggak, Sa. Lo nggak takut hujan, lo hanya perlu berdiri sejenak dan percaya lagi kalau hujan itu nggak bahaya. Berdiri di tengah guyuran hujan itu seru, Sa.”
Jarak mereka teramat dekat. Risa terus menatap netra hitam Jeff. Hingga Risa menyadari bahwa ada sebuah ketulusan di sana. Jeff lantas melepaskan pelukannya. Ia pun berjalan mundur dengan senyuman yang terukir lebar.
“Lihat, Sa. Dengan berdiri di sini, lo bisa luapin emosi lo tanpa ada orang yang tahu. Lo bahkan bisa nangis dengan bebas, tanpa orang lain tahu kalau lo lagi nangis.”
Jeff terus meracau dengan senyuman yang tak kunjung luntur. Bahkan ia tertawa, dan tawa itu terdengar menyedihkan. Ya, tanpa sadar Jeff menitikkan air matanya. Dan Risa sadar akan hal itu.
“Jeff, lo nangis?”
“Hanya meluapkan emosi yang terpendam, Sa.”
Entah karena terlalu terlena atau bagaimana, tapi Risa melupakan sesuatu. Kali ini, panik attack–nya tak lagi kambuh. Tangannya tak lagi gemetar. Tubuhnya tak lagi menggigil, dan napasnya tak lagi sesak.
“TERIAK SA TERIAK. LUAPIN SELURUH EMOSI LO!”
Risa masih diam dengan air mata yang terus keluar sedari tadi. Ingin rasanya ia berteriak sekencang mungkin. Namun, mulutnya terasa kelu. Tapi, Jeff terus menyuruhnya untuk berteriak. Meluapkan seluruh emosi yang selalu ia pendam.
Hingga …
“GUE CAPEK, CAPEK. GUE CUMA MAU HIDUP TENANG TANPA ADANYA LUKA YANG TERUS MENAMBAH!!”
“Good girl.” Jeff tersenyum melihat Risa yang mulai berteriak. Melihat punggung Risa yang bergetar akibat isakan tangisnya, membuat Jeff ikut merasakan sakit.
Jeff lantas berjalan menghampiri Risa. Ia ikut berlutut dihadapan Risa yang saat ini semakin terisak. Kepala Risa sontak mendongak. Matanya memerah akibat air hujan dan tangisnya.
“Lebih tenang?”
“Sakit, Jeff. Kenapa harus gue? Kenapa?” Mendengar suara Risa yang begitu parau membuat Jeff langsung mendekap tubuh mungil Risa.
Jeff terus merekatkan pelukannya. Tangannya mengusap pelan punggung Risa. Hampir setengah jam mereka duduk di bawah guyuran hujan. Kini, hujan mulai reda berganti dengan rintikan kecil.
“Gue bantu bangun.” Setelah keduanya sama sama berdiri, Risa kembali menatap mata Jeff.
“Thanks.” Ucapnya singkat yang dibalas senyuman manis oleh Jeff.
“Tolong jangan pergi. Gue mau kita tetep temenan.”
“Maaf, akan lebih baik kita nggak saling kenal.”
Belum sempat Jeff mengangkat bicara, Risa sudah lebih dulu membalikkan tubuhnya. Langkahnya dengan gontai berjalan menghampiri di mana sepedanya berada.
Risa lantas mengayuh sepedanya dan melenggang pergi meninggalkan Jeff yang masih berdiri di sana. Jeff menatap punggung Risa yang kian menjauh. Apakah ini benar akan berakhir? Berakhir seperti ini?
“Gue nggak akan nyerah, Sa. Gue akan lakuin apapun itu biar kita bisa temenan lagi. Apapun!”
*****
Risa berjalan dengan pelan setelah memarkirkan sepedanya di depan rumahnya. Tangannya baru ingin meraih gagang pintu, namun bapak sudah lebih dulu membuka pintu dari dalam. Mata bapak sedikit membulat kala melihat seragam Risa yang basah kuyup.
“Ke mana saja sekarang baru pulang?” Tanya bapak dengan nada dinginnya. Risa hanya menunduk seraya memainkan jemarinya.
Risa lantas memaksa masuk begitu saja tanpa menjawab pertanyaan dari bapak. Bapak pun berdecak pelan karena Risa yang mengabaikannya.
“Risa!” Suara bapak berhasil menghentikan langkahnya. Terlihat bapak yang berbalik menatap punggung putrinya.
“Jika ditanya itu dijawab, bukan malah pergi begitu saja.”
“Apa pedulinya bapak? Risa mati aja paling bapak nggak peduli.” Timpal Risa seraya membalikkan tubuhnya. Mendengar ucapan pedih sang putri membuat bapak geram. Matanya memerah menahan amarah yang siap membludak.
“Bicara sekali lagi.” Risa diam dengan matanya yang menatap netra hitam bapak. Jujur saja, ia pun terkejut dengan dirinya yang hilang kendali. Kalimat itu dengan spontan keluar dari mulutnya, sungguh. Tak ada sedikitpun niatan Risa untuk mengatakan hal itu.
Pelan tapi pasti, bapak mulai berjalan mendekat ke arah Risa. Bersamaan dengan itu, hati Risa sungguh berdebar. Dirinya amat teramat takut jika bapak menghukumnya. Bagaimana jika bapak mencambuknya lagi? Ayolah, sudah beberapa hari ini ia selamat dari cambukan bapak. Bapak boleh saja mencambuknya, tapi setidaknya jangan hari ini.
Jarak antara bapak dan Risa semakin dekat. Hingga tangan bapak yang mulai mengangkat. Melihat bapak yang mau memukulnya, sontak membuat Risa memejamkan matanya. Tangannya pun dengan spontan menutupi wajahnya. Namun, wajahnya tak merasakan sebuah pukulan. Ia pun membuka matanya perlahan.
“Bapak nggak jadi mukul?” Batin Risa seraya menyingkirkan tangannya dari wajahnya. Dilihatnya bapak yang sudah beranjak pergi dari sana. Risa pun mengernyit heran akan sikap bapak.
“Tumben bapak nggak jadi mukul? Tunggu, harusnya gue bersyukur.” Gumam Risa yang tampak bodo amat akan kejadian baru saja. Ia lantas berjalan menaiki tangga menuju kamarnya. Di sana, Risa tampak mengambil setelan baju tidur untuk ia berganti.
Kurang lebih 10 menit Risa akhirnya selesai dengan mandinya. Ia mengeringkan rambutnya di depan pantulan cermin. Ingatannya kembali terlintas akan insiden tadi sore bersama Jeff. Ia benar benar merasakan sebuah kelegaan. Berteriak sekencang mungkin di bawah guyuran hujan. Jujur saja, ini pertama kalinya Risa melakukan hal itu. Dan itu semua berkat Jeff.
Risa menatap dirinya di pantulan cermin. Bayang bayang Jeff terlintas begitu saja di otaknya. Andai saat ini ia masih bisa berteman dengan Jeff. Akankah hidupnya lebih berwarna lagi? Ia pun lantas menggelengkan kepalanya. Berusaha menyadarkannya sendiri.
“Lo mikir apa sih, Ris? Lo sama Jeff itu nggak bisa temenan lagi. Iya, nggak akan pernah bisa.” Ucapnya pada diri sendiri.
Di sisi lain, terlihat bapak yang duduk di sebuah taman samping rumahnya. Bapak hanya diam seraya menatap rembulan malam. Bulan tampak bersinar setelah hujan turun dengan lebat. Pikiran bapak terus tertuju pada putrinya.
“Nina, sedang ku usahakan untuk tidak memukul putri kita lagi. Maaf, tadi aku hampir saja memukulnya.” Gumam bapak yang berharap mending istrinya bisa mendengarnya.
“Kau bisa, Wijaya. Mari membuka lembaran baru.” Bapak sontak menoleh kala mendengar suara yang tak asing. Benar saja, di sana sudah ada Alex yang berdiri dengan senyuman lebarnya. Senyuman itu pun dibalas dengan hangat oleh bapak.
*****
HAPPY READING