Selama empat generasi keluarga Dion mengalami fenomena 'tading maetek' atau ditinggal mati oleh orang tua pada usia dini. Tapi seorang yatim juga sama seperti manusia lainnya, mereka jatuh cinta. Dion menaruh hati pada seorang gadis dari keluarga berada dan berusia lebih tua. Cintanya berbalas tapi perbedaan strata sosial dan ekonomi membuat hubungan mereka mendapat penolakan dari ibu sang gadis. Dengan sedikit yang ia miliki, Dion tak cuma menghadapi stigma tapi juga perubahan zaman yang menuntut adaptasi, determinasi dan tantangan moral.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21: Tak Cuma Cocok di Dunia Percintaan
Siang itu sekira pukul 11, Wina kembali mengunjungi rumah Dion. Kali ini ia datang lebih siang dari hari kemarin karena harus menyiapkan makan siang untuk Dion seperti janjinya kemarin.
Setibanya di rumah Dion, ia disambut oleh Oscar dan Tian, si kembar yang baru saja kembali ke Medan setelah liburan Natal dan Tahun Baru di kampung halaman mereka. Rupanya, mereka tiba sore kemarin, saat Wina dan Dion masih berada di Pantai Cermin.
Seperti biasa, si kembar selalu antusias setiap kali melihat Wina. Bukan hanya karena gadis itu ramah dan menyenangkan, tapi juga karena kehadirannya selalu menjadi kesempatan emas untuk menggoda Dion.
“Apa kabar, Kak? Selamat Tahun Baru!” sapa mereka berbarengan, menyalami Wina dengan senyum lebar.
Wina pun membalas salam si Kembar. "Mana abang kalian? Kakak bawa makan siang, nih,” ujar Wina sambil menunjukkan rantang yang dibawanya.
“Jemur pakaian di belakang. Bang Dion habis nyuci baju,” jawab Tian.
Wina mengangguk lalu menuju dapur, meletakkan rantang di meja makan sebelum melangkah ke pintu belakang.
Dari sana, matanya menangkap sosok Dion yang sedang menjemur pakaian. Ia bertelanjang dada, hanya mengenakan handuk yang terlilit di pinggang. Cahaya matahari yang jatuh di tubuhnya menonjolkan otot-ototnya yang kencang, membuat Wina tak bisa menahan senyum nakal.
“Suit.. suit..! Seksi banget, Bang Dion,” godanya lantang.
Dion tersentak, menoleh dengan mata terbelalak.
“Eh, Wina sudah datang,” ucapnya gugup, lalu berteriak ke dalam rumah, “Tian, Oscar, awas kalian! Tadi sudah aku bilang kalau Kak Wina datang bilang-bilang!”
Tawa Wina pecah mendengar kepanikan Dion. Matanya tak lepas dari tubuh pemuda itu yang kini jelas-jelas berusaha menghindari tatapannya. Wina lalu bersandar di kusen pintu, tangannya bertumpu di sisi lain, secara tak langsung menghalangi jalan keluar.
Dion yang ingin kabur harus membatalkan niatnya. Wina sudah memblokir satu-satunya jalan keluar dari halaman belakang. Merasa terjebak, Dion pura-pura tenang dan melanjutkan kegiatan menjemurnya sambil bersiul, berharap Wina akan bosan dan pergi.
“Perlu bantuan, nggak?” tanya Wina, matanya berkilat penuh godaan.
“Nggak,” jawab Dion cepat, masih berusaha tetap fokus pada pekerjaannya. Tapi hingga jemuran terakhir selesai ia gantung, Wina tetap berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan penuh arti.
Dion mencoba tak kehilangan akal. Ia pun berteriak lagi, “Oscar! Tian! Tolonglah, bantu abangmu ini!”
Namun, bukannya datang menolong, si kembar justru semakin menjadi-jadi. Mereka mulai menyanyi dengan suara lantang, diiringi petikan gitar, seolah sengaja menciptakan latar romantis bagi keduanya.
“Nonaku sangat cantik hari ini,” seru Dion akhirnya, mendekati Wina yang masih tersenyum nakal. Dalam satu gerakan cepat, ia mencium pipi gadis itu.
Dion bermaksud memanfaatkan momen itu untuk melarikan diri, tapi Wina sudah mengantisipasinya lebih dulu.
“Mau kabur? Handuknya Wina tarik!” ancamnya sambil mencengkeram ujung handuk yang melilit pinggang Dion.
Dion kehabisan akal. Tapi mendengar si kembar sedang menyanyi membuat ia yakin tidak ada orang lain yang melihat keduanya di pintu belakang rumah.
Dion memanfaatkan momen itu untuk mencumbu gadis yang selalu ia rindukan. Pemuda itu mengecup bibir Wina yang sedari tadi juga mengharapkan cumbuan mesra Dion.
Cukup lama keduanya berpagutan sambil pelukan. Wina membiarkan dirinya tenggelam dalam dekapan Dion, tangannya mengelus punggung telanjang pemuda itu, merasakan kehangatan kulitnya yang berotot.
Mencium aroma tubuh laki-laki dan merasakan kulit dan tubuh hangat berotot memunculkan sensasi tersendiri bagi Wina. Ia menyerang Dion dengan menciumi leher dan dada pemuda itu.
Dion mendesah ketika Wina mulai menciumi leher dan dadanya. Sensasi geli bercampur nikmat menjalar di tubuhnya, memicu naluri liarnya untuk membalas.
Dengan napas yang mulai memburu, ia menelusuri leher Wina dengan bibirnya, menciptakan desir aneh yang membuat gadis itu menggeliat dalam pelukannya. Kedua tangan Wina tak henti-hentinya mengelus dan meremas punggung Dion.
Tiba-tiba, Dion berbisik di telinga Wina, “Ada orang datang.”
Refleks, Wina langsung melepaskan pelukannya dan menoleh panik. Tapi Dion justru mengambil kesempatan itu untuk kabur menuju kamar mandi yang juga memiliki akses langsung ke kamarnya.
“Oscar! Tian! Awas kalian, ya!” teriak Dion sambil menutup pintu kamar mandi.
Wina pun tertawa geli meskipun napasnya sendiri masih tersengal-sengal oleh hasrat yang membakarnya.
Wina kemudian kembali ke teras rumah dan semenit kemudian sudah ikut bernyanyi bersama si kembar menyanyikan lagu-lagu Westlife yang kala itu sedang populer di kalangan remaja.
Dion yang sudah mandi dan berpakaian kemudian mendatangi ketiganya yang sedang asyik bernyanyi. Wina yang mempelajari musik sedari kecil, dengan mudah menyesuaikan diri dengan gaya menyanyi si kembar.
Apalagi ketika SMA, ia dan teman-teman murid sanggar musiknya membentuk girlband. Ia mensuplai suara kontralto pada soprano dan tenor si kembar menjadikan mereka sebagai trio.
“Wah trio yang memukau. Tinggal poles sedikit kalian pantas masuk dapur,” kata Dion sambil bertepuk tangan usai ketiganya selesai menyanyikan lagu ‘Season of the Sun’.
“Iya, masuk dapur lalu goreng tahu sama tempe,” kata Tian.
“Dapur rekaman dong. Mantap trio kalian, bah,” Dion berkomentar dengan logat Medannya.
“Kakak sudah pernah dengar Bang Dion menyanyi?” tanya Oscar pada Wina.
Gadis itu hanya menjawab Oscar dengan gelengan kepala. “Mahal suara abangmu ini. Cuma bersiul saja tahunya. Itupun waktu jemur baju,” keluh Wina meniru logat Dion.
“Ih! Serius lah, Kak. Bang Dion suaranya lembut tapi begitu mencapai nada tinggi berubah kayak Bryan Adams, lho,” ungkap Tian penuh keyakinan.
Wina menjadi penasaran dengan kata-kata si kembar. Apalagi tadi malam ia sempat baca di buku harian kalau Dion pernah menyanyi bersama Mira.
“Suruh dia nyanyi, Kak! Lagu Bryan Adams,” desak Oscar bersemangat.
“Ah banyak bacot. Nanti awak nyanyi, kalian hina-hina,” elak Dion membuat si kembar tertawa.
Wina yang penasaran akhirnya mengambil gitar yang tadi diletakkan oleh Tian. “Lagu Bryan Adams, ya?” tanya Wina lalu memetik gitar memainkan intro “Everything I Do” dengan apik.
Dion dan si kembar tertegun. Mereka sama sekali tak menyangka bahwa Wina bisa memainkan gitar dengan teknik sehalus seorang musisi profesional. Jemarinya lincah menari di atas senar, menghasilkan nada yang jernih dan menyentuh hati.
“Wah!” kata ketiganya hampir bersamaan.
“Tapi lagunya bukan itu, Kak. Suara bang Dion sebenarnya cocok lagu sendu, tapi abang suka lagu yang sedikit nge-beat lebih ke rock and roll gitu,” terang Oscar membuat Wina menghentikan intro pada gitarnya.
“Nge-beat, apa yah lagunya?” tanya Wina sambil berpikir.
“Ah lagu Bang Dion cuma dua. ‘Summer of ’69’ sama ‘Cloud Number Nine’,” jelas Oscar lagi.
Wina pun memilih “Cloud Number Nine” karena beberapa bulan lalu ia pernah coba memainkannya dengan piano. Dengan yakin, ia mulai memetik intro lagu tersebut, nadanya mengalun lembut namun mantap.
Tapi Dion hanya diam.
“Nyanyi lah, Bang! Kecewa hati Kak Wina nanti lah,” kata Tian.
Akhirnya Dion setuju dan meminta Wina mengulangi intro lagu itu pada kunci D mayor agar lebih nyaman bagi jangkauan suaranya.
Begitu musik kembali mengalun, Dion mulai menyanyi. Awalnya dengan pelan, sedikit ragu-ragu. Namun melihat Wina begitu antusias, jemarinya begitu fasih memetik gitar dengan beat yang sempurna, Dion tak ingin mengecewakannya.
Memasuki bait kedua, Dion menemukan ritmenya. Suaranya yang serak-serak basah mulai mengalun lebih bebas, lebih hidup. Ia menyanyi dengan penuh perasaan, membuat nada-nada yang keluar terasa semakin bertenaga dan emosional.
Wina terpukau. Ia tak menyangka bahwa suara Dion begitu memikat. Lembut namun maskulin, kuat namun tetap terkontrol. Nada tinggi yang ia capai terasa effortless, nyaris tanpa cela.
Si kembar tidak bohong.
Apalagi ketika menyanyikan refrain lagu itu, Wina tak bisa menahan diri untuk tidak menyertai Dion.
Suara alto-nya berpadu sempurna dengan vokal Dion. Perpaduan suara maskulin dan feminin, menciptakan harmoni yang begitu indah, membuat si kembar yang mendengar hanya bisa terdiam dalam kekaguman.
Sementara Wina tak hanya kaget dan kagum dengan suara Dion, ia juga menyukai gayanya yang serius menjiwai setiap bait lagu sambil mengayunkan bahu dan kepala mengikuti beat gitar. Bahkan mata Dion seolah-olah ikut bernyanyi membuat Wina gemas.
Ketika akhirnya lagu itu berakhir, si kembar sampai kehabisan kata-kata memandangi Wina dan Dion. Sementara Wina masih terheran-heran tak percaya Dion menyanyi sebaik itu.
“Kakak sama abang ini tak cuma cocok di dunia percintaan. Ternyata di dunia musik pun jodoh,” ujar Oscar disambut tawa semringah Wina dan Dion.
“Ah kalian ini. Kalian tahu cuma itu laguku. Kalau kalian suruh nyanyi lagu lain jadi bahan tertawaan aku,” kata Dion pada si kembar.
“Dion suka lagu-lagunya Bryan Adams kah?” tanya Wina yang masih penasaran dan kagum dengan suara Dion.
“Ah aku tak tahu lagu-lagunya. Aku tahu lagu itu karena selalu diputar teman kantor di komputernya. Aku sering ulangi dalam hati makanya hafal,” jelas pemuda jangkung itu.
“Memang perbendaharaan lagu Bang Dion ini sedikit. Dia itu pilih-pilih lagu, Kak,” papar Tian pada Wina mengkritik Dion yang memang malas menghafal lagu baru.
“Tapi tunggu sampai Kakak dengar Bang Dion nyanyi ‘Straight from the Heart’. Kami yang laki-laki saja terbawa perasaan mendengarnya. Kakak pasti tambah cinta. Tapi lebih baik waktu berduaan….”
Kata-kata Oscar terputus karena Dion menendang lemah kakinya.
“Kau ini! Nambah-nambah cerita saja,” protes Dion pada Oscar.
“Ih kan benar, Bang,” Oscar membela diri.
“Iya tapi jangan bawa-bawa perasaan dan cinta. Masih kecil sudah tau cinta-cintaan. Macam betul aja!” ketus Dion membuat Tian dan Wina tertawa cekikikan.
“Kalian suruh-suruh aku menyanyi. Ada bakat besar di hadapan kita,” Dion berujar pada si kembar sambil membentuk gestur dengan kedua tangan menunjuk Wina.
“Benar. Kakak nyanyilah!” pinta Tian.
“Iya solo, gak boleh ada yang ikutan,” Dion ingin melihat kekasihnya itu menyanyi sendirian.
“Hmm... Wina coba yah. Yang sedikit nge-beat yah?” tanya Wina yang ingin menyanyikan lagu yang sesuai dengan preferensi Dion..
“Not too much beat,” sahut Dion.
Wina lalu mulai memetik gitar berusaha mendapatkan tempo yang ia inginkan.
“Bergetar hatiku saat ku berkenalan dengannya!” Wina memulai menyanyikan ‘Cinta’ yang dipopulerkan oleh Vina Panduwinata.
Dion dan si kembar kembali dibuat tercengang oleh nyanyian Wina. Bukan saja suaranya yang merdu dan berkarakter pas dengan lagu itu, jari-jari kecil dan lembutnya menari dan melompati senar-senar gitar dengan lincah membuat ketiganya seperti tersihir.
Hati Dion berdebar memandangi kekasihnya yang begitu cantik menyanyikan lagu itu dengan apik. Ia teringat pertama kali kenalan dengan Wina. Ditambah tatapan nakal Wina yang terpaku padanya saat menyanyikan reff lagu itu.
“Oh Tuhan! Kalau bidadari itu nyata pasti mereka secantik Wina,” gumam Dion di hati.
Dion dan si kembar masih diam terpukau meskipun Wina sudah menyelesaikan lagu itu. Mendapati dirinya dipandangi begitu Wina jadi merasa malu juga.
“Hei! Jangan kalian pandangi pacarku begitu. Itu calon kakak kalian,” tegur Dion yang lebih dahulu sadar kepada dua bersaudara kembar yang masih memandangi Wina masing-masing dengan mulut ternganga.
Mendapat teguran Dion, si kembar tersadar dan kemudian tersenyum.
“Kak Wina punya adik cewek? Kenalin lah!” ujar Oscar kemudian membuat Wina kembali tertawa.
“Jari kakak sudah sakit soalnya sudah lama tidak main gitar,” keluh Wina menyerahkan gitar kepada Tian yang duduk lebih dekat dengannya.
“Kakak perhatikan nggak tadi? Pasti Bang Dion hatinya ber-flower-flower melihat kakak nyanyi,” kata Tian sambil menerima gitar dari Wina.
Si Kembar memang suka sekali menggoda Dion yang mereka anggap seperti kakak sendiri. Apalagi Dion memang sifatnya tidak mudah marah dan suka berguyon.
“Betul bah. Bukan cuma berbunga-bunga, Abang sampai terhipnotis. Untung masih cepat sadar nggak seperti kalian,” kata Dion membalas Tian.
“Wina menyanyikan lagu Vina Winata. Hah! Aku baru sadar nama kalian sama,” kata Dion membuat Wina tersenyum.
“Trio lah kalian. Wina mau lihat kalau malam minggu Trio Gang Mangga nyanyinya seperti apa,” kata Wina.
“Aku kasih tips yah, Kak. Kalau mau memancing Bang Dion nyanyi harus dengan lagu yang sedikit nge-beat. Kalau tidak nge-beat yah sekalian yang traditional, folk song seperti ‘Bengawan Solo’ atau ‘Sio Mama’,” kata Tian mulai memetik gitar mencari-cari lagu yang ingin dinyanyikan.
“Jangan mulai dengan lagu melankolis, Kak. Nanti Bang Dion langsung protes, lagu bencong itu, gitu katanya. Lagu cengeng belakangan saja kalau Bang Dion sudah mood,” Tian menambahkan trick pada tips-nya.
“Atau kalau kakak mau dengar Michael Bolton nyanyi lagu ‘Sepasang Mata Bola’, dengar Bang Dion saja, Kak,” timpal Oscar membuat Wina tertawa.
“Serius lho, Kak. Tapi nyanyi versi pop-akustik yah. Dijamin Kakak akan terbawa perasaan mendengarnya. Bikin merinding!” tambah Tian.
Wina penasaran. Dalam hati ia berjanji suatu saat akan meminta kekasihnya itu menyanyikan lagu-lagu itu dengan iringan pianonya.
“Selera bang Dion ini agak-agak lain, Kak,” kata Tian lagi.
“Hmm.. Sudah! Banyak bual kalian. Mana lagunya?” kata Dion yang merasa malu mendapat pujian dan tak ingin Tian melanjutkan kata-kata gombalnya.
Tian pun mulai menyanyikan lagu ‘Cintaku Kandas di Rerumputan’. Dion dan Oscar pun segera menggabungkan suara. Trio itu menyanyikan lagu itu dengan baik karena sering menyanyikannya bersama.
Wina menikmati penampilan ketiganya. Trio Gang Mangga mengubah lagu itu menjadi lagu rock n roll. Tentu saja ia lebih fokus pada Dion kekasihnya yang terdengar dominan dan lebih bertenaga. Ia seakan melihat Dion yang berbeda. Dion yang menyanyi memiliki kharisma, berbeda dengan Dion pada keadaan normal yang rendah hati dan humble.
...***...
Setelah puas bernyanyi, mereka berempat akhirnya memutuskan untuk makan siang bersama. Dion dan si kembar tampak antusias, terutama karena di hadapan mereka terhidang Balado Ikan Pari khas masakan Wina yang menguar aroma menggoda.
“Kak, kata Bang Dion, gak boleh makan banyak-banyak. Nanti jadi bodoh, katanya kek gitu,” celetuk Oscar dengan logat Medannya yang kental, sambil dengan lahap menyendok nasi dan ikan ke mulutnya.
“Aih, bohong itu!” Wina langsung menyanggah, mengibaskan tangan seolah mengusir omongan Dion.
“Orang Manado kalau makan segunung-gunung, gak bodoh-bodoh juga. Malah jadi cantik-cantik,” sanggahnya lalu menggeser rantang berisi ikan pari lebih dekat ke arah si kembar, seakan mengundang mereka untuk makan lebih banyak.
Oscar dan Tian saling melirik dengan penuh arti. Umpan mereka mulai mengena.
“Oh, pantas lah,” Tian menimpali, suaranya sarat dengan nada usil. “Kemarin-kemarin Bang Dion bilang kepingin jalan-jalan ke Menado. Pasti mau liatin cewek-cewek cantik, kan, Kak?”
Dion mendelik, tetapi tetap berusaha tenang.
“Manado, bukan Menado,” koreksinya dengan nada sabar.
Mendengar itu Wina membelalakkan mata pada Dion dan mengambil lauk dari piringnya. “Makan sedikit saja biar pintar dan gak liatin cewek lain,” kata Wina sewot.
Si kembar langsung meledak dalam tawa, terpingkal-pingkal melihat reaksi Wina. Sementara itu, Dion hanya bisa melongo sejenak sebelum buru-buru mencoba mengambil kembali balado ikan parinya. Namun, Wina lebih sigap. Dengan cekatan, ia menjauhkan rantang dari jangkauan Dion, membuat Oscar dan Tian kian tergelak.
“Aku kan pengen ke Manado bukan karena itu. Aku kan pengen lihat kampung calon mertuaku. Siapa tahu dengan begitu aku diterima jadi menantu,” jelas Dion datar.
Mendengar itu, senyum Wina mengembang. Dengan hati berbunga-bunga, ia mengembalikan lauk yang tadi diambilnya ke piring Dion.
“Awas kalian dua yah!” ancam Dion mengepalkan tinju kepada si kembar membuat keduanya kembali tertawa geli.
Sebelum makan, ia sudah mengingatkan si kembar untuk tidak menghabiskan semua balado ikan pari itu, karena ia berencana menikmatinya lagi tengah malam sepulang kerja.
Melihat betapa lahapnya si kembar menyantapnya sekarang, sepertinya harapan itu tinggal kenangan.
...***...
Sehabis makan siang, Wina dan Dion berpamitan pada si kembar karena akan pergi mengunjungi Atik teman mereka.
Ketika Dion menghidupkan sepeda motor, Wina kemudian minta waktu ke toilet melalui kamar Dion. Pemuda itu pun memberinya kunci kamar.
Di kamar Dion, Wina meletakkan beberapa kemeja, t-shirt dan jaket sweater yang ia beli dari Jakarta ke dalam lemari pakaian Dion.
Wina kemudian mengambil buku harian Dion dari tas jinjingnya. Tapi mendengar langkah Dion mendekati pintu, Wina yang panik kemudian menyelipkannya di antara buku-buku yang tersusun rapi di rak.
Dion dan Wina pun berangkat menuju rumah Atik dengan sepeda motor. Di sana Hendrik sudah terlebih dahulu menunggu mereka. Mereka pun menghabiskan sore itu dengan bercengkerama. Dion yang menceritakan niatnya mengajak Atik dan Hendrik bepergian ke Berastagi mendapat sambutan positif dari keduanya.
Sepulang dari rumah Atik, Dion dan Wina menyempatkan diri singgah di restoran tempat Nita bekerja dan menyampaikan niat bepergian ke Berastagi itu.
Mulanya Nita menolak. Ketika Dion mengatakan bahwa Andi juga akan ikut, gadis itu kemudian berubah pikiran dan mengatakan akan ikut ke Berastagi.
Dion kemudian mengantar Wina ke rumahnya. Mbak Ria yang membukakan pintu mengatakan Oppung belum pulang mengunjungi temannya bersama Mbak Sari.
Dion memanfaatkan kesempatan itu dengan berpura-pura meminjam kamar kecil. Dion memang ingin sekali memberi ciuman kecil pada Wina sebelum berpisah sore itu.
Melihat Mbak Ria tampak sibuk di dapur, Dion menarik Wina ke sudut ruang tamu dan mencium pipi gadisnya itu. Tapi Wina tak melepasnya begitu saja, ia malah memeluk dan memagut bibir Dion.
Mereka bahkan tak menyadari secara tak sengaja Mbak Ria mendapati mereka bercumbu. Dengan wajah memerah ia kemudian melarikan diri ke dapur karena malu.
Akhirnya Wina melepaskan pagutannya. Dan Dion pun pergi ke dapur untuk berpamitan pada Mbak Ria.
“Ngati-ngati neng dalan yo, Mas!” pesan Mbak Ria dengan wajah memerah.
“Nggih!” sahut Dion singkat.
“Sepertinya Mbak Ria lihat kita tadi lho,” Dion menyampaikan kekhawatirannya pada Wina yang mengantar hingga pagar rumah.
“Masa sih?” Wina tak percaya.
“Iyah, aku lihat wajahnya memerah malu-malu,” jawab Dion.
“Gak apa-apa. Dia nggak akan lapor sama Oppung kok. Lagipula kan Mbak Ria sudah dewasa. Lebih tua dari Wina,” Wina berusaha meyakinkan Dion.
“Nanti Wina sampaikan maaf Dion sama Mbaknya yah. Nggak enak lho. Kita musti lebih hati-hati berikutnya,” Dion mewanti-wanti.
“Iyah. Nanti Wina sampaikan. Dion hati-hati di jalan!” pesan Wina menatap Dion sendu.
“Ih Wina jangan sedih gitu dong. Dion jadi gak rela pergi. Senyum dulu!” pinta Dion.
Wina pun tersenyum dan melambaikan tangan melepas Dion, membawa perasaan yang masih melayang-layang di udara senja.