NovelToon NovelToon
Beast Mask: Macan Yang Tertidur

Beast Mask: Macan Yang Tertidur

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Cinta Seiring Waktu / Identitas Tersembunyi
Popularitas:5.7k
Nilai: 5
Nama Author: Khara-Chikara

Dalam distrik ini, dunia kriminal berlaku sangat bebas meskipun masih banyak orang normal yang tinggal di apartemen.

Para kriminal ini lah yang paling di utamakan dalam pengejaran, apalagi nama dari perampok "Topeng Buas" Akan langsung mengundang banyak perhatian. Anggota kriminal satu ini hanya berisikan 3 orang saja yang selalu menggunakan topeng penutup wajah mereka. Tubuh mereka dominan tinggi dan kuat.

Tapi bagaimana jika topeng macan itu selalu ingin tidur di paha lembut milik seorang gadis manis yang agak polos ini. Ini adalah kisah romantis dari seorang penjahat dan kisah aksi untuk seorang gadis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khara-Chikara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 21

Beast Mask: Macan yang Tertidur Chapter 21

Leandra terus bercerita sambil menatap langit-langit yang bahkan masih begitu sangat indah. Tora juga masih membuka mata, terkadang dia juga menutup mata dan masih mendengar cerita Leandra, dia juga tidak akan melewati setiap kata maupun kalimat yang terus di ucapkan Leandra.

Bahkan setiap kali Leandra bercerita di scene yang berbeda, Tora menjadi membayangkan sesuatu, dimana yang dia lihat apalagi ketika mendengar soal kucing kecil yang tidak di sukai oleh orang tuanya. Tora langsung bisa mengingat sesuatu, dimana di pandangan nya muncul seorang anak lelaki yang di tinggalkan pergi oleh orang tuanya, dia kedinginan, dan menjadi miskin hanya karena di tinggalkan dan tidak pernah di terima dunia untuk menjadi makhluk yang sama.

Hingga akhirnya dia hanya akan tumbuh di lingkungan yang kurang sehat, menghidupi dirinya sendiri dengan meminta makanan pada kucing liar di sekitar gang yang gelap, karena rasa yang terus tertekan, dia akan memutuskan menjadi lebih jahat untuk membalaskan dendam nya.

Pengingatan itu berhenti ketika Leandra juga berhenti bercerita. “Baiklah, aku lebih memilih menceritakan dongeng hewan padamu karena hanya itu yang bisa aku buat untuk dikatakan,” kata Leandra, tapi dia terdiam karena Tora juga dari tadi terdiam.

“Apa kau tidur? Halo?” ia mengguncang pelan kepala Tora, bahkan topeng nya juga ia guncang.

Karena tak ada jawaban, Leandra kesal. Tapi rupanya Tora langsung bangun duduk membuat Leandra terkejut diam menatapnya, Tora kemudian duduk menatap langit.

“Itu, cerita yang bagus…” kata Tora membuat Leandra tersenyum sangat senang dengan wajah yang tersipu malu. “Awhhh… terima kasih…”

“Dari mana kau dapat ide cerita seperti itu?” tatap Tora.

“. . . Hanya sebatas apa yang terlintas dari pikiran ku, aku juga baru-baru ini membuatnya, jujur sih, aku terpikirkan cerita itu saat aku sudah mulai masuk ke distrik ini, apalagi bertemu dengan mu, benar-benar tidak mengenakkan…” Leandra menyilang tangan dengan kesal.

Tapi begitu tahu Tora mendengarkan itu tadi, dia menjadi membalas. “Wajar saja…”

“. . . Eh, apa?”

“Tidak ada, tidak ada apa-apa, tak jadi…” balas Tora membuat Leandra terdiam bingung.

"Apa kau baik baik saja? Tidak ada yang salah kan dengan ceritaku?" tatap Leandra dengan ragu.

"Tidak ada, ceritamu bagus... Kau harus membuat buku dongeng..." tatap Tora.

"Pft hahaha.... Memang nya kenapa? Zaman sekarang sudah ada buku digital, kau ini...." Leandra hanya menggeleng, tapi ia terdiam ketika teringat sesuatu saat ia menatap kalung Tora.

"Aku masih bertanya tanya, soal.... Kalung itu..." ia menunjuk leher Tora membuat Tora reflek memegang kalung itu dan menariknya untuk keluar demi Leandra bisa melihat. "Ini?"

"Ya..." Leandra mengangguk setelah melihat kalung holy mary itu.

"Apa kau adalah orang yang religius? Kau percaya akan Tuhan?" tatap Leandra.

"Kenapa pertanyaanmu begitu? Kami Beast Mask juga harus punya jalur kepercayaan... Apa ada sesuatu yang ingin kau tahu?"

"Aku bertanya pun, apakah kau akan tahu?" Leandra menatap tajam.

"Aku tahu, tentu saja aku tahu jika itu bersangkutan soal aku sendiri..."

"Tapi... Berbicara soal kepercayaan... Apakah itu penting untuk hidup?" Leandra bertanya layaknya dia tidak memiliki kepercayaan.

"Kenapa pertanyaanmu begitu? Apa orang tuamu tidak mengajarkanmu apa itu kepercayaan?"

"Tidak..." Leandra langsung membalas, membuat suasana terdiam.

"Gila sekali mereka..." tatap Tora.

"Aku tahu itu... Terkadang pamanku memberitahuku bahwa kepercayaan adalah hal yang harus berada di kehidupan kita, karena kepercayaan mengajarkan kita bagaimana kita mengenal sikap baik maupun sikap buruk kita..."

"Itu sama saja dewasa..." kata Tora, membuat Leandra terdiam bingung.

"Jika kau belum percaya akan sesuatu, tunggulah dewasa nanti, kau pasti memiliki kepercayaan...."

"Bagaimana caramu meyakinkanku?" Leandra menatap ragu, membuat Tora terdiam sejenak. Suasana pun kembali hening.

"Aku pernah diberitahu bahwa langit malam adalah kita, bintang adalah kepercayaan kita, dan bulan adalah bagaimana kita percaya akan Tuhan. Semakin bulat bulan dan semakin banyak bintang, kepercayaan kita akan semakin besar... langit gelap yang kini dihiasi oleh bintang dan bulan yang hanya satu," kata Tora, suaranya terdengar tenang namun memiliki kedalaman yang sulit diabaikan.

Leandra menatapnya dengan ekspresi tak percaya. "(Tak kusangka orang seperti dia memiliki kalimat yang bagus...)"

Tora kembali menatapnya, matanya yang tersembunyi di balik topeng seolah menembus ke dalam pikiran Leandra. "Bagaimana kau mempercayai bahwa ketakutanmu ada? Bagaimana kau bisa takut pada kegelapan?" Suaranya terdengar berat, nyaris berbisik di antara hembusan angin.

Leandra menundukkan kepala sedikit, membiarkan pikirannya mengalir sebelum menjawab. "Karena aku mengalaminya langsung... aku bisa melihat kegelapan yang menjadi ketakutanku..." kata-katanya lirih, seperti sedang mengakui sesuatu yang selama ini ia pendam.

Tora tak segera merespons. Ia hanya menatap langit, seolah mencari jawaban di antara gugusan bintang yang tak terhitung jumlahnya.

"Jadi kau berpikir kegelapan itu ada hanya untuk menakutimu? Kau seharusnya berpikir kegelapan ada untuk menemanimu, kecuali kau bisa melawan rasa takutmu dengan terbiasa dan terus mempelajari bagaimana menghadapi ketakutanmu."

Leandra terdiam, membiarkan kata-kata itu menggema dalam pikirannya. Udara di sekeliling mereka terasa lebih dingin, tetapi bukan karena cuaca—melainkan karena sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang menyentuh hatinya secara tak terduga.

"... Apakah kau mencoba menyampaikan bahwa itu sama dengan kepercayaan?" tatap Leandra dengan perasaan ragu dan cemas.

"Mungkin. Langit adalah ketakutanmu, ia menjadi gelap seiring kau ketakutan. Bintang adalah cahaya yang kau gunakan untuk menemanimu, meskipun kau tahu cahaya bintang sangatlah sedikit untuk menerangi langit yang luas. Sehingga bulan terbentuk. Bulan adalah dia yang menemanimu, mendengarkanmu, bahkan memberimu cahaya yang kau butuhkan ketika langit masih gelap... Ketika ketakutanmu hilang, menjadi langit cerah di siang hari, bulan akan pergi. Dia hanya datang ketika langit menjadi gelap, sama seperti ketakutanmu yang muncul di saat itu juga..."

Kata-kata itu seperti mantra yang menenangkan, meresap ke dalam diri Leandra dengan cara yang tak bisa ia jelaskan. Ia menunduk sedikit, lalu tersenyum kecil.

"Aku tidak tahu harus bilang apa. Kau benar-benar membuatku merasa lebih baik sekarang... aku mengatakannya dengan jujur..." katanya, kali ini dengan nada yang lebih lembut. Matanya beralih kembali ke langit, membiarkan cahaya bintang menyelimuti dirinya dengan kehangatan yang aneh.

Hening beberapa saat sebelum ia kembali berbicara.

"Bagaimana dengan orang tuaku? Mereka bukan bulan maupun bintang...?"

Tora menghela napas pelan, lalu mengangkat dagunya sedikit. "Kau pikir langit, bulan, bahkan bintang adalah jenis yang sama? Mereka berbeda, yang artinya kau tak harus menganggap bulan dan bintang sebagai keluargamu, tapi juga bisa menjadi orang lain...."

Leandra terdiam, membiarkan kata-kata itu meresap. Kemudian, perlahan, ia mengangguk kecil. "Jadi begitu..."

Ia tersenyum lembut, menatap langit malam yang terasa berbeda sekarang—lebih akrab, lebih berarti. Dalam benaknya, ia mulai memahami sesuatu tentang Tora yang belum pernah ia sadari sebelumnya. "(Dia membuatku semakin yakin bahwa ada sesuatu di dalam dirinya... Dia pasti mencoba untuk menjadi bulan bagi langit malamku...)" pikirnya.

Tatapannya beralih ke arah Tora, memperhatikannya dengan lebih dalam. Tapi mereka tetap diam, hanya saling memandang dalam keheningan yang penuh makna.

Meskipun Leandra tidak bisa melihat wajah Tora dengan jelas karena tertutup topeng itu, ia bisa merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar pria bertopeng biasa.

Kemudian Tora bangun berdiri, mantel panjangnya sedikit berkibar terkena angin malam. Leandra masih menatapnya dengan bingung.

"Baiklah, ini sudah waktunya untukmu pulang..." kata Tora, menoleh menatapnya.

"Eh, pulang? Benar juga..." Leandra langsung berdiri. Tapi matanya masih tertuju ke langit, seolah enggan mengakhiri pemandangan indah itu. Bulan bersinar terang, memantulkan cahayanya ke tanah dengan lembut, menciptakan bayangan samar di antara rerumputan.

Tora memperhatikannya sejenak sebelum bersedekap. "Jika mau, aku akan mengantarmu ke sini lagi..." katanya.

Leandra terdiam, ada sedikit keraguan di wajahnya. "Memangnya, ketika kau akan mengajakku lagi, aku akan ada di tempatku?" tanyanya.

"Tentu saja, karena kau tidak akan bisa keluar dari distrik ini," jawab Tora, nada suaranya terdengar yakin.

"Apa?! Apa maksudmu?! Hei!! Kau pikir aku tidak bisa keluar, huh? Di sini saja sudah menakutkan untukku," kata Leandra kesal, segera mengejar Tora yang sudah berjalan duluan.

Tora sedikit menoleh ke arahnya. "Kau takut? Bukankah kau tidak takut padaku?" tanyanya pelan.

Leandra langsung terdiam, terpaku di tempatnya. Suasana malam terasa lebih sunyi setelah kata-kata itu keluar dari mulut Tora. Angin berhembus sedikit lebih dingin, membuat dedaunan bergemerisik pelan di kejauhan.

Hari berikutnya, Leandra terbangun dengan napas memburu. Dadanya naik turun, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia segera duduk, menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong.

"Mimpi itu lagi..." bisiknya, suaranya hampir tak terdengar.

Tangan gemetar menyentuh kepalanya, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Tapi rasa takut masih melekat erat di dalam dirinya. Di balik kelopak matanya, bayangan gelap yang ia lihat dalam mimpinya masih jelas—terasa nyata, seakan mengejarnya bahkan setelah ia terbangun.

Ia mengalihkan pandangannya ke jendela. Bulan masih menggantung di langit, seolah mengawasinya. Dan tanpa sadar, pikirannya kembali pada sosok Tora.

"(Sebenarnya... apa maksudmu? Apa maksudmu soal aku tak takut padamu...? Dibandingkan takut, aku lebih kesal melihatmu...)" pikirnya, mengepalkan tangan.

--

Malam sebelumnya, Tora terlihat berdiri di luar balkon pagar kamar Leandra. Dia bersiap akan pergi, sebelumnya tentu saja menatap ke Leandra yang juga menatap ke arahnya, berdiri menunggu Tora pergi.

"Baiklah, kau bisa pergi..." tatap Leandra.

"... Ini tidak biasanya. Kau bahkan tidak mengusirku dengan sangat buruk," Tora menatap bercanda, membuat Leandra malah kesal dan menyilangkan tangan.

"Lupakan itu, aku tak peduli. Pergilah dari sini," ia juga membuang wajahnya, membuat Tora hanya menatapnya sangat lama.

"Hiz, sudah kubilang pergilah!!" Leandra tampak berteriak dengan kesal karena dari tadi Tora hanya terdiam menatapnya.

Tapi ia mendengar Tora mengatakan sesuatu.

"Kau bilang, kau akan pulang ke rumahmu?" Kemudian dia menjeda sedikit hingga menambahkan, "Kapan?"

Pertanyaan itu membuat Leandra terdiam dengan tatapan tak percaya, juga angin malam yang membuat rambutnya berterbangan entah ke mana tanpa membuat matanya berkedip.

Ia juga kemudian membuang wajahnya dengan rasa tidak nyaman. "Beberapa hari lagi, memangnya kenapa?" tatapnya.

Tapi siapa sangka, Tora malah mengatakan, "Kalau begitu aku masih punya waktu mengganggumu."

"Apa?!" Leandra yang mendengarnya menjadi terkejut sekaligus kesal.

Tapi suasana kembali diam di antara mereka, hingga Tora mengucapkan perpisahan.

"Baiklah, sampai jumpa... Ingat, jangan pakai obat tidur," katanya sambil pergi dari tempat itu.

Leandra, yang saat ini berdiri di atas balkon apartemen, menatap bulan dengan kesal karena perkataan tadi.

"Memangnya kenapa jika aku pakai obat tidur, cih..."

1
⃟☘︎𝐉α𝐉Λ𝐍𝐆"ᴴᶦᵃᵗ"🐉⃝Λ𝐋𝐒𖤍
ini ceritanya hampir persis sama komik bl yang pernah aku baca, bedanya karakter utamanya di ganti jadi cewek ya di sini. covernya pun, itu si singa kan, si ketua.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!