NovelToon NovelToon
Bukan Sekedar Teman Ranjang

Bukan Sekedar Teman Ranjang

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Dokter / Pernikahan rahasia
Popularitas:38.2k
Nilai: 5
Nama Author: Ayu Lestary

Xavier, dokter obgyn yang dingin, dan Luna, pelukis dengan sifat cerianya. Terjebak dalam hubungan sahabat dengan kesepakatan tanpa ikatan. Namun, ketika batas-batas itu mulai memudar, keduanya harus menghadapi pertanyaan besar: apakah mereka akan tetap nyaman dalam zona abu-abu atau berani melangkah ke arah yang penuh risiko?

Tinggal dibawah atap yang sama, keduanya tak punya batasan dalam segala hal. Bagi Xavier, Luna adalah tempat untuk dia pulang. Lalu, sampai kapan Xavier bisa menyembunyikan hubungan persahabatannya yang tak wajar dari kekasihnya, Zora!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21 : Between Us

Jantung Xavier seketika seperti copot dari tempatnya. Dunianya berguncang.

Tanpa pikir panjang, ia merunduk dan mengambil saputangan itu, jemarinya gemetar. Aroma samar lavender yang familiar masih melekat di serat kain itu.

Aaron memperhatikan perubahan drastis di wajah Xavier. "Hei, bro? Kau kenapa?"

Xavier tidak menjawab. Matanya hanya menatap lurus ke arah UGD, ke tempat ranjang itu menghilang dibalik pintu yang bergoyang.

"Luna..." gumam Xavier, hampir tidak bersuara.

Aaron menangkap ketegangan itu, ekspresinya langsung berubah serius. "Kau yakin itu dia?"

Xavier tidak perlu menjawab. Tubuhnya sudah melesat sebelum Aaron sempat menahan. Ia berlari, mendorong siapa pun yang menghalangi jalannya, membelah kerumunan dokter dan perawat yang sibuk.

Ketika ia menerobos masuk ke ruang UGD, pemandangan di hadapannya membuat napasnya tercekat.

Di atas ranjang, dengan infus menancap di kedua lengannya, seorang wanita mungil dengan rambut berantakan dan darah mengotori sisi wajahnya—gadis itu ... bukan Luna.

Salah satu perawat yang menangani pasien itu menoleh ke arah Xavier dengan alis terangkat, heran dengan kehadiran pria itu.

"Maaf," Xavier akhirnya bersuara, suaranya serak. "Apakah... ada pasien lain yang masuk bersamaan?"

Perawat itu mengangguk cepat. "Ada. Gadis lain, luka ringan. Sedang dirawat di ruang observasi satu."

Tanpa mendengar penjelasan lebih lanjut, Xavier segera berbalik, hampir berlari menyusuri lorong. Dadanya masih sesak, adrenalin mengalir deras di seluruh tubuhnya.

Aaron mengejar di belakang. "Xav, tunggu—!"

Tapi Xavier tidak mengindahkan. Yang ada di pikirannya hanya satu—Luna. Dia harus melihatnya dengan matanya sendiri. Dia harus memastikan.

Begitu menjejakkan kaki di ruang observasi satu, Xavier langsung menemukannya.

Luna duduk di atas ranjang, mengenakan gaun pasien tipis berwarna biru muda. Ada perban besar melilit lengan kirinya, dan sedikit darah kering di lutut kanannya. Wajahnya tampak pucat, dengan beberapa goresan kecil di pipi dan pelipis.

Namun matanya—mata itu—masih bersinar. Masih penuh kehidupan.

"Luna..." bisik Xavier, dadanya serasa ambruk lega sekaligus sakit.

Luna yang sedang berusaha membuka botol air mineral dengan tangan satu, menoleh saat mendengar suara itu. Matanya membulat, sedikit terkejut.

"Xavier?"

Tanpa berpikir panjang, Xavier menghampirinya. Ia menjatuhkan diri berlutut di depan ranjang, memeluk Luna dengan hati-hati, seolah takut menyakitinya lebih jauh.

Luna sempat terdiam beberapa detik sebelum perlahan membalas pelukannya dengan lengan bebasnya.

"Aku baik-baik saja," bisik Luna, menenangkan.

Xavier menggeleng keras. "Tidak. Kau terluka. Kau bisa saja—" Suaranya patah, dan ia menarik napas panjang, berusaha menstabilkan dirinya.

Aaron tiba beberapa detik kemudian, berdiri di ambang pintu, menghela napas lega saat melihat keduanya.

"Aku pikir dunia ini baru saja mau runtuh," gumam Aaron sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding.

Luna tersenyum kecil, walau wajahnya masih sedikit lemas. "Aku hanya... sial saja pagi ini."

Xavier mengangkat wajahnya, menatap Luna dalam-dalam. "Apa yang terjadi?"

"Aku ketabrak motor di depan kafe," jawab Luna pelan. "Tidak parah. Hanya terpental dan sedikit luka."

Xavier mengecup punggung tangan Luna, begitu lembut, seolah ingin menyalurkan seluruh ketakutannya lewat sentuhan itu.

"Mulai sekarang," suara Xavier terdengar berat, hampir seperti perintah, "kau tidak akan pergi sendirian lagi."

Luna mengangkat wajahnya, menatap Xavier yang begitu serius, seolah dunia baru saja hendak runtuh. Bukannya merasa terharu seperti perempuan normal pada umumnya, Luna justru tersenyum lebar, mata jahilnya menyipit.

"Kalau aku mau ke toilet juga bakal dikawal?" candanya ringan.

Xavier mengerjap, ekspresinya membeku sesaat sebelum akhirnya mendesah panjang, antara lega dan frustrasi.

"Luna..." gumamnya, nadanya seperti ingin memarahi tapi lebih dipenuhi rasa sayang tak terbendung.

Luna terkikik kecil meski gerakannya membuat luka di lengannya sedikit berdenyut. "Aku baik-baik saja, Xav. Serius. Luka di lengan dan lutut ini cuma bonus kecil. Lagian, gadis yang nabrak aku lebih parah, tahu?"

Xavier menatapnya tajam. "Gadis itu?"

"Iya," sahut Luna, wajahnya mendadak muram. "Dia jatuh cukup keras dari motor. Lukanya dalam. Aku cuma... berusaha menghentikan darah dari kakinya pakai saputangan aku."

Ia mengangkat tangannya yang bebas, memperlihatkan noda darah samar yang belum sempat dibersihkan sepenuhnya.

"Itu sebabnya saputanganku jatuh," tambahnya sambil cemberut. "Aku pikir lebih penting menyelamatkan dia daripada mikirin saputangan kesayangan." Luna pikir, sapu tangannya sudah hilang.

Xavier menghela napas lagi, kali ini lebih dalam, meremas pelan tangan Luna, seolah ingin memastikan gadis itu nyata di hadapannya.

"Jadi, saat aku hampir kehilangan akal karena mengira kau sekarat," gumam Xavier setengah mati menahan emosinya, "kau malah sibuk jadi superhero dadakan?"

"Well..." Luna menaikkan bahu pelan. "Kalau bukan aku, siapa lagi? Aku kan... luar biasa." Ia mengedipkan sebelah mata jahil.

Xavier menundukkan kepala, menghela napas panjang, lalu mencium jemari Luna satu per satu, dengan lembut, penuh rasa syukur.

"Kau luar biasa bodoh," gumamnya penuh kasih.

"Aku bangga," sahut Luna ceria, membuat Aaron yang mengintip dari pintu hanya bisa menggelengkan kepala, antara takjub dan ingin tertawa.

Di tengah ruangan kecil yang bau antiseptik itu, di antara luka, darah, dan rasa takut, Luna tetap menjadi dirinya sendiri—penuh cahaya.

Dan Xavier tahu, dengan segala keberanian bodoh itu, dia tidak hanya mencintai Luna.

Dia sudah menyerahkan seluruh jiwanya pada gadis ini.

Xavier menatap Luna, matanya penuh ketegangan meski Luna berusaha untuk tersenyum. Hati Xavier tak bisa begitu saja tenang. Gadis ini masih terluka, dan meskipun dia berusaha tampil kuat, Xavier tahu bahwa tidak semua hal bisa disembunyikan dengan tawa atau candaan.

"Dokter!" panggilnya dengan nada yang lebih keras, matanya tidak pernah lepas dari Luna. "Aku ingin pemeriksaan ulang sekarang. Periksa semua luka dengan teliti, dan pastikan tidak ada luka dalam."

Luna menatapnya, agak bingung. "Xavier, serius? Itu kan cuma luka kecil. Aku udah bilang..."

"Tidak ada 'hanya' luka kecil," tegas Xavier, memotong perkataannya. "Aku tidak akan ambil risiko."

Luna menghela napas, matanya berkilat. "Kau ini... Kalau aku bilang aku baik-baik saja, kenapa masih dipermasalahkan?"

Xavier menatapnya, namun raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda ketenangan.

"Karena aku tidak mau kau merengek sepanjang hari di apartemen." Xavier berdusta.

Dokter yang ada di sana sempat terkejut dengan permintaan Xavier, namun segera mengerti apa yang terjadi setelah melihat wajah Xavier yang memucat.

"Segera lakukan pemeriksaan secara menyeluruh," perintah Xavier, tegas namun penuh kekhawatiran. "Setiap luka harus diperiksa. Tidak ada yang boleh terlewat."

Dokter itu mengangguk, langsung bergerak cepat. Luna mengangkat bahu, sedikit kesal.

"Ya ampun, Xavier, apa kamu akan selalu begini saat aku terluka?" tanya Luna dengan nada menggoda, berusaha menenangkan suasana.

Xavier tidak menjawab, hanya menatapnya dengan mata penuh keprihatinan. "Aku tidak akan biarkan satu pun luka kecil menimpamu, Luna. Tidak lagi."

Luna menatapnya dengan pandangan lembut, hatinya sedikit lebih tenang meski luka-luka di tubuhnya masih terasa perih.

"Oke, oke, pemeriksaan lengkap. Tapi kamu harus janji, tidak akan jadi overprotektif, kan?"

Xavier hanya mengerutkan alis, sedikit cemberut, tapi tidak mengatakan apapun. Matanya tetap tertuju pada Luna, seolah mencari tanda-tanda luka yang lebih dalam daripada yang terlihat.

Setelah beberapa saat, dokter selesai memeriksa dan memberikan laporan lengkap.

"Lukanya tidak terlalu parah," katanya, "Hanya goresan dan sedikit memar, namun saya akan beri antibiotik dan perawatan agar luka tidak infeksi. Luna harus banyak istirahat."

Luna mengangguk, merasa sedikit lega mendengar hasilnya, namun Xavier masih terlihat khawatir.

"Apakah ada hal yang perlu diperhatikan?" tanya Xavier, matanya tak lepas dari dokter.

"Perawatan luka kecil harus rutin, dan jangan anggap remeh cedera di lutut dan lengan. Mereka perlu waktu untuk sembuh sepenuhnya," jawab dokter dengan hati-hati. "Tapi selain itu, kondisi Luna stabil."

Xavier menghela napas panjang. "Terima kasih, dokter."

Setelah itu, ia berbalik ke Luna, wajahnya sedikit lebih tenang. Namun, perasaan gelisahnya belum sepenuhnya hilang.

"Kau bisa beristirahat di ruanganku. Aku ada operasi sebentar lagi, setelah itu aku akan mengantarmu pulang."

Luna tertawa kecil. "Xav, aku bisa merawat diriku sendiri. Ini hanya luka kecil, aku bisa pulang sendiri."

Xavier menatapnya serius, suara lembut namun penuh penekanan. "Luna, bisakah sekali saja kau menurut padaku?"

Luna terkekeh, menyeringai kecil. "Baiklah, Xavier. Kau memang selalu menang kalau sudah keras kepala." Dia lalu menambahkan dengan sedikit gurauan, "Tapi jangan terlalu khawatir. Aku bisa berjalan sendiri, kok."

Xavier menghela napas panjang, sedikit frustrasi namun tetap mencoba menahan senyumnya.

"Kalau kau mau berjalan, baik. Tapi aku tetap akan mengawasi."

Luna tertawa pelan, tidak bisa menahan rasa geli ketika Xavier begitu memperhatikannya.

"Oke, oke... Aku janji akan hati-hati."

Namun saat Luna mencoba berdiri, tubuhnya terasa agak goyah. Xavier yang memperhatikannya dengan cermat langsung bergerak cepat, mengulurkan tangan untuk menahan tubuhnya.

"Sepertinya... aku lebih baik tetap mengawasi," katanya, kali ini senyumannya lebih lebar, meski ada kekhawatiran yang masih jelas di matanya.

Luna hanya tersenyum miris, "Aku akan mengganggu hidupmu, ya?" ujarnya sambil setengah bergurau, tetapi matanya penuh arti.

Xavier menggelengkan kepalanya, lalu menggenggam tangannya dengan lembut. "Dan aku bersedia untuk itu."

To Be Continued >>>

1
Moh Zaini Arief
semangat terus kita tunggu selalu upnya
Rahmawati
terima kasih udah crazy up thor
Rahmawati
hmm untung gercep cek cctv
Rahmawati
aduh gmn Luna kena tusuk zora, semoga janinnya gk knpa napa
Rahmawati
semoga zora sadar
Rahmawati
ini zora korban pelecehan ayahnya sendiri ato gimana sih, duhhh jd penasaran
Rahmawati
tetep hati hati lun, takutnya ini jebakan zora
Linda Liddia
crazy up thor..
semangaaattt ya thor
Linda Liddia
Hati2 lu luna tar lu dibunuh sama zora krn lu tau rahasia kelam masa lalunya..Bukannya lu ceritain dulu sm xavier yg ada lu langsung nemuin si zora
徐梦
Ya ampun selalu setia nungguin updatenya😍
Moh Zaini Arief
semoga kedepannya mereka bahagia,dan buat zora bongkar kasusnya sampai selesai thour
Moh Zaini Arief
paling suka tokoh utama yg tidak lemah ,mudah di tindas bahkan kadang di luar nalar seru ayo lanjutka thour aku nanti setiap up mu love se kebon😘😘😘
徐梦
Mantap luna
Aku dukung 🥰
Ni made Wartini
jangan kelamaan updatenya kak🙏
Ni made Wartini
jangan kelamaan update nya kak🙏
Moh Zaini Arief
kok malah kesannya misteri ya ada dg zora
Ni made Wartini
perbanyak update nya kak🙏
Lin Frie
up lg
Ni made Wartini
lanjut, update nya jgn sedikit ya🙏
Rahmawati
hmm penasaran sm masa lalu zora
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!