Rio Tyaga hidup dalam kesialan bertubi-tubi. Ayahnya meninggal di penjara dan setelahnya ia hidup serba kekurangan. Ia mendapatkan uang untuk biaya sehari-hari dari taruhan Drag Race, balap motor liar. Saat itu tiba-tiba motornya hilang, ia kena tipu. Padahal uang jual-beli motor akan ia gunakan untuk hidup sehari-hari dan membeli motor bodong utuk balapan.
Di saat penelusuran mencari motor kesayangannya, Rio terlibat dalam aksi penculikan. Yang diculik oleh kawanan sindikat adalah temannya sendiri, gadis kaya yang populer di sekolah, Anggun Rejoprastowo. Rio berhasil menyelamatkannya dalam keadaan susah payah bertaruh nyawa.
Rio tadinya tidak terlalu kenal Anggun, namun setelah penculikan itu Anggun seakan begitu ketergantungan akan Rio. Tanpa Rio di sisinya ia bersembunyi di sudut kamar, seakan trauma dengan penculikan itu.
Walau benci, akhirnya orang tua Anggun membiarkan Rio si berandal mendampingi Anggun 24 jam 7 hari, termasuk saat Anggun ke sekolah.
Apakah Rio yang dingin akhirnya dapat luluh dengan kedekatan mereka? Bagaimana perasaan Rio sebenarnya? Dan Anggun, apakah memang ada perasaan cinta ke Rio atau hanya memanfaatkannya sebagai bodyguard saja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengajuan Dispensasi
Rio menghela nafas saat melihat angka di rekeningnya. Kini ia sedang berada di dalam kamar Anggun, menunggu cewek itu mandi.
Sambil ngopi dan mengutak-atik ponsel barunya, ia berpikir mengenai rencana ke depannya.
Ia akan menikah, sebentar lagi.
Bukannya ia tak mengerti keinginan Pak Banyu untuk buru-buru menikahkan mereka, namun menurutnya itu juga langkah yang pas untuk saat ini. Ia dan Anggun sudah terlalu jauh melangkah. Tidak mungkin kalau hanya sekedar ‘akrab’. Mereka sudah sampai berciuman, ditambah Anggun ketergantungan padanya.
Rio pun lambat laun merasa kalau Anggun bukan lagi cewek yang sulit dijangkaunya. Berbagai kata-kata manis yang terlintas di nuraninya ia keluarkan untuk Anggun.
Kalau diingat lagi, malu banget dia sampai mengeluarkan kalimat romantis menye-menye seperti tadi!
Terdengar bunyi gemericik air dari dalam kamar mandi Anggun.
Rio menatap pintu itu.
Ia penasaran.
Seperti apa sosok Anggun sesungguhnya saat pemulihan ini? Sejauh apa ia harus memperlakukan Anggun.
Gadis itu memang sering memeluknya, sering bergelayut mesra... tapi setelah diingat lagi, Rio merasa kernyitan di dahi Anggun saat berdekatan dengannya.
Apa gadis itu sedang menahan rasa sakitnya?
Dan cowok itu pun menarik nafas panjang.
Mungkin ini adalah perlakuan terlancangnya ke lawan jenis.
Ia sering bertindak di luar batas bagi manusia yang dianggapnya memang pantas mendapatkan perlakuan kasarnya. Tapi kepada orang lain, Rio sebenarnya bukan jenis pengganggu.
Rio pun mengulurkan tangannya ke pegangan pintu kamar mandi.
Dengan ragu ia berpikir.
Perlukah hal ini ia lakukan?
Atau ia tutup mata saja terhadap kemungkinan yang terjadi?
Toh Anggun perempuan tegar, pasti akan bangkit lagi kan? Buktinya ia dengan lantangnya menghadapi Ikhsan dan Pak Kinto sekaligus. Bahkan menawarkan kesepakatan sendirian.
Sesuatu yang pasti korban lain akan sulit melakukannya.
Anggun yang kemarin berada di kantor polisi, adalah Anggun yang biasa di lihat Rio di sekolah.
Cewek angkuh sombong yang bisa segalanya.
Karena itu Rio sering merasa kecil saat melihat Anggun berdebat secara terbuka.
Karena tidak ada yang harus ia pertanyakan dari setiap argumen Anggun.
Dulu, Rio sampai meninggalkan acara debat terbuka antara SMA VS Mahasiswa, tepat saat Anggun mengatakan hal ini, “Semakin korup sebuah negara, semakin banyak hukum yang berlaku di dalamnya. Jadi kakak harusnya tidak perlu lagi bertanya kepada mereka yang ada di gedung wakil rakyat, kenapa banyak sekali aturan di negara ini.”
Rio saat itu terkekeh, dan ia meninggalkan arena debat. Sudah tidak ada yang perlu diragukan, gadis ini langsung membuatnya tidak percaya diri. Dan ia selalu segan kalau berhadapan dengan seseorang yang memiliki ‘kelebihan’ dari padanya.
Dan kini... gadis itu ada di dalam.
Rio sedang menyentuh pegangan pintu kamar mandinya.
Perlukah ia masuk?
Tapi Rio penasaran akan luka yang diderita Anggun.
Juga...
Akan hasrat yang ia miliki saat ini.
Ia putar pegangan itu perlahan.
Klek...
Tidak terkunci.
Anggun tahu Rio ada di sana, tapi gadis itu tidak mengunci pintunya.
Apa Anggun berharap Rio akan masuk? Atau gadis itu tahu kalau Rio akan masuk?
Dan sosok itu ada di sana...
Di tengah shower.
Duduk di lantai sambil menunduk.
Punggungnya naik turun, nafasnya putus-putus.
Rambutnya yang basah disampirkan ke belakang punggung.
Kini tubuhnya terpampang jelas di mata Rio.
Lebam keunguan di mana-mana, area dadanya membengkak dan merah.
Rio tidak melihat hal itu saat Anggun memeluknya dulu. Mungkin karena suasana, atau karena rambut Anggun yang panjang menutupi beberapa bagian tubuhnya.
Tapi entah kenapa, sosok Anggun yang ringkih terasa sangat cantik, lebih dari biasanya. Apa mungkin karena sisi manusianya timbul?
Anggun mengangkat wajahnya saat melihat ke arah Rio.
Air matanya tersamarkan oleh deraian shower.
“Aku takut...” bisik Anggun.
Rio berlutut dan mengulurkan tangannya, “Aku tahu, aku juga takut,”
“Kamu takut apa?” tanya Anggun.
“Takut kamu merasa tertekan,”
Anggun mendengus masam, “Saat aku memikirkan diriku sendiri, kamu ikut memikirkan diriku,”
“Refleksivitas diriku terhadapmu sudah masuk ke tahap akut,” kata Rio, “Kata lain dari latah.”
“Kamu tahu tidak, itu kalimat paling romantis yang kudengar selama hidupku,” kekeh Anggun.
“Apakah...luka yang kuderita menyamai keadaanmu saat ini? Atau masih level recehan?”
“Menurutku kamu lebih parah,”
“Ini hanya pinggang,”
“Pelipis dan rahangmu masih ungu, Rio,”
Rio menunduk ke arah dada Anggun yang terpapar. “Jalinan sarafnya lebih banyak di situ,”
Anggun menunduk menatap tubuhnya, tapi ia tidak coba menutupinya. “Anggap saja kita satu sama,”
“Penderitaan kita tidak sepatutnya dijadikan pertandingan,”
“Ah ya, itu salahku. Lagi-lagi aku berkompetisi.”
“Kalau luka sayatan ini adalah sebuah pertandingan, kuharap aku mengalami sakit yang lebih parah dibanding dirimu, agar aku bisa memahami rasa sakitmu.”
Anggun pun menarik nafas saat mendengar Rio berujar begitu.
“Rio...” Anggun menerima tangan Rio, “Rio aku sayang kamu.”
Lalu gadis itu memeluk Rio sambil menangis, “Karena ada kamu, aku kuat. Aku sebenarnya takut sekali kemarin. Aku takut melihat wajah Ikhsan... rasanya aku seperti disakiti dua kali Rio,”
“Hebat kamu... hebat. Entah bagaimana lagi caraku melindungi kamu, kalau kamu lebih tegar dari pada aku,”
“Tetaplah ada di sampingku. Apa pun statusmu atas diriku. Tetaplah bersamaku, agar aku bisa berdiri.”
Rio mengecup perlahan bibir itu, ia merenggangkan pelukannya agar tidak terlalu menekan dada Anggun.
Melihat kondisinya, sudah pasti rasanya sangat nyeri.
Rio menarik nafas sambil berpikir, ia harus menjadikan Anggun miliknya. Agar gadis itu selalu terlindungi.
**
“Ya Tuhanku....” Pak Rendi mengacak-acak rambutnya dengan satu tangan lalu melonggarkan dasinya. “Apalagi sih ini?”
Rio hanya tersenyum jahil, sedangkan Anggun bersikap datar. Pak Banyu sedang mengajukan permohonan ke Pak Rendi sebagai Kepala Sekolah SMA Bhakti Putra untuk pengajuan dispensasi ke Departemen Pendidikan atas rencana Rio dan Anggun untuk menikah secara Agama. Sekaligus Dispensasi untuk Menikah ke Pengadilan Agama karena mereka masih di bawah 19 tahun.
“Mengertilah Pak,”
“Bukannya saya tidak mengerti kondisinya! Tapi apa perlu menikah? Tinggal 5 bulan lagi loh mereka sekolah!”
Pak Banyu menggeret Pak Rendi ke balik lemari, tersembunyi dengan Rio dan Anggun yang duduk di depan meja kerja Pak Rendi. “Dalam lima bulan itu apa kemungkinan yang bisa terjadi Pak?” bisik Pak Banyu. “Bagaimana kalau anak saya tidak haid bulan ini dan Rio berubah pikiran?”
“Mana mungkin Rio berubah pikiran? Dia bukan jenis yang begitu,”
“Bagaimana bapak tahu?”
“Saya gini-gini juga mengamati anak didik saya Pak, seluruh yang berada di sini adalah siswa pilihan, termasuk Ikhsan. Dari dulu anak itu memang ada bakat jahat, tapi tertutupi dengan jiwa kepemimpinannya. Dia terobsesi mengalahkan kakaknya,”
“Ikhsan masih tetap akan bersekolah di sini?”
“Tidak Pak, surat keputusan dari Ketua Yayasan sudah keluar. Saya mengajukan persetujuan Drop Out tanpa surat rekomendasi,”
“Tapi dia tetap bisa bersekolah di tempat mana pun yang dia suka setelah ini?”
“Tidak juga sih, jangan remehkan kekuatan tim konseling kami. Kasus Ikhsan sudah kami sebarkan ke setiap manajemen sekolah di negara ini. Kalau mau melanjutkan bersekolah dia harus keluar negeri. Tapi di luar negeri pun mereka butuh surat rekomendasi dari kedutaan dan sudah pasti Ikhsan kami masukan ke kategori pernah terlibat dalam tindakan kriminal,”
“Semua orang sudah tahu mengenai Anggun dong Pak?”
“Tentu saja identitas Anggun kami rahasiakan.” Pak Rendi mencibir, ia kesal karena Pak Banyu meremehkan manajemennya.
Pak Banyu menghela nafas lega. “Kembali lagi ke topik awal, saya khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan Pak, mumpung Rio-nya setuju. Bapak tidak lihat bagaimana nempelnya si Anggun ke Rio? Mesra sekali kan? Dari pada terjadi fitnah dan Zina lebih baik mereka dinikahkan! Saya juga tak yakin Rio akan tahan digesek-gesek Anggun terus. Anggun kan cantik!”
Pak Rendi sampai bengong mendengar penuturan Pak Banyu yang apa adanya.
Sementara di ruang kerja, Anggun sampai menunduk karena malu mendengar ayahnya membicarakannya, Rionya hanya cengengesan.
Mana mungkin diskusi mereka tidak kedengaran? Jaraknya hanya dua meter dan dibatasi lemari.
“Baiklah...” Akhirnya ditekan terus-terusan Pak Rendi menyerah. “Saya butuh salinan hasil visum, laporan dari kepolisian, dan lainnya-“
“ini Pak!” Pak Banyu dengan sigap langsung mengangkat semua berkas ke depan hidung Pak Rendi.
“Gercep ya... “ desis Pak Rendi malas-malasan.
**
“Rahasiakan semuanya,” gumam Pak Rendi saat mereka keluar dari ruangannya. Terutama ke Rio, ia menatap tajam.
“Aku ikut ujian remedial dulu ya,” kata Anggun sambil menatap Rio.
“Hm,”
“Nanti sore, pindahkan barang-barang kamu ke rumahku,”
“Hm,”
“Semangat ya Rio,”
“Pasti... nggak lah, duh ngantuk nih!”
“Ih!”
“Semalem bolak balik bangun ada yang menimpa badanku, jadi sesak napasku,”
“Hemmm...” gumam Anggun sambil mencubit lengan Rio.
“Aku di kantin, kalau kamu butuh apa-apa,” Rio menarik Anggun lembut dan mengecup bibir gadis itu dengan ringan.
“Nggak usah pakai mesra-mesraan di depan ruangan Kepsek, Dooooong. Sana belajar lagi!” tegur Pak Rendy dari ambang pintu.
Rio dan Anggun langsung berpisak bersebrangan jalan.
“Tunggu... Rio maksudnya apa kamu ada di kantin hoy!! Ini masih jam pelajaran!!” seru Pak Rendi makin kesal.
Tapi Rio sudah kabur menjauhi ruangannya.
mewakili netijen