Tepat di hari pernikahan, Ayana baru mengetahui jika calon suaminya ternyata telah memiliki istri lain.
Dibantu oleh seorang pemuda asing, Ayana pun memutuskan untuk kabur dari pesta.
Namun, kaburnya Ayana bersama seorang pria membuat sang ayah salah paham dan akhirnya menikahkan Ayana dengan pria asing yang membantunya kabur.
Siapakah pria itu?
Sungguh Ayana sangat syok saat di hari pertama dia mengajar sebagai guru olahraga, pria yang berstatus menjadi suami berada di antara barisan murid didiknya.
Dan masih ada satu rahasia yang belum Ayana tahu dari sang suami. Rahasia apakah itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tria Sulistia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Ayah Elang
Abian membuka pintu dengan senyum mengembang di bibir. Berbeda dengan Elang yang jantungnya berdegup kencang dan matanya membelalak.
Pintu perlahan terkuak terbuka dan Elang melongok ke dalam. Detik berikutnya, Elang menghela nafas lega sebab Ayana tak ada di kamar.
"Kamu kenapa sih, Lang? Kaya tegang banget gitu?"
"Nggak apa-apa," jawab Elang sambil mengelus dada.
Namun, sesaat Elang mengerutkan kening akibat terheran akan sosok Ayana yang tiba-tiba menghilang di dalam kamar.
Manik mata Elang mencoba menelisik sekitar ruangan dan dia langsung tersenyum ketika tahu jika Ayana ada di bawah kolong tempat tidur. Terlihat dari kaki Ayana yang sedikit mencuat.
Sama halnya dengan Elang, Abian juga menelisik kamar yang biasa ditempati jika sedang menginap di rumah Elang. Abian merasakan ada banyak perubahan di kamar itu.
"Lang, kok ini kamar banyak barang-barang sih? Setahu aku ini kamar cuma isi kasur sama lemari doang."
"Oh, itu…" Elang menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Berusaha mencari alasan yang cocok untuk berbohong. "Kemarin ada Farel nginep di sini."
"Kok kamu nggak bilang Farel nginep sini?" kata Abian sambil menaruh tas ransel di atas tempat tidur.
"Ngapain aku harus bilang ke kamu? Memangnya kamu pak RT?"
Kemudian mata Abian menangkap keranjang baju kotor yang tergeletak di salah satu sudut kamar. Mata Abian menyipit kala melihat benda aneh di dalam keranjang.
Lantas Abian mendekat serta membungkukan badan untuk mengambil benda tersebut. Dia angkat menggunakan kedua benda yang berfungsi sebagai penyangga bukit kembar para kaum wanita.
"Kok benda ini ada di sini, Lang?" tanya Abian sambil melirik Elang penuh curiga. "Jangan-jangan kamu sering ngajak cewek nginep di rumah kamu ya? Ayo ngaku!"
Di bawah kolong tempat tidur, Ayana menggumam pelan mengutuki Abian yang menemukan bra keramatnya.
Begitu pula dengan Elang. Dia mengatakan sumpah serapah pada Abian, meski hanya terucap di dalam hati.
"Itu…hmm…" wajah Elang berdecak dengan wajah mengernyit, berusaha mencari alasan lain. "Kemarin Farel bawa cewek nginep di sini. Nah sepertinya itu milik ceweknya Farel, deh."
Abian menaruh kembali bra ke dalam keranjang sambil mengangkat bahu.
"Masa sih Farel bawa cewek? Gila ya dia. Dari kita bertiga, dia kan yang paling polos tapi ternyata diam-diam menghanyutkan," Abian bergidik ngeri.
Lalu Abian beralih menuju lemari. Tangan Abian hendak meraih gagang pintu lemari dan membukanya.
Namun, secepat kilat Elang menahan tangan Abian. Membuat alis Abian menaut kebingungan dan menoleh untuk menatap wajah Elang meminta penjelasan.
Elang sendiri hanya diam menepis tangan Abian agar tidak membuka lemari. Karena bisa dipastikan di dalam lemari sana ada banyak benda serupa dengan yang tadi Abian temukan.
"Kenapa, Lang? Aku mau masukin baju ke lemari."
"Nanti saja deh. Sekarang kita mabar yuk."
Mata Abian membulat sempurna dengan senyum berkembang di bibirnya. Alis Abian dinaikan sebagai tanda setuju.
"Tapi aku ambil headset dulu. Kamu buat kopi gih. Kita mabar di luar biar adem," kata Elang yang sengaja mengajak Abian main game online di teras rumah agar Ayana bisa keluar dari kolong tempat tidur.
Elang masuk ke dalam kamar. Sejenak sebelum dia mengambil headset, dia menggaruk kepala sambil berjalan mondar-mandir.
Dia sedang memikirkan cara agar Abian bisa pergi dari rumahnya. Kemudian dia menghela nafas, sebab tak ada pilihan lain selain meminta bantuan sang ayah.
Dia meraih ponsel untuk menelepon ayahnya. Lalu menjelaskan keinginannya secara rinci tanpa menyinggung tentang keberadaan Ayana.
"Oke, Daddy akan bantu, tapi semua ini ada harganya. Kamu harus menemui Daddy besok."
Elang berdecak sambil memutar bola mata malas. "Ya, Dad. I know."
*
*
*
Di sebuah lantai tertinggi dari sebuah gedung pencakar langit, seorang pria berpakaian setelan jas rapi yang telah memasuki usia enam puluh dua tahun baru saja menutup telepon dari seseorang.
Tepat saat itu, seorang pria yang merupakan bawahannya mengetuk pintu dan melangkah masuk setelah dipersilahkan.
Pria yang usia lebih muda itu menundukan kepala memberi hormat lalu menyerahkan sebuah berkas ke meja.
"Ini berkas yang harus Tuan Bram tanda tangani," ucap Arif pada sang bos besar.
Bram meneliti berkas tersebut sebelum membubuhkan tanda tangannya. Bersamaan dengan itu, ponsel di dalam saku jas Arif berdering.
Lantas Arif pun merogoh saku dan melihat layar ponsel menampilkan nama sang istri.
"Tuan Bram, maaf. Apa boleh saya angkat telepon dari istri saya?"
"Tentu saja boleh. Angkat saja di sini," kata Bram yang kemudian kembali membaca berkas di meja.
"Terima kasih, Tuan."
Arif mengangkat telepon dan dia terkejut saat mendapatkan laporan dari sang istri jika anak mereka bernama Abian kabur dari rumah.
"Ada apa, Rif?" tanya Bram saat Arif menutup telepon.
"Ini… Tuan. Anak saya kabur dari rumah. Apa boleh saya izin pulang, Tuan?"
Bram mengangguk seraya melirik benda penunjuk waktu yang melingkar di pergelangan tangan. "Ya, lagian ini sudah melebihi jam lembur."
Mendadak Arif menjadi ragu. Dia tampak ingin mengatakan sesuatu tapi takut mengundang kemarahan dari bosnya.
"Tuan, apa saya boleh memotret foto anak Tuan Bram yang terpasang di sana?" Arif menunjuk foto yang tergantung di dinding telat di belakang kursi kerja Bram.
Sejenak Bram melirik ke belakang, menatap foto putra semata wayangnya sekilas, lalu kembali menghadap ke Arif.
"Untuk apa?" tanya Bram dengan raut kurang suka.
"Sebelumnya maaf, Tuan. Saya hanya kagum dengan anak Tuan Bram. Dia seumuran anak saya tapi dia sudah dapat memimpin perusahaan dan menjadi wakil direktur disini. Saya ingin menunjukkan foto itu supaya anak saya dapat mencontoh anak Tuan Bram," terang Arif panjang lebar.
Sedangkan Bram diam sejenak sambil mengusap dagunya. Tampak sedang menimbang.
Pasalnya, selama ini Bram tidak pernah mempublikasikan sosok sang anak ke media atau ke sembarang orang.
Bram sangat menjaga privasi sang anak bagai sebuah harta tak ternilai sampai saatnya tiba sang anak duduk di kursi CEO.
Setelah berpikir cukup lama, Bram pun menganggukkan kepala memperbolehkan Arif, si sekretaris, memotret foto anaknya.
"Tapi ingat, Arif! Kamu tunjukan foto itu hanya pada anakmu saja dan suruh anakmu menjaga rahasia identitas anakku."
Arif mengangguk cepat sambil tersenyum lebar. "Pasti Tuan. Saya tidak akan menyalahgunakan foto anak Tuan Bram."
Kemudian Arif memotret foto pria remaja yang terlihat gagah dengan setelan jas hitam. Setelah itu dia menundukkan kepala seraya mengucapkan terima kasih pada Bram.
Arif memutar badan hendak keluar dari ruangan dan pulang ke rumah memberi ceramah pada anaknya yang bandel bukan main.
Namun, ketika Arif berada di ambang pintu Bram berteriak, "Rif, tunggu dulu!"
Arif berhenti dan kembali memutar badan menghadap Bram.
"Ya, Tuan."
"Kalau kamu ingin mencari anakmu, aku tahu dimana dia berada."