Firman (22) punya satu prinsip dalam hidupnya: "Jangan pernah berharap sama manusia, maka kamu tidak akan kecewa." Pengkhianatan di masa lalu mengubahnya menjadi jurnalis yang dingin dan skeptis terhadap komitmen. Baginya, cinta adalah variabel yang tidak rasional.
Di sebuah lapangan badminton di Samarinda, ia bertemu Yasmin (22). Seorang dokter muda yang lembut namun memiliki tembok yang sama tingginya dengan Firman. Yasmin adalah ahli dalam mengobati fisik, tapi ia sendiri gagal menyembuhkan luka akibat ditinggalkan tanpa penjelasan.
Mereka tidak menjanjikan selamanya. Mereka hanya sepakat untuk berada di "level" yang sama sebagai teman diskusi, teman batin, namun tanpa ikatan yang mencekik. Namun, ketika masa lalu mulai kembali menagih janji dan jarak antar kota (Bontang hingga Labuan Bajo) mulai menguji, mampukah mereka tetap di level yang aman? Ataukah mereka harus memilih: Berhenti sebelum terluka, atau berani hancur demi satu kesempatan bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3: ANTARA TENGGAT WAKTU DAN KENANGAN
Kantor redaksi pagi itu terasa lebih bising dari biasanya. Suara gemeretak jemari di atas papan ketik, deru mesin cetak yang sedang diuji coba, hingga perdebatan panas antara editor dan fotografer tentang sudut pengambilan gambar untuk rubrik gaya hidup, semuanya menyatu menjadi satu frekuensi yang memekakkan telinga. Namun, bagi Firman, kebisingan itu adalah musik latar yang sempurna untuk menyembunyikan kekacauan di dalam kepalanya.
Ia baru saja menyesap kopi hitam tanpa gula yang ketiga kalinya pagi ini. Pahitnya meresap ke lidah, namun tidak mampu menandingi pahitnya pikiran yang terus membayanginya sejak percakapan dengan Yasmin di kafe kemarin sore.
“Sama-sama sedang berusaha sembuh.”
Kalimat itu seperti hantu yang tidak mau pergi. Firman mencoba memfokuskan matanya pada layar monitor, menyunting draf artikel tentang sejarah literasi di Kalimantan Timur yang seharusnya ia selesaikan dua jam lalu. Namun, setiap kali ia membaca kata "sejarah" atau "masa lalu", ingatannya justru melompat ke sebuah nama yang selama setahun ini ia kubur dalam-dalam: Sarah.
"Man, ada kiriman buat lo. Ditaruh di meja resepsionis tadi," kata Aldi, anak magang yang baru saja masuk sambil menunjuk ke arah pintu depan.
Firman hanya mengangguk tanpa menoleh. "Taruh saja di situ, Al. Makasih."
"Kelihatannya penting, Man. Paketnya rapi banget, pakai amplop putih tebal dan ada wangi parfumnya gitu. Kayak undangan," celetuk Aldi sambil meletakkan paket itu di sudut meja Firman, lalu pergi sebelum Firman sempat bertanya lebih lanjut.
Gerakan tangan Firman yang sedang mengetik tiba-tiba membeku. Matanya melirik ke arah amplop putih yang tergeletak di samping tumpukan buku referensi. Jantungnya berdegup kencang, sebuah firasat buruk merayap naik dari perutnya menuju kerongkongan.
Ia mengenal tulisan tangan di amplop itu. Sangat mengenalnya. Tulisan tangan yang dulu sering menghiasi catatan kecil di dalam buku-bukunya, tulisan yang dulu ia anggap sebagai janji masa depan yang indah.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Firman meraih amplop itu. Benar kata Aldi, ada aroma parfum vanila yang samar tercium dari kertasnya. Parfum yang sama dengan yang dipakai Sarah mantan tunangannya di malam ketika perempuan itu memutuskan untuk membatalkan semua rencana pernikahan mereka sebulan sebelum hari H.
Firman merobek amplop itu dengan kasar, seolah ingin segera mengakhiri rasa penasaran yang menyakitkan. Di dalamnya, sebuah kartu undangan berwarna broken white dengan aksen emas yang mewah terjatuh ke atas meja.
The Wedding of Sarah & Andre.
Dunia Firman seolah berhenti berputar. Huruf-huruf di undangan itu menari-nari di depan matanya, mengejek harga dirinya yang selama ini ia banggakan. Setahun. Ia pikir setahun sudah cukup untuk membuat luka itu mengering. Ternyata, luka itu hanya tertutup kerak tipis yang langsung hancur hanya dengan selembar kertas beraroma vanila.
Ternyata benar, ya. Dia sudah menemukan penggantinya. Dan dia ingin aku melihatnya, batin Firman getir. Ia merasa seperti pecundang yang ditinggalkan di garis start, sementara orang yang ia cintai sudah jauh melangkah menuju garis finish bersama orang lain.
"Fir? Lo oke?" Sebuah suara lembut tiba-tiba memecah keheningan pribadinya.
Firman tersentak dan refleks menyembunyikan undangan itu di bawah tumpukan kertas artikelnya. Ia menoleh dan menemukan Yasmin berdiri di samping mejanya. Perempuan itu mengenakan kemeja santai dan membawa tas kecil, wajahnya tampak sedikit cemas melihat ekspresi Firman yang pucat.
"Yasmin? Ngapain kamu ke sini?" nada bicara Firman terdengar lebih kasar dari yang ia maksudkan.
Yasmin sedikit tersentak, tapi ia tetap tenang. "Maaf kalau saya mengganggu. Saya kebetulan ada urusan di dekat sini dan teringat ada satu judul buku lagi yang saya butuhkan. Saya pikir daripada lewat chat, lebih baik saya mampir sebentar sekalian mau tanya... soal buku-buku kemarin."
Firman menghela napas panjang, mencoba mengontrol emosinya. "Buku-buku itu sedang saya proses, Yas. Kamu nggak perlu sampai datang ke sini. Saya sibuk."
Yasmin tidak langsung pergi. Ia menatap meja Firman yang berantakan, lalu matanya terpaku pada tangan Firman yang masih memegang pinggiran kertas yang menyembunyikan undangan tadi. Sebagai dokter yang terbiasa menangani pasien dalam kondisi syok, Yasmin tahu Firman sedang tidak baik-baik saja.
"Mas Firman, kamu pucat sekali. Tanganmu gemetar," ujar Yasmin pelan, nyaris berbisik agar tidak didengar oleh rekan kerja Firman yang lain.
"Saya cuma butuh kopi lagi, Yasmin. Pergilah," usir Firman dingin.
"Berapa cangkir lagi? Kamu sudah gemetar begitu, jantungmu pasti berdebar terlalu kencang sekarang. Ikut saya sebentar, kita cari udara segar di luar," ajak Yasmin, kali ini nadanya lebih tegas, tidak menerima penolakan.
"Nggak bisa, saya punya deadline," bantah Firman keras kepala.
"Pekerjaanmu nggak akan selesai kalau kamu pingsan di sini, Mas. Lima menit. Hanya lima menit," Yasmin memegang lengan kemeja Firman sebentar, memberikan sentuhan yang entah bagaimana membuat Firman merasa sedikit membumi kembali.
Dengan langkah gontai, Firman akhirnya bangkit dan mengikuti Yasmin keluar menuju area balkon kantor yang menghadap ke arah jalanan kota. Angin sepoi-sepoi Samarinda menerpa wajah mereka, membawa sedikit aroma sungai Mahakam yang khas.
Firman bersandar di pagar balkon, menatap kosong ke arah deretan ruko di seberang jalan. "Kamu dokter yang sangat mengganggu, tahu?"
Yasmin berdiri di sampingnya, membiarkan keheningan menyelimuti mereka selama beberapa saat. "Saya tahu. Tapi terkadang, orang butuh diganggu supaya mereka nggak tenggelam dalam pikirannya sendiri."
"Pernah nggak kamu merasa kalau semua yang kamu bangun selama bertahun-tahun, runtuh dalam hitungan detik hanya karena selembar kertas?" tanya Firman tiba-tiba, suaranya terdengar hampa.
Yasmin menoleh, menatap profil samping wajah Firman yang keras. "Pernah. Tiga tahun lalu, saat saya mendapati orang yang saya sayangi pergi tanpa kata, tepat di hari saya lulus ujian kedokteran yang paling berat. Dia menghilang begitu saja, meninggalkan saya dengan sejuta pertanyaan yang sampai sekarang nggak pernah terjawab."
Firman terdiam. Ia baru menyadari bahwa luka Yasmin mungkin lebih misterius dari lukanya. Setidaknya ia tahu Sarah pergi karena pria lain, sementara Yasmin... ditinggalkan tanpa kejelasan.
"Lalu bagaimana kamu bisa setenang ini?" tanya Firman lagi.
"Saya nggak tenang, Mas. Saya cuma belajar untuk tidak membiarkan luka itu mengambil kendali atas hidup saya. Saya menangis kalau ingin menangis, tapi saya tetap berangkat kerja ke rumah sakit. Karena kalau saya menyerah, luka itu menang. Dan saya nggak mau membiarkan dia menang atas masa depan saya," jawab Yasmin dengan sorot mata yang kuat.
Firman mengeluarkan undangan tadi dari saku celananya ia sempat menyambarnya tadi. Ia menunjukkannya pada Yasmin. "Dia mengundangku. Dia ingin aku melihatnya bahagia di altar."
Yasmin melihat nama di undangan itu, lalu kembali menatap Firman. "Dia mengundangmu bukan karena ingin pamer, Mas. Dia mengundangmu karena dia sudah selesai dengan masa lalunya. Pertanyaannya sekarang... kapan kamu mau selesai dengan masa lalumu sendiri?"
Pertanyaan itu seperti tamparan bagi Firman. Selesai? Bagaimana bisa selesai jika setiap sudut kota ini mengingatkannya pada Sarah?
"Kamu nggak harus datang, Mas. Tapi kamu harus memaafkan kenyataan bahwa dia sudah bukan milikmu lagi. Menaruh dendam itu seperti meminum racun dan berharap orang lain yang mati. Kamu cuma menyakiti dirimu sendiri," lanjut Yasmin.
"Bicara memang mudah, Dokter. Kamu nggak tahu rasanya dikhianati saat kamu sudah menyiapkan segalanya. Rumah, tabungan, bahkan nama anak pun sudah kami diskusikan," suara Firman mulai bergetar karena emosi yang tertahan.
"Saya tahu rasanya, Mas. Sangat tahu," Yasmin mendekat, jarak mereka kini hanya tinggal beberapa senti. "Tapi lihat saya sekarang. Saya masih berdiri di sini. Saya masih bisa tertawa, saya masih bisa menolong orang. Dunia tidak berhenti berputar hanya karena satu orang pergi."
Firman menatap mata Yasmin. Untuk pertama kalinya, ia melihat ada pantulan keberanian di sana. Keberanian yang ia sendiri tidak miliki. Selama ini ia menganggap dirinya rasional, tapi ternyata ia hanyalah pengecut yang bersembunyi di balik kata-kata "rasional" itu.
"Kenapa kamu melakukan ini padaku? Kita baru kenal beberapa hari," tanya Firman dengan nada yang lebih melunak.
"Karena seperti yang saya bilang kemarin... kita ada di level yang sama. Saya melihat bagian dari diri saya yang dulu ada dalam dirimu. Dan saya nggak mau melihat orang hebat seperti kamu hancur hanya karena selembar kertas undangan," jawab Yasmin tulus.
Tiba-tiba, ponsel Firman berbunyi. Ada telepon masuk dari editornya. "Firman! Mana drafnya? Sudah lewat satu jam!" teriak suara di seberang sana.
Firman tersadar dari momen emosional itu. Ia menjauhkan ponsel dari telinganya. "Iya, Bang. Lima menit lagi selesai."
Ia menatap Yasmin sekali lagi sebelum kembali masuk ke dalam kantor. "Terima kasih, Yasmin. Untuk lima menitnya. Dan untuk... diagnosisnya."
Yasmin tersenyum tipis, kali ini senyumnya terlihat lebih cerah. "Sama-sama. Oh ya, soal buku medis itu... jangan lupa dicarikan, ya. Saya benar-benar butuh."
"Iya, dasar dokter cerewet," balas Firman, mencoba sedikit bercanda meski hatinya masih terasa berat.
Sepanjang sisa hari itu, Firman bekerja dengan kecepatan dua kali lipat. Ia mencoba menumpahkan semua rasa sakitnya ke dalam tulisan. Namun, undangan itu masih ada di sakunya, terasa berat seperti bongkahan batu.
Saat jam pulang kantor tiba, Firman tidak langsung pulang ke kosannya. Ia mengendarai motornya menuju Tepian Mahakam. Ia duduk di pinggir sungai, menatap aliran air yang tenang namun dalam. Ia mengambil undangan itu, merobeknya menjadi potongan-potongan kecil, dan membiarkannya terbang ditiup angin sore, jatuh ke permukaan air Mahakam yang luas.
Ia melihat potongan-potongan kertas itu hanyut terbawa arus, perlahan-lahan menghilang dari pandangan.
"Selamat tinggal, Sarah," bisiknya pelan.
Namun, saat ia berbalik hendak menuju motornya, ia melihat sebuah mobil yang sangat familiar berhenti di pinggir jalan. Dari dalam mobil itu, keluar seorang pria tinggi dengan pakaian perlente. Pria itu adalah Andre calon suami Sarah.
Wajah Andre tampak tegang. Ia berjalan menuju Firman dengan langkah cepat.
"Firman! Baguslah lo ada di sini. Gue perlu bicara sama lo soal Sarah," ujar Andre dengan nada bicara yang tidak bersahabat.
Firman mengerutkan kening. "Kita nggak punya urusan lagi, Ndre. Simpan saja bicaramu buat hari pernikahanmu."
"Ini soal Sarah, Fir. Dia... dia nggak berhenti menyebut nama lo sejak kami menyebar undangan. Dan jujur, gue nggak bisa nikah sama cewek yang masih menangisi mantannya setiap malam!" bentak Andre.
Firman tertegun. Dunia yang baru saja ia coba rapihkan, kembali diguncang oleh badai yang lebih besar.
Ternyata Sarah belum benar-benar pergi dari hati Firman, dan yang lebih parah, Sarah juga belum selesai dengan perasaannya. Pengakuan Andre mengubah segalanya. Akankah Firman goyah dan mencoba kembali ke pelukan masa lalunya, ataukah dia akan tetap pada prinsip "Teman Level"-nya dengan Yasmin yang baru saja mulai memberikan warna baru dalam hidupnya? Di sisi lain, Yasmin yang melihat kejadian itu dari kejauhan merasa hatinya dicubit oleh rasa cemburu yang tidak seharusnya ada.