Alya adalah gadis muda yang tumbuh dalam hidup penuh luka. Sejak kecil ia terbiasa dibully di sekolah dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang terlilit utang. Puncaknya, Alya hampir dijual untuk bekerja di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah. Di tempat itulah hidupnya mulai berubah ketika ia tanpa sengaja bertemu Zavian—seorang mafia berusia 29 tahun, pemimpin perusahaan besar, sosok dingin dan berwibawa yang menyimpan dendam mendalam akibat kehilangan adik tercintanya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Di Ambang Menyerah"
Malam turun pelan, tapi beban di dada Alya terasa seperti tak pernah benar-benar pergi. Di kamarnya yang sempit, lampu kecil menyala redup. Dindingnya penuh retakan halus—seperti peta luka yang diam-diam mengingatkan bahwa tidak semua kerusakan terlihat jelas. Alya duduk di tepi kasur, memeluk tas sekolah yang masih lembap, bau cairan itu belum sepenuhnya hilang meski sudah ia cuci berkali-kali.
Ia lelah. Bukan lelah fisik yang bisa diobati dengan tidur, melainkan lelah yang membuat napas terasa berat. Setiap kenangan hari-hari terakhir berputar seperti kaset rusak: tawa, bisikan, kata-kata yang menempel dan menolak pergi.
“Aku capek,” gumamnya lagi, kali ini tanpa air mata. Tangisnya seolah sudah kehabisan suara.
Pikirannya melayang pada satu keinginan sederhana: berhenti. Berhenti datang ke sekolah. Berhenti mendengar nama “Alya” diucapkan dengan nada mengejek. Berhenti berusaha menjadi kuat. Menyerah, dalam bayangannya, tampak seperti pintu kecil yang mengarah ke ruangan sunyi—tanpa sorotan, tanpa ejekan.
Namun saat bayangan itu hampir terasa nyaman, ada sesuatu yang mengganjal. Alya menutup mata, lalu membukanya lagi. Ia tahu, dengan cara yang sulit dijelaskan, bahwa menyerah tidak akan membuat suara-suara itu lenyap. Suara-suara itu akan tinggal—di kepala, di dada—bahkan jika ia berhenti melangkah.
Menyerah tidak menyelesaikan apa-apa.
Ia teringat ibunya. Wajah itu muncul samar, seperti foto lama yang warnanya memudar. Ibunya selalu berkata, *“Kalau kamu capek, duduklah. Kalau kamu jatuh, bangun pelan-pelan. Tapi jangan berhenti berjalan.”* Dulu kalimat itu terdengar klise. Sekarang, kalimat itu terasa seperti tali tipis yang menahan Alya agar tidak jatuh terlalu jauh.
Pagi datang terlalu cepat.
Alya hampir tidak tidur. Matanya perih, kepalanya berat. Ia berdiri di depan cermin kecil, merapikan rambutnya dengan tangan gemetar. Seragamnya masih lembap di bagian lengan. Ia ingin berbalik, masuk ke kamar, dan mengunci pintu. Namun kakinya melangkah keluar, satu langkah kecil yang terasa seperti keputusan besar.
Di perjalanan menuju sekolah, perutnya melilit. Setiap suara motor membuatnya terlonjak. Setiap tawa dari kejauhan membuatnya menunduk. Di gerbang sekolah, Alya berhenti sejenak. Tangannya mengepal.
“Aku cuma harus bertahan hari ini,” bisiknya. “Satu hari.”
Di kelas, suasana tidak jauh berbeda. Rani dan Dina ada di sana, dengan senyum-senyum yang Alya kenal betul artinya. Namun hari itu, Alya memilih duduk lebih dekat ke depan. Bukan karena berani—lebih karena ia tidak punya tenaga untuk bersembunyi.
Pelajaran berjalan lambat. Setiap menit terasa seperti jam. Saat guru menulis di papan, Alya menulis juga, meski pikirannya melayang. Ia merasakan getaran kecil di dadanya—takut, ya. Tapi di balik itu, ada sesuatu yang lain. Tekad yang rapuh, tapi nyata.
Jam istirahat tiba. Alya hampir tidak bergerak dari kursinya. Ia membuka botol minum, meneguk air perlahan. Rani lewat, meliriknya sekilas. Tidak ada komentar kali ini, hanya senyum tipis yang membuat bulu kuduk Alya berdiri.
Saat itulah seseorang duduk di kursi kosong di sebelahnya.
“Boleh?” suara itu pelan.
Alya menoleh. Seorang siswi berkacamata dengan rambut dikuncir rapi—**Mira**, teman sekelas yang jarang bicara. Alya mengangguk, terkejut.
Mira membuka bekalnya, lalu ragu sejenak. “Kalau… kamu mau,” katanya, mendorong kotak kecil ke arah Alya, “aku kebanyakan.”
Alya terdiam. Tenggorokannya terasa sempit. “Aku… nggak apa-apa.”
Mira tersenyum kecil. “Aku nggak maksa. Tapi kadang makan bareng bikin hari nggak terlalu berat.”
Kalimat sederhana itu membuat sesuatu di dada Alya menghangat. Ia mengambil sepotong kecil, sangat kecil, sekadar mengiyakan. “Terima kasih,” katanya lirih.
Tidak ada keajaiban besar hari itu. Rani masih tertawa bersama gengnya. Dina masih melempar pandangan sinis. Tapi ada satu hal yang berbeda: Alya tidak sepenuhnya sendirian.
Sepulang sekolah, Alya dipanggil ke ruang BK. Jantungnya berdegup kencang. Ia takut—takut disalahkan, takut dianggap berlebihan. Namun saat duduk di depan **Bu Sari**, konselor sekolah, Alya mendengar sesuatu yang jarang ia dengar akhir-akhir ini.
“Alya,” kata Bu Sari lembut, “kamu kelihatan sangat lelah.”
Itu saja. Bukan tuduhan. Bukan ceramah.
Air mata Alya jatuh tanpa ia minta. Ia bercerita terbata-bata—tentang kertas-kertas, tas basah, sepatu di selokan, kata-kata yang menusuk. Ia tidak menceritakan semuanya, tapi cukup untuk membuat dadanya terasa lebih ringan.
“Kamu tidak salah,” Bu Sari berkata tegas. “Dan kamu tidak berlebihan.”
Kalimat itu seperti jangkar.
Bu Sari menjelaskan langkah-langkah kecil—mencatat kejadian, mencari saksi, ruang aman jika Alya butuh istirahat. Tidak ada janji bahwa semuanya akan langsung membaik. Tapi ada rencana. Ada arah.
Di rumah, Alya duduk di kamar lagi. Kali ini, ia membuka buku tulis kosong. Ia menulis tanggal. Lalu ia menulis satu kalimat:
*Hari ini aku hampir menyerah, tapi aku memilih bertahan.*
Ia menatap tulisan itu lama. Menyerah masih terasa dekat—seperti bayangan yang bisa muncul kapan saja. Tapi Alya mulai paham sesuatu: menyerah bukan satu-satunya pilihan yang ia miliki. Bertahan tidak berarti menang hari ini. Bertahan berarti memberi diri sendiri kesempatan untuk hari esok.
Malam itu, ia tidak bermimpi buruk. Ia juga tidak bermimpi indah. Ia hanya tidur.
Hari-hari berikutnya berjalan naik turun. Ada hari ketika ejekan berkurang. Ada hari ketika kembali datang. Alya belajar bernapas saat dadanya sesak. Ia belajar berkata, “Tidak,” meski suaranya gemetar. Ia belajar bahwa meminta bantuan bukan tanda lemah.
Dan setiap kali keinginan untuk menyerah muncul, Alya mengingat satu hal sederhana: menyerah tidak menyelesaikan masalah. Bertahan mungkin tidak menghapus luka, tapi memberi waktu agar luka tidak menentukan siapa dirinya.
Di balik semua itu, Alya mulai melihat dirinya sendiri—bukan sebagai target, bukan sebagai cerita sedih orang lain, melainkan sebagai seseorang yang masih berdiri meski angin kencang.
Di tengah malam, Alya berbalik menghadap dinding, suaranya hampir tak terdengar.
“Kalau aku berhenti sekarang… apa aku bakal lebih tenang?” tanyanya pada diri sendiri.
Hening menjawab.
Ia menghela napas, lalu berbisik lagi, lebih tegas,
“Enggak. Aku cuma bakal lari. Dan lukanya ikut.”
Alya menutup mata, air mata mengalir pelan.
“Aku takut,” akunya jujur. “Aku capek. Aku pengin semuanya selesai.”
Ia menggenggam selimut.
“Tapi kalau aku bertahan satu hari lagi… cuma satu hari… itu bukan kalah, kan?”
Dadanya naik turun.
“Ya. Aku masih di sini,” katanya lirih, seolah meyakinkan dirinya sendiri.
“Dan besok… aku coba lagi.”
Ia belum sembuh. Ia belum aman sepenuhnya. Tapi ia berjalan. Ia bertahan setidaknya untuk hari ini
Dan untuk saat ini, itu sudah cukup.