NovelToon NovelToon
Sumpah Raja Duri

Sumpah Raja Duri

Status: tamat
Genre:Fantasi Isekai / Mengubah sejarah / Fantasi Wanita / Peramal / Cinta Istana/Kuno / Tamat
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: tanty rahayu bahari

Elara, seorang ahli herbal desa dengan sihir kehidupan yang sederhana, tidak pernah menyangka takdirnya akan berakhir di Shadowfall—kerajaan kelabu yang dipimpin oleh raja monster. Sebagai "upeti" terakhir, Elara memiliki satu tugas mustahil: menyembuhkan Raja Kaelen dalam waktu satu bulan, atau mati di tangan sang raja sendiri.
​Kaelen bukan sekadar raja yang dingin; ia adalah tawanan dari kutukan yang perlahan mengubah tubuhnya menjadi batu obsidian dan duri mematikan. Ia telah menutup hatinya, yakin bahwa sentuhannya hanya membawa kematian. Namun, kehadiran Elara yang keras kepala dan penuh cahaya mulai meretakkan dinding pertahanan Kaelen, mengungkap sisi heroik di balik wujud monsternya.


Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3: Pertemuan Pertama

​Lonceng menara berdentang dua belas kali. Tengah malam.

​Elara masih terjaga, duduk di tepi jendela batu, menatap bulan yang tertutup selimut awan tipis. Di luar sana, angin menderu-deru seperti lolongan serigala, menghantam dinding kastil. Namun, bukan suara angin yang membuatnya tidak bisa tidur.

​Itu adalah kesunyian di dalam kamar ini. Kesunyian yang terasa salah. Tidak ada suara jangkrik, tidak ada suara burung malam. Hanya keheningan mutlak dari sebuah makam.

​Perutnya berbunyi pelan. Nampan makanan yang diantar pelayan tadi sore masih utuh di atas meja—daging panggang yang terlihat lezat namun berbau aneh, seperti daging yang sudah terlalu lama disimpan. Elara tidak menyentuhnya. Nenek Hestia selalu mengajarkan: Jangan makan apa pun di rumah orang asing yang menginginkan kematianmu.

​Dia mengeluarkan sepotong biskuit keras dari saku gaunnya—bekal darurat dari desa—dan mengunyahnya pelan. Rasanya hambar, tapi setidaknya aman.

​Matanya kembali tertuju pada pintu kamar. Terkunci dari luar. Nyonya Thorne bilang dia akan mati jika keluar. Tapi Elara tahu, dia juga akan mati perlahan jika tetap diam di dalam sini.

​Elara bangkit dan mendekati pintu. Dia mengeluarkan pisau kecil pemotong akarnya. Bilahnya tipis dan melengkung, terbuat dari baja murahan, tapi cukup kuat. Dia berlutut, mengintip lubang kunci. Itu kunci model lama, besar dan berkarat.

​"Maafkan aku, Nyonya Thorne," bisik Elara. "Tapi aku tidak pandai menuruti perintah."

​Dia menyelipkan ujung pisau ke dalam lubang kunci, memutarnya perlahan, merasakan mekanisme di dalamnya. Klik. Bunyi kecil terdengar, lalu diikuti bunyi klak yang lebih keras saat grendel besi terangkat.

​Pintu terbuka sedikit, menciptakan celah gelap.

​Jantung Elara berdegup kencang di kerongkongannya. Dia menyimpan pisaunya kembali di balik sabuk gaun, menarik napas panjang, dan melangkah keluar.

​Lorong istana gelap gulita, hanya diterangi oleh obor api biru yang berjarak sepuluh meter satu sama lain. Cahaya itu membuat bayangan pilar-pilar batu terlihat seperti monster yang sedang membungkuk.

​Elara tidak tahu mau ke mana. Dia hanya mengikuti instingnya—atau lebih tepatnya, mengikuti hidungnya. Sebagai ahli herbal, indra penciumannya sangat tajam terhadap tanaman. Dan di tengah bau debu dan batu dingin ini, dia mencium aroma yang sangat tipis.

​Aroma tanah basah. Aroma Nightshade. Aroma mawar.

​Baunya berasal dari arah Sayap Barat. Wilayah terlarang.

​Akal sehatnya berteriak untuk kembali ke kamar, tapi kakinya terus melangkah. Dia menyelinap seperti kucing, menempelkan punggungnya ke dinding setiap kali mendengar suara aneh. Untungnya, lorong-lorong itu kosong. Sepertinya para pelayan hantu itu benar-benar menghilang saat malam tiba.

​Setelah menuruni tangga berputar yang pusing dan melewati koridor panjang yang dipenuhi baju zirah kosong, Elara sampai di sebuah pintu kaca raksasa yang setengah terbuka.

​Aroma tumbuhan itu semakin kuat di sini.

​Elara melangkah masuk.

​Dia ternganga. Dia berada di sebuah taman dalam ruangan (atrium) yang sangat luas. Atapnya adalah kubah kaca tinggi yang memperlihatkan langit malam. Di bawah sinar bulan yang perak, ribuan bunga tumbuh liar.

​Tapi ini bukan taman biasa. Bunganya berwarna hitam, ungu tua, dan merah darah. Tanaman rambat berduri melilit pilar-pilar marmer, dan jamur-jamur bercahaya biru tumbuh di sela-sela akar pohon tua yang bengkok.

​Itu indah, dengan cara yang mengerikan dan melankolis.

​Elara berjalan menyusuri jalan setapak batu, jarinya menyentuh kelopak bunga mawar hitam yang sehalus beludru. Dia begitu terpesona hingga lupa di mana dia berada. Bagi seorang herbalis, tempat ini adalah surga sekaligus neraka. Banyak tanaman di sini adalah jenis beracun yang mematikan, tapi juga bahan obat yang sangat langka.

​Krak.

​Kakinya menginjak ranting kering. Suara patahannya terdengar sekeras letusan pistol di keheningan malam.

​Elara membeku.

​Dari balik rimbunnya semak Bloodroot, sebuah bayangan bergerak.

​"Siapa di sana?"

​Suara itu rendah, dalam, dan bergetar seperti geraman binatang buas.

​Elara mundur selangkah, jantungnya serasa mau meledak. Dia berbalik hendak lari, tapi akar tanaman di tanah seolah hidup dan menjerat pergelangan kakinya. Dia tersandung dan jatuh keras ke tanah.

​"Akh!"

​Sebelum dia sempat bangkit, sosok itu sudah ada di hadapannya.

​Elara mendongak, dan napasnya tercekat di tenggorokan.

​Di bawah sorotan sinar bulan, berdiri seorang pria. Atau... sesuatu yang dulunya pria.

​Dia sangat tinggi, bertelanjang dada. Tubuhnya kekar dan berotot, tapi separuh tubuh bagian kanannya telah berubah menjadi mimpi buruk. Kulitnya bukan kulit manusia, melainkan lapisan batu obsidian hitam yang retak-retak. Dari retakan itu, cahaya merah redup berpendar seperti magma yang mengalir di bawah permukaan bumi.

​Duri-duri tajam—seperti duri mawar tapi terbuat dari kristal hitam—tumbuh menembus bahu dan lengan kanannya. Tangan kanannya bukan lagi tangan, melainkan cakar batu yang mengerikan.

​Separuh wajah kirinya masih manusia—sangat tampan dengan rahang tegas, hidung mancung, dan mata berwarna abu-abu badai. Tapi separuh wajah kanannya telah termakan kutukan, matanya hitam legam tanpa bagian putih, dengan pupil merah menyala.

​Raja Kaelen.

​"Kau..." Kaelen menatapnya dengan campuran kejutan dan kemurkaan. Suaranya terdengar ganda, satu suara manusia, satu lagi suara parau seperti batu yang bergesekan. "Salah satu domba kurban."

​Elara mencoba mundur, menggeser tubuhnya di atas tanah berbatu, tapi punggungnya membentur pot bunga besar. Dia terpojok.

​"Ma-maafkan saya, Yang Mulia," suara Elara gemetar, tapi dia memaksakan diri untuk menatap mata Raja itu—melanggar aturan ketiga Nyonya Thorne. "Saya... saya tersesat."

​"Tersesat?" Kaelen tertawa, suara yang kering dan tanpa humor. Dia melangkah maju, bayangannya menelan tubuh kecil Elara. "Kau berjalan melewati tiga koridor penjaga, menuruni dua tangga menara, dan membuka pintu besi Sayap Barat. Itu bukan tersesat. Itu menyusup."

​Kaelen berlutut. Gerakannya kaku dan terlihat menyakitkan. Dia mencengkeram dagu Elara dengan tangan kirinya yang masih manusia. Kulitnya dingin sekali, seperti es.

​"Kau punya nyali, gadis kecil," desisnya. "Atau kau hanya bodoh. Apa kau tidak tahu apa yang kulakukan pada penyusup?"

​Elara merasakan air mata panas mendesak di sudut matanya, tapi dia menahannya. Dia tidak akan menangis di depan monster ini. Dia ingat pisau di balik sabuknya. Tangannya bergerak perlahan ke arah pinggangnya.

​Mata merah Kaelen melirik ke arah tangan Elara.

​"Jangan," katanya datar. "Jika kau mencabut pisau mainan itu, duri di punggungku akan menembus lehermu sebelum kau sempat berkedip."

​Elara melepaskan gagang pisaunya. Tubuhnya gemetar hebat sekarang. Jarak mereka begitu dekat hingga Elara bisa merasakan hawa panas yang memancar dari sisi tubuh Kaelen yang membatu. Baunya seperti belerang dan ozon saat badai petir.

​"Kenapa kau di sini?" tanya Kaelen lagi, cengkeramannya di dagu Elara mengeras. "Jawab dengan jujur, atau kulempar kau ke Void di luar dinding."

​"Saya... saya mencari tanaman," jawab Elara jujur, suaranya serak.

​Alis Kaelen terangkat sebelah. "Tanaman?"

​"Saya tidak bisa tidur," Elara menjelaskan cepat, kata-kata meluncur dari mulutnya karena panik. "Saya butuh Valerian atau Chamomile. Saya mencium baunya dari lorong. Saya... saya hanya ingin tidur."

​Hening sejenak. Kaelen menatapnya seolah Elara adalah teka-teki yang aneh. Sebagian besar wanita yang melihatnya akan menjerit, pingsan, atau memohon ampun. Tidak ada yang pernah beralasan mencari teh tidur.

​Perlahan, Kaelen melepaskan dagu Elara. Dia berdiri dan berbalik, memunggungi Elara.

​"Pergilah," katanya dingin.

​Elara tertegun. "Apa?"

​"Pergi. Kembali ke kandangmu sebelum aku berubah pikiran dan mematahkan lehermu." Kaelen berjalan menuju sesemakan mawar hitam, seolah Elara tidak lagi menarik baginya. "Dan jangan pernah kembali ke sini. Sentuhanku membusukkan segala yang hidup. Kau tidak ingin tahu rasanya."

​Elara bangkit berdiri, membersihkan gaunnya yang kotor. Kakinya masih gemetar, tapi ada dorongan aneh dalam dirinya. Rasa ingin tahu, atau mungkin rasa iba melihat punggung pria itu yang dipenuhi duri tajam.

​"Yang Mulia," panggil Elara pelan.

​Kaelen berhenti, bahunya menegang. "Apa kau punya keinginan mati?"

​"Tangan Anda..." Elara menunjuk tangan kanan Kaelen yang berbentuk cakar batu. Di sela-sela jari batunya, ada getah hitam yang menetes. "Itu berdarah. Atau... apa pun cairan itu."

​Kaelen melihat tangannya sendiri. Dia baru saja tanpa sadar meremas pagar batu saat melihat Elara tadi, membuat retakan di kulit batunya semakin lebar.

​"Itu bukan urusanmu."

​"Saya punya salep di kamar," kata Elara. "Terbuat dari getah Aloe dan madu. Itu bisa meredakan rasa panasnya."

​Kaelen berbalik perlahan. Wajah manusianya menunjukkan ekspresi tidak percaya. Wajah monsternya tetap kaku dan mengerikan.

​"Kau menawariku obat?" Kaelen melangkah mendekat lagi, kali ini lebih cepat. Dia berhenti tepat di depan hidung Elara, menunduk menatapnya dengan intensitas yang membuat lutut Elara lemas. "Kau, gadis desa kecil dengan sihir kehidupan yang nyaris tak terasa, ingin mengobati kutukan Dewa Kematian?"

​"Saya hanya menawarkan bantuan untuk luka," balas Elara, suaranya kali ini lebih tegas. Dia mengangkat dagunya, menantang tatapan sang Raja. "Sakit adalah sakit. Tidak peduli apakah Anda Raja atau pengemis."best

​Mata abu-abu Kaelen menatap mata cokelat Elara yang jernih. Untuk sesaat, waktu terasa berhenti. Angin di luar menderu, tapi di dalam taman kaca itu, hanya ada napas mereka berdua.

​Kaelen mendengus kasar, memutus kontak mata.

​"Simpan rasa kasihanmu. Aku tidak butuh," gerutunya. Dia menunjuk ke arah pintu dengan cakar batunya. "Keluar. Jika aku melihatmu di sini lagi, aku pastikan kau akan menjadi salah satu patung di halaman."

​Tanpa menunggu jawaban, Kaelen mengibaskan tangannya. Angin kencang berhembus entah dari mana, mendorong tubuh Elara mundur hingga ke pintu keluar. Pintu besi itu terbanting menutup di depan wajahnya dengan suara blam yang keras.

​Elara berdiri sendirian di lorong gelap, napasnya terengah-engah. Jantungnya berpacu liar.

​Dia masih hidup.

​Dan anehnya, meskipun dia baru saja diancam akan dibunuh, satu hal yang paling diingatnya bukanlah cakar mengerikan atau mata merah menyala itu.

​Yang diingatnya adalah tatapan mata abu-abu di sisi wajah manusianya. Tatapan yang bukan berisi kemarahan, melainkan kesepian yang begitu dalam dan menyakitkan hingga membuat dada Elara sesak.

​Elara menyentuh dadanya sendiri, merasakan detak jantungnya.

"Sumpah Raja Duri," bisiknya pelan. "Dia bukan monster. Dia... dia kesakitan."

​Di balik pintu, di dalam taman kaca, Kaelen menatap pintu yang baru saja tertutup. Dia mengangkat tangan kanannya yang mengerikan, menatap tetesan cairan hitam yang jatuh ke lantai.

​Di tempat cairan itu jatuh, rumput kecil langsung layu dan mati.

​Tapi di tempat gadis itu tadi jatuh terduduk...

Kaelen menyipitkan mata.

Di sela-sela lantai batu, di tempat tangan Elara menyentuh tanah saat dia terjatuh, ada tunas kecil berwarna hijau muda yang baru saja tumbuh. Tunas kecil yang berani hidup di tengah kematian.

​Kaelen terdiam lama.

"Menarik," bisiknya pada kegelapan.

BERSAMBUNG....

Terima kasih telah membaca💞

Jangan lupa bantu like komen dan share❣️

1
Alona Luna
wahhh akhirnya happy ending ☺️
Alona Luna: wahhhh ok. baik
total 2 replies
Alona Luna
semangat next kak☺️
Alona Luna: sama-sama kak.☺️
total 2 replies
Alona Luna
next kak.. makin seru ceritanya
Ara putri
semangat kak, jgn lupa mampir juga keceritaku PENJELAJAH WAKTU HIDUP DIZAMAN AJAIB
tanty rahayu: semangat juga ya ka.... wah kayanya seru tuh 😍nanti aku mampir baca ya
total 1 replies
Alona Luna
ceritanya bagus kak. next
Alona Luna: aku tunggu kak☺️
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!