"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”
Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.
Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.
Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”
Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.
Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3 PERTEMUAN PERTAMA
Malam sudah sepenuhnya turun ketika Ava dan Martin keluar dari gedung terakhir yang mereka kunjungi. Lampu-lampu kota berpendar seperti bintang yang turun ke bumi, memantul di permukaan jalan yang berkilau tipis karena embun malam. Udara terasa lebih sejuk, menenangkan tubuh yang sejak siang dipenuhi aktivitas.
Mereka baru saja selesai meninjau dua lokasi. Keduanya mewah, luas, dan sama-sama layak menjadi tempat hari paling bersejarah dalam hidup mereka. Namun keputusan dibuat tanpa banyak ragu—Ava jatuh cinta pada gedung kedua. Tepatnya pada Chandelier raksasa yang menggantung di tengah aula, memancarkan cahaya hangat yang membuat seluruh ruangan terasa seperti adegan film romantis. Martin, yang sejak awal ingin Ava merasa nyaman dan bahagia dengan setiap pilihan, langsung menyetujuinya.
Ia bahkan menyelesaikan administrasi dan pembayaran pada malam itu juga, tanpa menunda. Ketika Martin menandatangani dokumen terakhir, Ava melihatnya dengan perasaan yang sulit dijelaskan—campuran kagum, haru, dan cinta yang menguat setiap hari.
Kini, berdiri di area parkir yang diterangi lampu temaram, mereka menyadari betapa cepat waktu berlalu. Gedung sudah dipilih, tema acara diputuskan, menu makanan telah disepakati, dan bahkan gaun Ava serta jas Martin sudah siap. Semua yang selama ini hanya rencana, kini tinggal menunggu beberapa hari lagi untuk menjadi nyata.
Ava berdiri di samping mobil sambil memeluk tasnya, menatap Martin yang menghampirinya untuk membukakan pintu. Cahaya lampu parkir jatuh lembut di wajahnya, menyingkapkan senyum kecil yang penuh rasa terharu.
“Aku tidak menyangka pernikahan kita tinggal beberapa hari lagi,” ucap Ava pelan, seolah kata-kata itu sendiri terlalu besar untuk dikeluarkan.
Martin berhenti tepat di depannya. “Apa kau bahagia?” tanyanya dengan suara rendah, seperti takut jawabannya akan berubah oleh angin malam.
Ava tersenyum lebih lebar sambil menatap langsung ke matanya. “Apa ada alasan aku tidak bahagia?” balasnya. Dan memang itulah yang ia rasakan—kebahagiaan sederhana namun besar, yang datang dari mencintai seseorang yang memperlakukannya sebaik Martin.
Tanpa memberi Martin waktu untuk membalas, Ava berjinjit dan menempelkan bibirnya pada bibir pria itu. Ciuman singkat, lembut, namun sarat perasaan. “Aku selalu bahagia bersamamu,” ucapnya setelah menjauh sedikit, matanya masih berkaca-kaca dengan cahaya lembut malam.
Martin menahan wajahnya dalam kedua tangan, lalu menarik pinggang Ava agar lebih dekat. Nafas mereka bertemu saat ia menunduk, mencium bibir mungil berwarna merah jambu itu dengan perlahan namun penuh kehangatan. Ciuman itu lebih lama, lebih dalam—seolah waktu bergerak lambat hanya untuk memberi ruang bagi keduanya.
Ava bersandar pada bodi mobil, merasakan dinginnya besi di belakang punggungnya, kontras dengan hangatnya tubuh Martin yang menempel di hadapannya. Jari-jari Martin menyapu pelan pinggang dan punggung Ava, sementara bibirnya tetap menyatu dengan bibir gadis itu, lembut namun intens, seperti ucapan tanpa kata bahwa ia mencintai Ava lebih dari yang bisa ia ungkapkan.
Ciuman itu terasa seperti jeda dunia—sejenak, hanya mereka berdua yang ada. Malam menjadi saksi bisu kedekatan mereka, menutup hari yang panjang dengan perasaan yang tak tergantikan.
Cahaya lampu taman menyambut mereka ketika mobil Martin berhenti di halaman rumah keluarga Alder. Lampu-lampu itu memantul lembut di permukaan daun dan bebatuan taman, memberi kesan hangat pada malam yang mulai menipis udaranya. Martin menarik rem tangan, kemudian keluar dan menghampiri Ava yang sudah berdiri menunggunya di sisi mobil. Wajah Ava diterangi cahaya emas lampu taman, menambah kesan lembut yang membuat Martin sempat berhenti sejenak hanya untuk memandangnya.
Mereka masuk ke dalam rumah bersama, langkahnya seirama, rona bahagia masih jelas terpahat di wajah keduanya setelah menghabiskan waktu meninjau gedung pernikahan. Namun sambutan yang datang tidaklah lembut seperti cahaya lampu taman—Esther sudah berdiri di ambang pintu. Dengan tatapan sinis yang khas, ia menyilangkan tangan di dada.
“Kenapa lama sekali, menjemput kakak iparku?!” ucap Esther sambil langsung menarik Ava menjauh dari Martin.
Martin hanya menggeleng, pasrah namun juga diam-diam merasa hangat di hati. Esther memang suka menggoda, tetapi ia tahu adiknya itu sangat menyayangi Ava. Rumah yang sebelumnya hanya ramai oleh perdebatan kecil kini terasa lebih hidup setelah Ava datang dalam kehidupan mereka.
Martin berjalan menuju ruang makan. Ia menarik kursi di sebelah Ava, memberi isyarat halus agar gadis itu duduk nyaman. Tapi sesuatu terasa berbeda.
“Arash belum pulang?” tanya Martin, memandang kursi kosong di sudut meja.
“Arash ada di atas. Mungkin sebentar lagi turun,” jawab Margaret sambil menuang air.
Di lantai atas, suasana jauh berbeda. Kamar Arash hanya diterangi cahaya biru dingin dari layar komputer yang menerangi sebagian wajahnya. Rambut hitamnya jatuh menutupi dahi, hampir menyentuh alis. Layar hitam dengan garis-garis hijau yang bergerak cepat memantul di matanya—kode yang hanya dimengertinya, berlari bagai data yang hidup. Jari-jarinya menari cekatan di atas keyboard, memenuhi ruangan sunyi dengan bunyi klik yang ritmis.
Ketukan pintu memecah kesunyian. “Arash, kenapa masih di sini?” suara Margaret terdengar setelah pintu terbuka. Ia masuk tanpa menunggu izin, mendekati meja putranya. “Semua orang sudah berkumpul dan menunggumu.”
“Arash sedang sibuk, Ma,” jawab Arash tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.
“Kau bisa melanjutkan ini nanti.” Tanpa menunggu protes, Margaret mencabut kabel komputer. Layar langsung mati.
“Mama…” Arash mendengus frustasi. Suara kesalnya tertahan karena ia tahu, satu-satunya orang yang tidak bisa ia bentak adalah ibunya sendiri.
Margaret hanya menghela napas, menatap Arash dengan sentuhan tegas tapi penuh kasih. Akhirnya Arash berdiri, mengalah meski wajahnya tampak tidak senang.
“Begitu lebih baik. Hanya makan malam, kenapa susah sekali,” gumamnya sambil menuju pintu.
Langkah kaki mereka terdengar dari tangga, membuat orang-orang di ruang tamu menoleh. Ava ikut melihat ke arah suara itu—dan pandangannya terpaku pada sosok pria yang berjalan di belakang Margaret.
Arash menuruninya pelan. Rambut hitam lurus sedikit menutupi matanya. Wajahnya kaku, datar tanpa ekspresi. Penampilannya sederhana: satu set pakaian abu-abu dengan lengan digulung sampai siku. Simpel, tetapi rapi dan justru tampak pas dengan aura dingin yang ia bawa.
Margaret duduk di samping suaminya, sementara Arash mengambil tempat di sisi ibunya. Esther, seperti biasa lincah, pindah duduk ke samping Ava.
“Arash, ini Ava, calon kakak iparmu,” ucap Agam.
Ava berdiri, ramah. Ia mengulurkan tangan sambil tersenyum. “Ava, salam kenal Arash.”
Arash hanya memandang tangan itu. Hening beberapa detik. Semua orang menahan napas, siap menegurnya—sampai akhirnya ia menjawab pendek,
“Arash,” lalu menyambut uluran tangan itu sebelum cepat-cepat duduk kembali.
Makan malam dimulai. Seperti biasa, keluarga Alder penuh percakapan hangat. Mereka membahas persiapan pernikahan Ava dan Martin, memuji betapa cepat semuanya selesai, dan sesekali tertawa.
“Bagus kalau semuanya sudah beres,” ucap Agam sambil menepuk bahu Martin dengan bangga.
“Wahhh, Esther gak sabar lihat Kak Ava pakai gaun pengantin! Apalagi ini buatan sendiri, pasti cantik banget!” seru Esther heboh.
Ava tersenyum… namun matanya mencuri pandang ke arah Arash. Pria itu makan tanpa suara. Tidak tertawa ketika yang lain tertawa. Tidak menanggapi percakapan. Seolah ia berada di ruangan yang sama, tetapi bukan bagian dari energi keluarga itu.
Ada sesuatu yang berbeda. Darah lain, pola lain… yang membuat Arash tampak seperti satu-satunya bayangan yang tidak tersentuh terang di tengah hangatnya ruangan yang dipenuhi cahaya dan kehangatan.
Hingga tak terasa kehangatan malam itu membawa mereka pada waktu yang bergerak begitu cepat hingga Ava harus pamit karena langit sudah menggelap sempurna. Udara dingin dari luar rumah mulai merayap masuk melalui celah-celah pintu, membuat suasana rumah menjadi lebih sunyi.
“Kakak… Esther ikut ya?” ujar gadis itu sambil menarik sedikit ujung gaun Ava, memohon dengan mata berbinar.
“Tidak usah,” tolak Martin lembut. Tangannya terulur untuk mengacak rambut adiknya itu, membuatnya merengut. “Sekarang sudah larut malam, sebaiknya kau tidur.”
Ava tersenyum kecil lalu bergantian memeluk Margaret dan Agam. Pelukan mereka hangat—seolah seorang keluarga yang sudah lama ia miliki. Terakhir, ia memeluk Esther yang mendorong bibirnya maju, masih kesal karena tidak diberi izin ikut.
Sementara itu, Arash sudah menghilang begitu makan malam berakhir. Tak ada yang tahu ia pergi kemana—begitu saja menghilang dari ruang keluarga seakan keberadaannya hanya ilusi singkat.
“Bye…” ucap Esther sambil melambai malas.
“Hati-hati di jalan, sayang,” ujar Margaret.
Ava dan Martin mengangguk, kemudian melangkah keluar. Angin malam menyergap kulit Ava begitu pintu tertutup di belakang mereka. Udara dingin itu menusuk, berbeda dari dingin biasanya—ada rasa lembab yang menyeret dari arah taman.
“Kau kedinginan?” tanya Martin. Rangkulan di bahu Ava mengerat, seolah ingin melindunginya dari angin malam yang nakal.
“Malam ini lebih dingin dari biasanya,” ujar Ava pelan sambil merapatkan lengannya ke tubuh. “Padahal musim dingin masih jauh.”
“Mungkin karena pakaianmu tipis,” sahut Martin dengan senyum kecil.
Mereka berjalan perlahan menuju mobil yang terparkir di halaman. Lampu taman memantulkan cahaya hangat ke wajah Ava, membuat citranya tampak lembut di bawah malam. Namun langkah Martin berhenti ketika ponsel di sakunya bergetar. Dentingnya memecah keheningan.
Martin meraih ponsel itu. Cahaya layar memantul pada wajahnya, dan Ava dapat melihat bagaimana ekspresinya berubah—gugup, ragu, seperti sedang menimbang sesuatu.
Tapi Martin mematikan panggilan itu.
“Siapa? Kenapa dimatikan?” tanya Ava. Suaranya tenang, namun matanya tak lepas dari raut wajah kekasihnya.
“Temanku,” jawab Martin singkat. “Tidak penting.”
“Oh…”
Namun ponsel itu kembali berdering. Nada dering yang sama. Dan Martin melakukan hal yang sama—menolak panggilan tersebut tanpa memberi penjelasan.
Ava tak sempat bertanya karena Martin lebih dulu berkata, “Ava, kau tidak masalah mengemudi? Aku harus membalas pesan ini segera.”
“Tidak masalah,” jawab Ava. Ia meraih kunci yang disodorkan Martin. “Kau duduk saja di samping.”
Mereka pun bertukar posisi. Ava masuk ke kursi pengemudi dan Martin duduk di sampingnya, segera tenggelam dalam layar ponselnya. Jari-jarinya bergerak cepat, wajahnya fokus seperti tengah memadamkan api yang tak boleh dibiarkan menyebar.
Dari lantai atas rumah, sepasang mata memperhatikan melalui tirai yang sedikit terbuka. Cahaya lampu luar memantul di iris gelap itu.
Arash berdiri tegak, tubuhnya diselimuti bayangan kamar yang hanya diterangi remang cahaya meja. Tatapannya mengikuti Ava yang kini duduk di kursi pengemudi, lalu berpindah pada Martin yang tampak sibuk dengan ponsel.
Matanya menyipit sedikit. Ada sesuatu tentang wanita itu. Sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan dengan kata-kata. Entah itu rasa penasaran atau ketidaksukaan yang mulai tumbuh perlahan—ia sendiri tidak tahu.
Ketika di meja makan semua orang memuji Ava, memuja keindahan dan kebaikannya, Arash hanya bisa menahan diri untuk tidak mendengus. Menurutnya, itu semua hanyalah omong kosong. Wanita seperti Ava… dalam pikirannya, pasti manja, merepotkan, dan terlalu lembut untuk dunia yang keras.
Apalagi ia tahu betul bagaimana kakaknya—terlalu baik, terlalu mudah lembut pada siapa pun. Mungkin itu sebabnya Ava menjadi kekasih Martin. Tapi apa istimewanya? Mengapa mama dan papanya begitu menyanjungnya? Dan bagaimana Esther bisa begitu dekat dengannya seolah mereka sudah bersahabat bertahun-tahun?
Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalanya.
Arash menutup tirai perlahan, menyembunyikan wajahnya kembali ke dalam gelapnya kamar, tepat ketika mobil itu mulai melaju meninggalkan gerbang dan menghilang dalam pekatnya malam.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
📌 yang udah mampir makasih yaa, semoga suka dengan ceritaaa ini🤗 jangan lupa like dan dukung novel ini yaaa❤️