 
                            Leonardo, seorang pria berusia 30 tahun pengusaha kaya raya dengan aura gelap. Dari luar kehidupan nya tampak sempurna.
Namun siapa yang tahu kalau pernikahannya penuh kehampaan, bahkan Aurelia. Sang istri menyuruhnya untuk menikah lagi, karna Aurelia tidak akan pernah bisa memberi apa yang Leo inginkan dan dia tidak akan pernah bisa membahagiakan suaminya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nura_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 3. kepulauan Aurelia
Suara deru mesin mobil mewah itu akhirnya memasuki halaman luas kediaman keluarga Wirjawan. Adrian yang sejak tadi tampak santai di balik kemudi, sesekali melirik ke arah penumpang yang duduk anggun di kursi belakang. Sosok itu bukan orang lain, melainkan Aurelia Santika Wirjawan, istri sah Leonardo. Aura kecantikannya seolah memancarkan wibawa yang membuat semua mata tak bisa berpaling.
Perjalanan dari bandara hingga ke kawasan elite Menteng memakan waktu hampir satu jam. Selama perjalanan, Adrian beberapa kali mendengar nada suara lembut Aurelia saat memberi arahan mengenai koper-kopernya yang tak terhitung jumlahnya. Adrian tersenyum samar dalam hati, tahu betul kalau koper itu bukan sembarangan. Setiap koper menyimpan koleksi pakaian, sepatu, parfum, hingga tas-tas keluaran rumah mode internasional. Aurelia baru saja kembali dari liburan panjangnya di Prancis, negeri yang terkenal dengan dunia fashion, dan tentu saja ia tidak pulang dengan tangan kosong.
Begitu roda mobil melintasi gerbang besar yang dijaga oleh dua security pribadi, para pelayan rumah segera bergegas mendekat. Halaman luas yang dikelilingi pepohonan rapi itu seketika ramai dengan langkah kaki para pekerja rumah tangga. Seperti sudah terbiasa, mereka langsung mengatur barisan untuk menyambut kedatangan nyonya rumah.
Mobil berhenti tepat di depan pintu utama. Adrian segera turun, lalu membuka pintu belakang. Dari dalam, Aurelia keluar dengan anggun. Gaun putih krem selutut yang ia kenakan tampak sederhana, tetapi jelas terpancar bahwa itu bukan gaun biasa, melainkan rancangan desainer ternama. Sepasang kacamata hitam masih bertengger di matanya, sementara sebuah scarf sutra bermotif monogram melilit leher jenjangnya.
“Selamat datang kembali, Nyonya Aurelia,” ucap Adrian dengan nada formal, menundukkan sedikit kepalanya.
Aurelia tersenyum tipis, mengangguk kecil, lalu melangkah mantap menaiki tangga marmer menuju pintu utama. Di belakangnya, koper-koper branded mulai diturunkan satu per satu dari bagasi. Jumlahnya cukup banyak hingga membuat beberapa pelayan harus saling bergantian membawanya.
Di antara barisan pelayan, tampak seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun yang berbeda dari yang lain. Penampilannya rapi, rambutnya tersanggul sederhana, dan cara ia membawa tas pribadi milik Aurelia menunjukkan profesionalitas. Dialah Maya, asisten pribadi Aurelia. Maya sudah bertahun-tahun mendampingi Aurelia, bukan hanya sebagai pembantu, melainkan tangan kanan yang mengetahui hampir seluruh detail kehidupan nyonyanya.
“Maya, pastikan koper biru yang paling besar hati-hati. Isinya koleksi khusus musim ini,” ujar Aurelia tanpa menoleh.
“Baik, Nyonya,” jawab Maya cepat, mengisyaratkan pada pelayan lain agar koper itu diperlakukan lebih lembut dari biasanya.
Di beranda rumah, aroma bunga segar dari vas-vas kristal menyambut. Interior rumah itu sendiri sudah menjadi simbol kemewahan—pilar-pilar putih bergaya klasik, pintu kayu jati dengan ukiran detail, serta chandelier kristal yang menggantung megah tepat di ruang masuk.
Leonardo, sang tuan rumah, belum terlihat di sana. Biasanya ia tidak suka menyambut dengan ramai-ramai, lebih memilih menjaga ketenangannya di ruang kerja atau balkon favoritnya. Namun, Aurelia sudah terbiasa dengan sifat dingin suaminya. Ia tahu, suaminya bukan tipe lelaki yang akan berlari menyambut istri dengan penuh drama.
“Selamat datang kembali, Nyonya,” sapa salah satu maid lain, Sinta, yang bertugas mengatur rumah bagian dalam.
Aurelia hanya mengangguk tipis. Matanya menelusuri koper yang terus dibawa masuk. Setiap pelayan bekerja dengan cepat, tanpa suara berlebihan, seolah sudah terlatih menghadapi kebiasaan nyonya mereka yang selalu pulang dengan banyak barang dari luar negeri.
Maya, yang setia berjalan di belakang Aurelia, dengan cekatan memberi instruksi pada pelayan lain: koper Louis Vuitton ke kamar utama di lantai dua, set koleksi Chanel ke walk-in closet, sedangkan kotak kecil berlogo perhiasan ternama harus langsung ditempatkan di meja rias Aurelia.
Begitu memasuki ruang tamu, Aurelia akhirnya melepas kacamatanya. Wajahnya yang cantik semakin terlihat jelas, dipoles make-up tipis khas wanita berkelas. Ia meletakkan scarf sutranya di tangan Maya lalu menatap sekeliling, memastikan tidak ada yang berubah selama ia pergi.
“Rumah tetap rapi seperti biasa. Bagus,” gumam Aurelia pelan.
Para maid hanya saling melirik, lega mendengar kalimat itu. Karena mereka tahu, Aurelia tipe yang detail. Ia tidak segan-segan menegur jika menemukan sedikit saja kekurangan di rumah itu.
Sementara itu, Adrian menutup pintu mobil setelah koper terakhir diturunkan. Ia berjalan mendekat, menyerahkan kunci mobil pada salah satu sopir cadangan. “Semuanya sudah diturunkan. Nyonya sudah masuk,” ucapnya singkat sebelum berlalu menuju garasi.
Di dalam, Aurelia kini duduk di sofa empuk ruang tamu. Maya segera menyajikan teh hijau hangat yang sudah dipersiapkan. “Terima kasih, Maya,” katanya lembut, berbeda dengan nada tegas yang ia lontarkan pada pelayan lain. Maya memang berbeda, ia dianggap lebih dari sekadar pelayan, melainkan sahabat sekaligus pendengar setia di balik kesibukan Aurelia sebagai istri pria penting.
Aurelia menyeruput tehnya perlahan, sementara koper-koper masih dibawa ke lantai atas. Di benaknya, ia sudah memikirkan acara sosial yang akan ia hadiri dalam waktu dekat. Paris mungkin sudah ia tinggalkan, tetapi aura kota itu masih melekat pada dirinya. Ia tahu, di Jakarta pun ia tetap harus menjadi pusat perhatian, istri seorang Leonardo Wirjawan.
Leonardo akhirnya turun dari lantai tiga menggunakan lift pribadi. Suara ding khas lift terdengar pelan, dan pintu terbuka memperlihatkan sosok pria muda dengan jas rapi berwarna hitam. Jas itu terpotong sempurna, dipadukan dengan kemeja putih bersih serta dasi sederhana yang membuat aura dinginnya semakin kuat. Rambutnya disisir rapi ke belakang, dan wajahnya—tanpa senyum—menyiratkan bahwa ia tengah bersiap menghadiri pertemuan penting dengan kolega bisnis dari Singapura pagi ini.
Tangannya membawa map kulit berwarna cokelat tua berisi dokumen-dokumen penting, sementara langkahnya mantap menyusuri koridor panjang rumah itu. Setiap pelayan yang melihatnya langsung menundukkan kepala dengan penuh hormat, namun Leonardo tetap berjalan tanpa menoleh, seolah kehadiran mereka hanyalah bayangan semata.
Di ruang tengah yang luas, Aurelia membuka salah satu koper besar berisi barang-barang belanjaannya dari luar negeri. Pakaian bermerek, sepatu kulit elegan, parfum eksklusif, serta aksesoris mahal berjejer memenuhi lantai. Aura Aurelia pagi itu sangat kontras dengan Leonardo. Ia tampak cerah dengan gaun sederhana namun tetap menampilkan sisi modern nan anggun. Wajahnya dihiasi senyum tipis ketika menyerahkan beberapa bungkusan kecil kepada para pekerja rumah itu.
"Maya, tolong bagikan oleh-oleh ini ke pelayan lainnya," ucap Aurelia sambil menunjuk ke arah paperbag yang sudah ia atur sesuai nama.
Maya, wanita berusia tiga puluhan yang selalu setia mendampingi Aurelia, langsung mencatat dengan cekatan. "Baik, Nyonya."
Para pelayan lainnya tampak bahagia menerima oleh-oleh dari Aurelia. Meski hanya barang kecil dibandingkan dengan kekayaan yang dimiliki nyonya mereka, tetap saja itu menjadi bentuk perhatian yang membuat mereka merasa dihargai.
Namun di tengah suasana hangat itu, tatapan dingin Leonardo tertuju pada istrinya. Matanya menyipit sejenak, seolah menilai betapa sibuknya Aurelia dengan koper-koper penuh barang mahal. Napasnya terdengar berat, bukan karena lelah, melainkan karena malas menatap pemandangan yang baginya tidak penting.
Aurelia yang menyadari tatapan itu langsung menoleh. "Leonardo," panggilnya dengan suara datar namun terdengar berusaha hangat.
Namun bukannya menjawab, Leonardo hanya melemparkan tatapan kosong ke arah istrinya, lalu melangkah pergi begitu saja melewati ruang tengah. Langkahnya tenang, tetapi dinginnya terasa menusuk, membuat suasana seketika menjadi canggung.
Aurelia hanya menarik napas panjang, lalu kembali menekuni koper yang ada di hadapannya. "Maya, kita lanjutkan. Jangan hiraukan," ujarnya sambil tersenyum.
Para pekerja di rumah itu pun menunduk, tidak ada yang berani bersuara. Mereka sudah terlalu sering melihat pemandangan itu: tuan dan nyonya mereka berjalan di jalan masing-masing, tanpa pernah ada percakapan hangat yang terdengar. Sejak empat tahun lalu pernikahan megah itu digelar, keharmonisan rumah tangga nyaris tak pernah terlihat.
Leonardo adalah pria yang sibuk, dingin, dan jarang sekali pulang ke rumah tepat waktu. Jika pun pulang, ia lebih sering menghabiskan waktu di ruang kerjanya, ditemani rokok mahal dan segelas kopi hitam ataupun minuman beralkohol. Aurelia, di sisi lain, lebih banyak menyalurkan kesibukannya dengan belanja, menghadiri acara sosial, atau sekadar mengurus kegiatan amal bersama teman-temannya. Dua dunia yang berbeda itu bertemu di bawah satu atap, tapi tak pernah benar-benar menyatu.
"Sudah empat tahun, tapi tetap sama," bisik salah satu pelayan wanita muda sambil membantu menata koper.
"Diam, jangan banyak komentar," sahut pelayan yang lebih tua, menegur dengan halus. "Kita di sini hanya bekerja. Tidak pantas ikut campur urusan tuan dan nyonya."
Sementara itu, Leonardo sudah masuk ke ruang garasi bawah tanah tempat mobil-mobil mewahnya berjejer. Ia memeriksa jam tangannya yang mahal, lalu berkata singkat kepada Adrian yang sudah menunggu di kursi sopir.
"Kita berangkat sekarang."
"Baik, Tuan," jawab Adrian singkat sambil menyalakan mesin mobil.
Suara deru mesin mobil sport berwarna hitam itu menggema di garasi, lalu perlahan keluar meninggalkan kediaman megah tersebut. Dari balkon lantai dua, Aurelia sempat menoleh, melihat mobil suaminya melaju pergi.
Begitulah keseharian di rumah itu. Dua insan yang disatukan dalam ikatan pernikahan, tetapi jarak di antara mereka lebih lebar daripada samudra. Rumah megah itu berdiri kokoh, namun di dalamnya tidak pernah ada kehangatan. Semua pekerja di sana sudah terbiasa—bagi mereka, pemandangan Leonardo yang dingin dan Aurelia yang seolah tidak peduli hanyalah bagian dari rutinitas.
 
                    