“Setiap mata menyimpan kisah…
tapi matanya menyimpan jeritan yang tak pernah terdengar.”
Yang Xia memiliki anugerah sekaligus kutukan, ia bisa melihat masa lalu seseorang hanya dengan menatap mata mereka.
Namun kemampuan itu tak pernah memberinya kebahagiaan, hanya luka, ketakutan, dan rahasia yang tak bisa ia bagi pada siapa pun.
Hingga suatu hari, ia bertemu Yu Liang, aktor terkenal yang dicintai jutaan penggemar.
Namun di balik senyum hangat dan sorot matanya yang menenangkan, Yang Xia melihat dunia kelam yang berdarah. Dunia penuh pengkhianatan, pelecehan, dan permainan kotor yang dijaga ketat oleh para elite.
Tapi semakin ia mencoba menyembuhkan masa lalu Yu Liang, semakin banyak rahasia gelap yang bangkit dan mengancam mereka berdua.
Karena ada hal-hal yang seharusnya tidak pernah terlihat, dan Yang Xia baru menyadari, mata bisa menyelamatkan, tapi juga membunuh.
Karena terkadang mata bukan hanya jendela jiwa... tapi penjara dari rahasia yang tak boleh diketahui siapapun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanilla_Matcha23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 𝟭𝟭 - ADA SESUATU YANG ANEH
“Kau benar. Dia terlihat sangat menyedihkan… bahkan lebih dari terakhir kali kau katakan.”
“Maksudmu?” tanya Xia, berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
Huang Mei menarik napas pelan, lalu mulai bercerita.
“Aku tidak menyangka. Dia yang terlihat ramah di kamera, ternyata sangat berbeda ketika dilihat langsung. Matanya… seperti menyimpan beban yang berat.”
“Kau bertemu dengannya?” Xia menghentikan bacaannya, menatap sahabatnya penuh perhatian.
Huang Mei mengangguk.
“Ya. Aku dipanggil ke lokasi syuting mereka untuk memeriksanya. Dan aku rasa… dia terlihat sangat menyedihkan. Tubuhnya kurus, matanya sayu. Aku heran, bukankah dia aktor besar? Tapi di lokasi syuting, dia terlihat seperti aktor pendukung biasa.”
Xia menatapnya tajam.
“Ada sesuatu yang aneh?”
Huang Mei terdiam sejenak, keningnya berkerut. “Ya… itu dia. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Dia seperti—”
Ia berhenti, menatap kosong ke arah meja, berusaha mencari kata yang tepat.
“Apa maksudmu?” tanya Xia, kini suaranya terdengar sedikit tegas, tak sabar menunggu penjelasan.
“Dia… seperti diabaikan, tapi juga dijaga ketat,” ucap Huang Mei akhirnya, pelan namun pasti.
“Kau tahu maksudku, kan? Jika seseorang dijaga ketat, seharusnya dia penting. Tapi cara orang-orang di sekelilingnya memperlakukan dia…”
Huang Mei menggeleng, napasnya berat. “Itu terasa salah, Xia. Seperti dia… bukan aktor, tapi seseorang yang sedang diawasi.”
Suasana ruangan mendadak hening.
Xia tidak langsung merespons, hanya tatapan matanya yang berubah,
“Aku bahkan tidak bisa leluasa memeriksanya,” lanjut Huang Mei pelan, suaranya menurun seperti sedang mengingat sesuatu yang tak nyaman.
“Manajernya terus berdiri di dekat kami, memperhatikan setiap gerakanku. Tatapannya tajam, seperti… seperti sedang memastikan aku tidak menanyakan hal yang salah.”
Ia menelan ludah pelan sebelum melanjutkan, “Aku tidak tahu kenapa, tapi manajer itu tampak… takut. Entah pada siapa.”
Tatapan Xia perlahan terangkat dari berkas yang tadi ia baca. “Takut?” ulangnya, nada suaranya menajam.
Huang Mei mengangguk pelan. “Ya. Tapi bukan takut padaku. Lebih seperti… takut pada sesuatu di balik semua itu. Aku tidak tahu apa, tapi rasanya salah. Ada hal yang mereka sembunyikan, Xia. Dan aku yakin, Yu Liang… dia bukan sekadar sakit biasa.”
Ruangan itu seketika hening. Hanya suara detak jam di dinding yang terdengar, sementara Xia menatap jauh, menimbang-nimbang sesuatu dalam pikirannya. Sesuatu yang selama ini hanya ia rasakan samar, sekarang mulai memiliki bentuk.
Xia terdiam.
Sekilas, sesuatu di dalam dadanya terasa menegang, seperti ada benang halus yang ditarik perlahan.
Ucapan Huang Mei berputar di kepalanya, mengulang-ulang tanpa henti. Takut pada sesuatu di balik semua itu.
Matanya berpaling ke arah jendela.
Hujan tipis mulai turun, menetes di kaca bening ruangannya.
Entah mengapa, gambaran kilasan Yu Liang yang sering tiba-tiba muncul di pikirannya. Seorang pria yang tampak tersenyum di depan kamera, tapi menyembunyikan dunia kelam di balik sorot matanya.
“Yu Liang…” gumamnya nyaris tak terdengar.
Ada nada ragu di sana, bercampur keingintahuan yang belum sempat ia pahami.
“Xia?” panggil Huang Mei hati-hati.
Xia menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Aku hanya….”
Ia menatap kembali laporan di tangannya, tapi huruf-huruf di atas kertas kini terasa kabur.
Sesuatu tentang pria itu dan rasa takut yang disebut Huang Mei, menimbulkan gelombang yang tak bisa ia abaikan.
Setelah kepergian Huang Mei, pintu ruang praktiknya tertutup rapat. Xia bersandar di kursinya, matanya menatap kosong ke arah meja yang penuh berkas.
Jantungnya masih berdetak cepat, bukan karena panik, tapi karena rasa tak mengerti. Ia menatap telapak tangannya yang dingin, seolah masih bisa merasakan sensasi aneh dari beberapa menit lalu.
Semua terasa begitu nyata bayangan, suara, bahkan rasa sesak itu.
Tapi bagaimana mungkin?
Ia seorang dokter, bukan seseorang yang percaya pada hal-hal semacam ilusi batin.
Segala sesuatu harus bisa dijelaskan secara logis. Namun kali ini, logika justru membentur dinding yang tak kasat mata.
“Tidak mungkin,” gumamnya pelan.
Ia mencoba menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, lalu menatap layar komputernya yang menampilkan data medis Yu Liang.
Tekanan darah stabil.
Denyut jantung normal.
Tidak ada kelainan neurologis yang bisa memicu halusinasi atau resonansi psikologis yang ekstrem.
Jadi… apa yang sebenarnya ia lihat tadi?
Mungkinkah itu cuma imajinasi karena kelelahan?
Atau—
Suara ketukan lembut di pintu memotong lamunannya.
“Dokter Xia?” Suara perawat terdengar ragu.
Xia mengangkat kepala, sedikit terkejut karena pikirannya masih melayang.
“Masuklah.”
Perawat itu melangkah masuk pelan. “Pasien VIP Yu Liang… dia… dia menanyakan Anda.”
Tatapan Xia berubah tenang di luar, tapi dadanya kembali bergetar di dalam. Ia menutup berkas di depannya, bangkit perlahan.
“Aku mengerti. Aku akan ke sana sebentar lagi.”
Begitu perawat keluar, Xia berdiri mematung di depan jendela. Cahaya sore menembus kaca, membentuk siluetnya yang sunyi.
Ia mengembuskan napas pelan.
Entah mengapa, ia merasa… apa pun yang terjadi barusan, hanyalah awal dari sesuatu yang jauh lebih dalam.
Ketika Xia hendak melangkah keluar, pintu ruangannya terbuka dari luar. Seorang pria muda dengan jas abu lembut dan wajah tenang masuk dengan sedikit tergesa.
Asisten pribadi Xia, Feng Xuan.
Biasanya ia sangat teratur dan sopan, namun kali ini ada nada genting dalam ekspresinya.
“Nona Xia,” ucapnya cepat sambil menutup pintu di belakangnya.
Xia berhenti, menatapnya dengan tatapan datar namun penuh tanya.
“Ada apa?”
Feng Xuan menarik napas pelan, menatap sekilas ke arah pintu seolah memastikan tak ada orang lain yang mendengar.
“Saya baru saja menerima berkas tambahan dari pihak administrasi rumah sakit, mengenai pasien bernama Yu Liang.”
Xia mengerutkan alis. “Tambahan?”
“Iya, Dokter. Tapi anehnya… berkas itu tidak datang dari sistem internal kita. Melainkan dari pihak luar, tanpa tanda pengenal institusi.”
Xia menatapnya tajam. “Pihak luar?”
Feng Xuan mengangguk. “Dan… saya sempat menelusuri asal pengiriman file itu.”
Ia menurunkan suaranya sedikit.
“Alamat sumbernya berasal dari District 7-98, Tokyo.”
Xia membeku sesaat.
Feng Xuan melanjutkan, nada suaranya semakin pelan, “Saya juga menemukan hal lain, Dokter. Nama Chen Wei tercantum di salah satu dokumen pengantar sebagai penanggung jawab sementara pasien itu, sebelum dipindahkan ke sini.”
Xia menatapnya dalam-dalam.
“𝗖𝗵𝗲𝗻 𝗪𝗲𝗶…?” gumamnya, hampir tidak terdengar.
Suara itu mengembalikan bayangan samar yang sempat ia lihat saat menatap mata Yu Liang.
Lampu sorot.
Suara kamera.
Seorang pria dengan tatapan dingin di balik malam.
Feng Xuan menyerahkan map berwarna hitam ke tangannya.
“Saya pikir, Anda perlu melihat ini sendiri.”
Xia menerima map itu perlahan, menatap namanya yang tercetak di label kecil di ujung folder. Dalam diam, ia membuka lembar pertama. Dan begitu matanya membaca isi halaman itu, napasnya tertahan.
Nama Yu Liang terpampang jelas.
Namun di bawahnya, tertera catatan merah kecil:
“𝗣𝗮𝘀𝗶𝗲𝗻 𝗶𝗻𝗶 𝗯𝗲𝗿𝗮𝗱𝗮 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗽𝗲𝗻𝗴𝗮𝘄𝗮𝘀𝗮𝗻 𝘁𝗶𝗻𝗴𝗸𝗮𝘁 𝘁𝗶𝗻𝗴𝗴𝗶. 𝗔𝗸𝘀𝗲𝘀 𝗱𝗶𝗯𝗮𝘁𝗮𝘀𝗶. 𝗗𝗶𝗹𝗮𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗵𝘂𝗯𝘂𝗻𝗴𝗶 𝗽𝗶𝗵𝗮𝗸 𝗹𝘂𝗮𝗿 𝘁𝗮𝗻𝗽𝗮 𝗶𝘇𝗶𝗻 𝗖𝗵𝗲𝗻 𝗪𝗲𝗶.”