"Kamu itu cuma anak haram, ayah kamu enggak tahu siapa dan ibu kamu sekarang di rumah sakit jiwa. Jangan mimpi untuk menikahi anakku, kamu sama sekali tidak pantas, Luna."
** **
"Menikah dengan saya, dan saya akan berikan apa yang tidak bisa dia berikan."
"Tapi, Pak ... saya ini cuma anak haram, saya miskin dan ...."
"Terima tawaran saya atau saya hancurkan bisnis Budhemu!"
"Ba-baik, Pak. Saya Mau."
Guy's, jangan lupa follow IG author @anita_hisyam FB : Anita Kim
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim99, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tungau Berbisa
Malam itu, Pintu depan rumah tiba-tiba terbuka dengan suara berderak. Dua sosok yang biasa menjadi pembela Aluna muncul dengan wajah murka. Keysha, si bungsu yang keras kepala masuk lebih dulu, sambil menggendong anaknya. Diiikuti Raka yang wajahnya merah padam, dia juga menuntun anak laki-lakinya.
“Bu, cukup!” seru Keysha sambil menepis tangan ibunya yang sedang memukul punggung Luna. “Jangan main tangan terus sama Luna! Dia itu bukan anak kecil lagi!”
“Dih, ibu cuma nepuk-nepuk aja, tadi Luna mau sendawa.”
“Bener ibu enggak mukulin kamu?” tanya Raka khawatir.
Kepala Luna menggeleng. “Dari tadi Bude marahin aku, mukulin aku juga pake lidi.”
“Ibuuuuu!” pekik Keysha. Dia menatap ibunya sambil berkacak pinggang. Sang anak sudah hilang entah ke mana.
“Ibu cuma khawatir,” jawabnya enteng.
“Bohong, Ibu pasti bohong.”
“Diam, Key! Kamu pikir ibu tega mukul?” bentaknya sambil membela diri. “Ibu cuma khawatir! Anak ini seenaknya pulang malam, hujan-hujanan, bikin orang tua kepikiran! Mana pulang sambil nangis, siapa yang enggak khawatir.”
“Khawatir?!” Keysha membalas dengan mata berkilat. “Kalau khawatir itu dirangkul, Bu, bukan dipukul! Masa setiap kali Luna salah, solusinya sapu?!”
“Sudah, Mbak ....” Aluna menggeleng lemah, dengan suara serak. “Sudah, jangan marahin Budhe. Aku memang salah.”
“Bukan kamu yang salah, Lun.” Raka bersuara, matanya merah karena menahan marah. “Memangnya kamu kenapa? Siapa yang udah bikin kamu nangis kayak gini?”
“Mas Adit... dia, sudah nikah siri sama Safira,” katanya terbata. “Aku dikhianati, Mas ... aku dihina ... di depan keluarganya, aku ditampar, disuruh pergi kayak sampah. Mereka bilang aku anak haram, miskin, ibuku gila. Sedangkan Safira ... mereka sebut Safira calon ahli surga. Dia emang pake hijab panjang. Mereka pikir aku ini kayak LC.”
“Kurang ajar!” Keysha mengepalkan tangannya erat. “Gila ya mereka? Mentang-mentang Safira berjilbab syar’i, terus kamu dibandingin kayak... kayak LC karaoke?! Mereka pikir mereka siapa, hah?!”
“Aku nggak terima, Lun!” tambah Raka. “Kita kenal Aditya, dia sering sok akrab sama keluarga kita kan? Pura-pura bantuin di warung biar dapet hati ayah sama ibu. Ternyata kelakuannya busuk! Kalau dia berani muncul di depan mataku, aku bersumpah, aku bakal hajar! Dia habis-habisan.”
“Aku juga!” Keysha menimpali. “Aku bakal labrak tuh Ukhti Safira. Yang katanya Cantik, pinter, so what?! Dia nggak berhak ngambil sesuatu dengan cara kotor kayak gitu!”
Mendengar hal itu, Aluna mendongak, ia tersenyum getir sambil menghapus sisa air mata. “Jangan salahin mereka. Mungkin memang aku yang salah. Aku memang nggak sebanding sama Safira. Mereka akan menikah bulan depan, resepsinya sudah disiapkan. Percuma kalian marah, aku capek. Aku mau istirahat. Makasih udah peduli sama aku, Mbak, Mas. Tapi aku udah kalah.”
Raka terdiam, matanya menatap Aluna seakan hatinya ikut terkoyak. Keysha yang biasanya galak kini hanya bisa menggigit bibir dengan mata berkaca-kaca.
Mereka sama-sama menoleh ke arah Bu Ratna, berharap ada sedikit pembelaan. Tapi perempuan paruh baya itu hanya mendesah berat.
“Sudah, lebih baik kalian diam. Luna memang harus belajar menerima kenyataan. Dari awal, ibu enggak suka Luna bergaul sama dia, Adit itu orang kaya. Kita enggak selevel sama mereka.”
Bu Ratna beranjak dari duduknya, lalu berbalik pergi dengan tangan dan bibir gemetar. Dia berusaha menahan air mata, tapi sayangnya dia kalah.
Bukan hanya Bu Ratna, Aluna juga berjalan ke kamar dengan langkah gontai. Sedangkan Key dan Raka, mereka menghela napas, lalu melirik ayah mereka yang sedang menidurkan anak-anak di kasur depan TV.
Begitu pintu kamar tertutup, Luna jatuh terduduk di sisi ranjang. Rambutnya masih basah, belum sempat dia keringkan setelah tadi mandi sebentar. Tangannya gemetar,tidak ingin menangis tapi dia tidak bisa. Luna ingin meraung, dia ingin menjerit, tapi tidak mungkin.
Saat hatinya benar-benar sakit, iba-tiba layar ponselnya menyala. Nada dering video call menggema di kamar sederhana itu. Nama yang sangat dikenal Luna muncul jelas di layar. 'Tungau Berbisa'
Aluna buru-buru menghapus air matanya, merapikan rambut basahnya dengan tangan, lalu menarik napas panjang. Ia menatap wajah sendiri di pantulan layar ponsel, mata sembab, bibir pucat.
“Ngapain sih dia nelpon jam segini,” geramnya. Wajah marah itu langsung berubah saat Dengan kesal, ia menggeser ikon hijau. Layar berubah, menampilkan wajah pria tampan dengan tatapan tegas, Arsena Kusumawardhana, CEO tempatnya bekerja. Lihat dia, begitu tampan dan mempesona, kaca mata baca yang bertengger di hidung mancungnya membuat dia yang sudah matang semakin menawan.
Tapi jangan tertipu, dia itu sangat menyebalkan.
“Aluna?” panggil suara bariton itu sedikit tajam. “Nangis?”
“Enggak kok, Pak. Saya cuma... kecapekan sedikit.” Dia pura-pura tersenyum seperti biasa meski matanya sudah berkaca-kaca.
“Kamu di rumah?”
“Iya,” jawab Aluna singkat.
“Besok pagi, saya mau kamu ke kantor lebih awal. Ada beberapa hal penting yang harus kita bicarakan. Jangan telat.”
“Baik, Pak.” Aluna mengangguk.
Namun, setelah kalimat terakhir, Arsen tak kunjung mematikan panggilan video tersebut. Aluna bingung, menatap Arsen yang malah fokus bekerja di balik meja. Dia hendak berbaring, tapi kembali duduk karena Arsen berdehem.
“Keringkan rambutmu sebelum tidur dan berhenti menangis! Kamu bukan anak kecil, Luna.”
jadi maksudnya apa ya?????