Sejak bayi, Eleanor Cromwel diculik dan akhirnya diasuh oleh salah satu keluarga ternama di Kota Olympus. Hidupnya tampak sempurna dengan dua kakak tiri kembar yang selalu menjaganya… sampai tragedi datang.
Ayah tirinya meninggal karena serangan jantung, dan sejak itu, Eleanor tak lagi merasakan kasih sayang dari ibu tiri yang kejam. Namun, di balik dinginnya rumah itu, dua kakak tirinya justru menaruh perhatian yang berbeda.
Perhatian yang bukan sekadar kakak pada adik.
Perasaan yang seharusnya tak pernah tumbuh.
Di antara kasih, luka, dan rahasia, Eleanor harus memilih…
Apakah dia akan tetap menjadi “adik kesayangan” atau menerima cinta terlarang yang ditawarkan oleh salah satu si kembar?
silahkan membaca, dan jangan lupa untuk Like, serta komen pendapat kalian, dan vote kalau kalian suka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Pagi itu rumah keluarga Cromwel terasa lebih sunyi dari biasanya. Cahaya matahari menembus kaca jendela besar, memantul di dinding marmer yang dingin. Eleanor sudah bangun lebih awal, duduk di meja makan dengan secangkir teh hangat di depannya. Ia sengaja menyiapkan sarapan sederhana roti panggang dengan selai stroberi, hanya untuk dirinya sendiri.
Bukan karena dapur keluarga itu kekurangan makanan, tapi Eleanor sudah terbiasa menahan diri. Ia tidak ingin memberi alasan sedikit pun bagi ibu tirinya untuk melontarkan kata-kata pedas di pagi hari.
Suara langkah sepatu terdengar dari arah tangga. Eleanor menoleh dan mendapati Daniel turun dengan kemeja rapi, dasi sudah terikat sempurna. Senyum hangat tersungging di wajahnya ketika melihat Eleanor.
“Pagi, Ela,” sapanya lembut.
“Pagi, Kak,” jawab Eleanor, sedikit gugup tapi berusaha terdengar biasa.
Daniel menarik kursi, lalu duduk berhadapan dengannya. Ia menatap roti di piring Eleanor, lalu bergumam, “Kamu cuma makan itu? Nggak kenyang nanti di sekolah.”
Eleanor tersenyum tipis. “Aku nggak apa-apa, Kak. Sudah cukup kok.”
Daniel menghela napas, lalu menepuk meja pelan. “Ela… kamu nggak harus menahan diri. Ada banyak makanan di rumah ini, kamu berhak makan apa pun yang kamu mau.” Tatapannya dalam, tapi tetap lembut, seperti kakak yang benar-benar khawatir pada adiknya.
Eleanor terdiam sejenak. Ia ingin menjawab, tapi sebelum sempat, suara hak sepatu tinggi terdengar. Ibu tirinya muncul dengan gaun elegan warna biru tua, rambut tersisir rapi.
“Oh, kalian sudah sarapan?” suara ibu tirinya terdengar manis, terlalu manis malah. Senyum terlukis di wajahnya ketika matanya bertemu dengan Daniel.
“Pagi, Nak. Kamu mau ibu buatkan kopi sebelum ke kantor?” tanyanya lembut.
Daniel tersenyum sopan. “Terima kasih, Bu. Tapi aku bisa buat sendiri.”
Sikap wanita itu terlihat hangat, penuh kasih, setidaknya di depan Daniel. Namun, begitu matanya melirik Eleanor, senyuman itu menghilang sepersekian detik, berganti tatapan dingin yang hanya bisa dibaca oleh Eleanor.
Eleanor menunduk cepat, pura-pura sibuk dengan rotinya.
Daniel tidak menyadari perubahan kecil itu. Ia berdiri, merapikan jasnya. “Aku berangkat dulu. Ela, hati-hati di sekolah, ya. Jangan lupa makan siang.”
“Baik, Kak,” jawab Eleanor, tersenyum samar.
Daniel pamit, dan begitu langkahnya menjauh, suasana meja makan berubah drastis. Ibu tirinya duduk di kursi yang baru saja ditinggalkan Daniel. Senyuman palsu itu lenyap sepenuhnya, berganti nada dingin.
“Kau pintar sekali berpura-pura manis di depan kakakmu, ya, Eleanor?” suaranya pelan, tapi menusuk.
Eleanor hanya menggenggam cangkir tehnya erat, menahan diri agar tidak membalas.
Eleanor menarik napas panjang saat berdiri di depan gerbang sekolah Olympus High. Senyum tipis ia paksakan, meski hati masih terasa berat setelah ucapan dingin ibu tirinya. Ia melangkah pelan ke arah koridor utama, tas digenggam erat di pundak.
Seperti biasa, tatapan orang-orang langsung mengikutinya. Beberapa siswa berbisik sambil melirik, sebagian terang-terangan menoleh.
“Eh, tuh cewek itu lagi.”
“Iya, cantik banget.”
“Tapi kayaknya sombong deh, jalan aja nggak pernah nengok orang.”
Eleanor pura-pura tidak mendengar, meski telinganya jelas menangkap setiap kata. Ia terbiasa jadi pusat perhatian, tapi tetap saja, rasa kikuk itu tidak pernah hilang.
Tiba-tiba, suara ceria terdengar dari samping.
“Lalaaa! Gue nyariin lo dari tadi!” Bella berlari kecil menghampiri, wajahnya sumringah seperti biasa.
Eleanor tersenyum kecil. “Pagi, Bella.”
“Pagi dari Hong Kong! Eh, sumpah deh, lo tuh makin glowing aja. Lo pakai skincare apa sih? Jangan-jangan rahasianya cuma tidur cukup?” Bella mulai ngoceh panjang, bikin beberapa siswa di sekitar mereka melirik geli.
Eleanor hanya tertawa pelan, ikut berjalan bersama Bella menuju kelas. Namun, langkah mereka terhenti ketika suara sinis menyelusup dari arah lain.
“Anak baru.”
Eleanor menoleh. Di sana berdiri Veronica Jackson, dengan seragam rapi dan rambut pirangnya yang selalu terawat. Senyuman tipis tersungging di bibirnya, tapi jelas bukan senyum ramah.
“Lo jalan kayak lagi catwalk, ya? Nggak capek jadi pusat perhatian terus?” Veronica menatap Eleanor dari atas ke bawah, tatapannya penuh sindiran.
Bella langsung maju setengah langkah. “Ngapain sih, Ver? Lala nggak gangguin lo juga.”
Veronica melirik Bella dengan malas. “Santai aja, gue cuma heran. Anak baru langsung jadi bahan gosip satu sekolah. Hebat juga.”
Eleanor menahan diri, memilih tidak menjawab. Ia hanya menunduk, menghela napas pelan, lalu melanjutkan langkah ke kelas.
Langkah Eleanor baru saja mau diteruskan, ketika tiba-tiba lengannya ditahan. Veronica berdiri tepat di depannya, senyuman tipis masih menempel di bibirnya.
“Eh, anak baru,” katanya, kali ini suaranya lebih tajam. “Lo pikir lo siapa, jalan lewat sini sok-sok cantik kayak ratu?”
Eleanor terdiam, bingung harus menjawab apa. Ia baru mau membuka mulut ketika Veronica mendekat, lalu tanpa peringatan menjambak ujung rambut panjang Eleanor dan menariknya kasar.
“Denger ya, jangan sok kecakepan di sini. Lo baru masuk, jangan belagu.”
Eleanor meringis kecil, menahan rasa sakit, matanya menunduk. Beberapa siswa yang melihat dari jauh hanya berbisik-bisik, sebagian malah tertawa kecil tanpa berani mendekat.
“Veronica! Lepasin rambut Lala!” Bella akhirnya maju, wajahnya merah menahan emosi. Ia mencoba menarik tangan Veronica. “Apaan sih lo?! Bercanda jangan kelewatan!”
Veronica menoleh santai, tatapannya meremehkan. “Gue cuma ngingetin aja. Anak baru ini kayaknya nggak ngerti aturan nggak tertulis di sekolah ini. Gue baik, kok.”
Eleanor menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Ia tidak berkata apa pun, hanya diam, seakan itu satu-satunya cara untuk tidak memperkeruh keadaan.
Bella berhasil menepis tangan Veronica dengan kasar, lalu berdiri di depan Eleanor seperti tameng. “Sekali lagi lo berani sentuh temen gue, Ver, sumpah gue nggak bakal diem aja!”
Veronica tertawa kecil, melipat tangan di dada. “Lucu banget lo. Oke, kita lihat aja nanti. Anak baru…” ia menatap Eleanor dengan sinis, “…nikmatin spotlight lo selagi bisa.”
Setelah itu Veronica berbalik pergi, langkahnya santai seakan tidak terjadi apa-apa. Beberapa siswa yang menonton segera berpura-pura sibuk, tidak ada yang berani ikut campur.
Bella memutar badan, memegang bahu Eleanor dengan wajah cemas. “La, lo nggak apa-apa? Sakit nggak? Sumpah nih orang emang udah kebangetan!”
Eleanor menggeleng pelan, memaksa tersenyum meski matanya masih basah. “Aku nggak apa-apa, Bel… udah biasa.”
“Biasa gimana sih, La! Jangan diem aja dong kalau digituin.” Bella benar-benar geram, tapi akhirnya menghela napas, mencoba meredakan emosinya. “Udah, nanti gue bawain lo permen. Anggep aja pelipur lara, oke?”
Untuk pertama kalinya sejak pagi, Eleanor tertawa kecil, meski getir. “Dasar kamu, Bel.”
Jam pulang sekolah akhirnya tiba. Suara bel panjang menggema, disusul teriakan lega para siswa yang berhamburan keluar kelas. Eleanor berjalan pelan di samping Bella, keduanya masih ngobrol santai soal PR Matematika yang bikin pusing.
“Gila, La. Gue yakin hidup gue bakal hancur gara-gara integral. Kalau kakak lo yang jadi guru gue sih, gue rela belajar sampe pagi,” celetuk Bella sambil ngakak.
Eleanor hanya menggeleng kecil, senyumnya tipis. “Kamu ada-ada aja, Bel.”
Mereka terus berjalan sampai gerbang, dan tiba-tiba terdengar suara riuh histeris dari kerumunan siswi.
“Ya ampun! Siapa tuh? Ganteng banget!”
“Itu mobilnya keren parah, hitam mengkilap gitu.”
“Eh, dia nyariin siapa ya? Jangan-jangan gue?”
Semua mata tertuju pada sebuah mobil hitam elegan yang baru saja berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Dari dalam, seorang pria tinggi dengan setelan rapi turun, kemejanya terlipat bersih, wajahnya tenang dengan aura berwibawa.
Daniel Cromwel.
Beberapa siswi langsung menjerit pelan, sebagian lagi mulai heboh bisik-bisik.
“Dia nyari siapa sih? Astaga, jangan-jangan gue dong.”
“Ngaca lo, kayaknya dia lagi nyari gue.”
Daniel menatap ke arah kerumunan, matanya menyapu seolah mencari seseorang. Senyum hangat terlukis di wajahnya ketika pandangannya akhirnya jatuh pada sosok yang dikenalnya, yaitu Eleanor adiknya.
“Ela,” panggilnya, lembut tapi cukup jelas terdengar.
Kerumunan mendadak hening sepersekian detik, lalu pecah jadi bisik-bisik iri.
“Gila! Itu adiknya?!”
“Kok bisa sih anak baru kayak dia dijemput cowok ganteng gitu?!”
“Anak baru sok-sokan banget, ya.” Veronica, yang berdiri tak jauh dari situ, menambahkan dengan nada pedas, “Anak baru emang pinter cari perhatian.”
Eleanor merasakan puluhan pasang mata menusuk dirinya. Dengan wajah memerah, ia buru-buru menunduk dan berlari kecil ke arah mobil, langsung membuka pintu belakang dan masuk tanpa menoleh ke sekitar.
Daniel tersenyum kecil melihat sikap canggung adiknya itu. Ia masuk ke mobil, menyalakan mesin, lalu melajukan kendaraan meninggalkan gerbang.
Di dalam, suasana lebih tenang. Eleanor masih menunduk, pipinya sedikit memerah. Daniel melirik sekilas, lalu tersenyum.
“Kamu masih sama kayak dulu, Ela. Selalu nggak suka jadi pusat perhatian.”
Eleanor mengangkat wajahnya, sedikit bingung. “Maksudnya, dulu?”
Daniel menatap jalan, tapi nada suaranya lembut, penuh kenangan. “Aku masih inget… waktu kita kecil. Kamu pernah jatuh dari perosotan di taman belakang rumah. Nangisnya heboh banget, sampai Dom panik.” Ia terkekeh kecil. “Atau waktu kamu makan pasir, inget nggak?”
Eleanor terdiam, mencoba mengingat. Bayangan samar terlintas, tapi cepat hilang lagi. Ia menggeleng pelan. “Aku… nggak inget, Kak.”
Daniel hanya tersenyum, matanya teduh. “Nggak apa-apa. Aku inget kok. Buatku, kamu tetap adik kecil yang dulu sering aku jagain.”
Hati Eleanor menghangat, meski ia tidak bisa menjelaskan kenapa. Untuk sesaat, rasa sesak karena tatapan iri dan julid di sekolah tadi seolah hilang. Ia menatap kakaknya dengan senyum tipis, lalu menunduk lagi, menyembunyikan rona merah di pipinya.
Rumah keluarga Cromwel malam itu tampak tenang dari luar. Lampu gantung kristal menyinari ruang makan besar dengan cahaya kekuningan yang hangat. Tapi bagi Eleanor, suasana itu tidak pernah benar-benar terasa hangat.
Ia duduk di kursi panjang, di samping Daniel. Dominic sudah pulang lebih dulu, duduk dengan gaya santainya, satu tangan memainkan garpu tanpa niat benar-benar makan.
Di seberang meja, ibu tiri Eleanor, Madam Cassandra, duduk dengan senyum tipis. Senyum yang bagi orang luar tampak manis, tapi bagi Eleanor terasa seperti pisau dingin yang siap menusuk kapan saja.
“Ela, makan yang banyak, ya.” Cassandra meletakkan sepotong daging ayam ke piring Eleanor, nada suaranya terdengar lembut, di depan kedua putranya.
Eleanor menunduk sopan. “Terima kasih, Ibu.”
Daniel tersenyum melihat adiknya, sementara Dominic hanya mengangkat alis.
Namun, ketika Daniel sibuk mengobrol soal pekerjaan dengan Cassandra, Eleanor bisa merasakan tatapan berbeda, dingin, menusuk, penuh ketidaksukaan. Senyum Cassandra tetap terpasang, tapi matanya sama sekali tidak selaras dengan senyum itu.
“Ela,” tiba-tiba Cassandra membuka suara lagi, nadanya seakan ramah, “sebentar lagi ulang tahun almarhum ayahmu. Akan ada acara keluarga besar. Pastikan kamu berpenampilan pantas, ya. Keluarga Cromwel tidak boleh terlihat… memalukan.”
Eleanor mengangguk pelan. “Baik, Ibu.”
Daniel sempat menoleh, menatap Eleanor dengan khawatir, tapi tidak berkata apa-apa. Dominic, di sisi lain, tertawa kecil sambil menyandarkan tubuh ke kursi. “Tenang aja, Bu. Si Ela ini paling jago bikin orang kagum. Percaya deh, semua orang pasti bakal lihat dia dengan cara yang beda.”
Tatapan Cassandra langsung menusuk Dominic, tapi lelaki itu hanya menyeringai cuek.
Eleanor terdiam, menatap piringnya. Kata-kata sang ibu tiri terasa seperti ancaman halus, bukan sekadar nasihat.
Suasana meja makan jadi hening, hanya terdengar denting sendok dan garpu. Daniel mencoba mencairkan suasana dengan obrolan ringan, tapi hati Eleanor tetap terasa berat.
Malam itu, setelah makan selesai, Eleanor kembali ke kamarnya. Ia duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya. Samar-samar, ingatan masa kecil yang disebut Daniel tadi muncul di kepalanya, tapi terlalu kabur untuk digenggam.
Dengan helaan napas panjang, ia berbaring, menatap langit-langit. Entah kenapa, firasat buruk mulai tumbuh dalam dadanya, seolah masa depan membawa badai besar yang belum pernah ia hadapi sebelumnya.
mirip kisah seseorang teman ku
air mata ku 😭