Di masa depan, kota futuristik Neo-Seraya mengandalkan sebuah algoritma canggih bernama CupidCore untuk menentukan pasangan romantis setiap orang. Dengan skor kompatibilitas hampir sempurna, sistem ini dipercaya sebagai solusi akhir bagi kegagalan hubungan.
Rania Elvara, ilmuwan jenius yang ikut mengembangkan CupidCore, selalu percaya bahwa logika dan data bisa memprediksi kebahagiaan. Namun, setelah bertemu Adrian Kael, seorang seniman jalanan yang menolak tunduk pada sistem, keyakinannya mulai goyah. Pertemuan mereka memicu pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh angka: bisakah cinta sejati benar-benar dihitung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 12
Beberapa langkah kemudian, mereka tiba di sebuah ruang besar berbentuk setengah lingkaran. Dindingnya dipenuhi kabel dan terminal rusak. Ada tanda-tanda bekas perkemahan lama: karung tua, kaleng kosong, dan sisa api unggun. Yara memperhatikan sisa-sisa itu.
“Ada orang pernah bersembunyi di sini. Tapi kelihatannya sudah lama ditinggalkan.”
Adrian menatap ke sekeliling. “Tetap waspada. Tempat kosong sering berarti jebakan.”
Milo mengirim drone kecil untuk memindai area sekitarnya. Gambar yang muncul menunjukkan beberapa jalur sempit bercabang dari ruangan besar itu. Drone juga menangkap sinyal lemah—mungkin perangkat lama yang masih aktif.
Tiba-tiba, terdengar suara berderak dari salah satu jalur sempit. Semua berhenti. Rania mengarahkan senjatanya ke arah suara. Dari kegelapan, muncul seorang pria tua dengan pakaian lusuh dan rambut beruban. Ia mengangkat tangannya, menunjukkan bahwa ia tidak bersenjata.
“Tenang,” katanya dengan suara serak. “Aku bukan dewan.”
Adrian memperhatikannya, tetapi tidak menurunkan kewaspadaan. “Siapa kamu?”
“Aku Arlo,” jawabnya.
“Dulu aku teknisi di jaringan bawah tanah. Sekarang aku hanya berusaha bertahan hidup.”
Yara memandang curiga. “Bagaimana kami tahu kamu tidak memimpin mereka ke sini?”
Arlo menghela napas. “Kalau aku bekerja untuk dewan, kalian sudah dikepung sekarang.”
Kai menatap Adrian. “Dia bisa saja berguna. Dia tahu tempat ini.”
Adrian mempertimbangkan sebentar. “Baik. Tapi kita tetap waspada.”
Arlo menurunkan tangannya perlahan. “Aku tahu jalur aman menuju markas jaringan bebas jejak. Tapi sebagian lorong di depan penuh sensor lama. Tanpa kode tertentu, kalian akan memicu alarm mekanis.”
Milo bertanya, “Kamu punya kodenya?”
Arlo mengangguk. “Aku masih menyimpannya di memoriku. Tapi aku butuh jaminan kalian tidak akan meninggalkanku setelah ini.”
Rania menimpali, “Kita tidak punya banyak pilihan. Bawa kami ke sana, dan kita semua selamat.”
Mereka mengikuti Arlo melalui salah satu jalur sempit. Lorong ini lebih sempit dari sebelumnya, dan beberapa bagian lantainya berlubang. Yara berjalan hati-hati, menjaga jarak dengan Arlo.
Di menara CupidCore, Liora memperhatikan peta patroli. Ia memperhatikan adanya celah sinyal di bawah kota.
“Mereka sudah masuk ke jaringan bawah tanah,” gumamnya.
Seorang kolega bertanya, “Apa kita harus melaporkan ini?”
Liora menjawab singkat, “Belum. Kita lihat dulu ke mana ini mengarah.”
Arlo berhenti di depan sebuah pintu logam tua dengan keypad rusak.
“Ini pintu pertama. Aku harus masukkan kode manual.” Ia mengetikkan serangkaian angka di panel samping. Pintu itu berderit dan terbuka.
Kai mengangguk. “Bagus. Sejauh ini berjalan mulus.”
Arlo memperingatkan, “Jangan terlalu santai. Ada lebih banyak sensor di depan.”
Mereka melanjutkan perjalanan, melintasi lorong yang semakin gelap. Lampu-lampu tua padam, dan hanya cahaya senter Milo yang menerangi jalan. Suara air menetes terdengar di kejauhan.
Rania berjalan di belakang Yara dan bertanya pelan, “Kamu percaya padanya?”
Yara menggeleng. “Tidak sepenuhnya. Tapi aku rasa dia tidak berbohong.”
Adrian mendengar percakapan itu tetapi tidak berkata apa-apa. Ia terus berjalan di samping Arlo, memperhatikan setiap gerakan pria tua itu.
Mereka terus bergerak di lorong bawah tanah yang semakin menyempit. Dindingnya lembap, dan suara tetesan air terus terdengar. Arlo berjalan di depan, sesekali berhenti untuk memeriksa tanda-tanda lama yang tertempel di dinding.
“Sensor berikutnya ada di tikungan depan,” kata Arlo pelan.
“Kalau kalian melangkah terlalu cepat, sistem keamanan lama bisa aktif. Walau tua, mekanismenya masih bisa memicu jebakan mekanis.”
Milo mematikan suara drone-nya agar tidak memancing sensor. “Aku akan kirim drone lewat jalur samping. Kalau ada alat pemindai gerak, kita bisa tahu lebih dulu.”
Drone bergerak maju, menyorotkan cahaya redup. Kai memeriksa umpan videonya. “Ada panel laser lemah di ketinggian pinggang, kira-kira tiga meter dari sini.”
Rania menatap Adrian. “Bagaimana kita melewatinya?”
Arlo berlutut, membuka panel kecil di dinding. Ia menarik beberapa kabel. “Aku bisa memutuskan aliran dayanya sebentar. Tapi kita harus cepat, sebelum sistem cadangan aktif.”
Arlo memutar sekrup manual dan menghubungkan dua kabel dengan penjepit logam kecil. Cahaya panel laser berkedip lalu padam. “Sekarang! Jalan cepat!”
Kelompok itu bergegas melewati area tersebut. Tak lama kemudian, lampu indikator menyala lagi, tetapi mereka sudah aman.
“Bagus kerja samanya,” kata Adrian.
Ia menoleh ke Arlo. “Ternyata kamu memang tahu jalan.”
Arlo hanya mengangkat bahu. “Aku tidak berbohong soal itu.”
Lorong kemudian melebar ke ruang persimpangan lain. Ruang ini lebih terang karena beberapa lampu neon masih berfungsi. Di tengah ruangan ada terminal lama dengan layar retak. Kai memeriksa terminal itu. “Ini terminal komunikasi lama. Mungkin kita bisa menggunakannya untuk memindai area.”
Milo mencoba menyalakan terminal dengan sumber daya portabel. Layar berkedip-kedip dan menampilkan peta kasar jaringan bawah tanah. Beberapa titik merah berkedip—mungkin sensor aktif atau patroli robot lama.
Rania menunjuk salah satu titik merah. “Ini dekat jalur kita.”
Arlo menatapnya. “Itu mungkin perangkat pengintai lama milik jaringan bawah tanah. Kita harus mematikannya agar tidak memberi sinyal ke dewan.”
Di menara CupidCore, Liora mengawasi anomali baru di jaringan kota. Titik-titik merah samar muncul di peta utama. “Mereka menggunakan jalur lama,” gumamnya. Ia menyimpan informasi itu untuk dirinya sendiri.
Seorang teknisi muda bertanya, “Perlu saya laporkan ke dewan?”
Liora menoleh dan berkata tenang, “Tidak perlu. Itu hanya anomali peta lama.”
Dalam hatinya, ia semakin yakin bahwa Adrian dan timnya memiliki tujuan yang lebih besar daripada sekadar gangguan.
Adrian memutuskan mereka harus menonaktifkan pengintai lama itu. Milo membawa alat pemutus sinyal dan bergerak ke arah titik merah dengan hati-hati. Ia menemukan sebuah kotak logam kecil tertanam di dinding. Lampu indikatornya berkedip.
“Ini dia,” katanya pelan.
Ia memutus kabel utama, dan lampu indikator padam. “Selesai. Sekarang jalur kita lebih aman.”
Mereka kembali ke jalur utama dan melanjutkan perjalanan. Suasana semakin tegang. Yara menggenggam tasnya erat-erat, sementara Rania terus memantau belakang mereka.
“Berapa jauh lagi?” tanya Yara.
Arlo menjawab, “Sekitar satu kilometer. Setelah itu, kita akan menemukan markas jaringan bawah tanah.”
Adrian berkata datar, “Jangan lengah sampai kita tiba.”
Lorong berikutnya lebih luas, tetapi penuh reruntuhan. Potongan beton dan besi berserakan di lantai. Milo mengarahkan drone untuk memeriksa jalur aman. Kai menyorotkan cahaya ke tanda lama di dinding—sebuah panah pudar yang menunjukkan arah ke markas bawah tanah.
“Ini jalurnya,” kata Kai.
Rania menghela napas pendek. “Semoga tidak ada kejutan lagi di depan.”
Mereka bergerak menyusuri lorong terakhir menuju markas jaringan bawah tanah. Dindingnya dipenuhi bekas kabel yang sudah putus. Suara langkah mereka menggema, memberi kesan ruang yang lebih luas dari yang terlihat.
Milo memeriksa radar mini. “Tidak ada sinyal patroli di sekitar. Tapi aku tidak suka suasananya—terlalu sepi.”
Rania menoleh ke Adrian. “Mungkin mereka memindahkan markas.”
Arlo menggeleng. “Tidak. Tempat ini sudah dipakai selama bertahun-tahun. Mereka tidak mudah pindah.”