NovelToon NovelToon
SISTEM TRILIUNER SUKSES

SISTEM TRILIUNER SUKSES

Status: sedang berlangsung
Genre:Sistem / Mengubah Takdir / Kaya Raya / Anak Lelaki/Pria Miskin / Miliarder Timur Tengah / Menjadi Pengusaha
Popularitas:19.4k
Nilai: 5
Nama Author: Proposal

Ethan Hanyalah Pria Miskin, Pekerja Serabutan, Ngojek, Jaga Toko Bahkan Jadi Kuli Bangunan. Meski Semua Itu Sudah Dilakukan, Hidupnya Masih Sangat Menyedihkan.

Setiap Pagi Ia Bangun Dengan Tubuh Pegal Dan Isi Perut Kosong, Berharap Hari Itu Ada Pekerjaan Yang Bisa Menyambung Hidupnya Dan Ibunya Yang Sakit Parah Di Rumah.

Ibunya Hanya Bisa Terbaring, Sesak Napas Menahan Nyeri, Sementara Ethan Tidak Bisa Membeli Satu Obat Apapun.

"Ma...Aku Nyesel...Aku Beneran Nyesel..."

[DING!]

Dari Udara Yang Kosong, Muncul Panel Transparan Berpendar Biru, Melayang Tepat Di Depan Matanya Yang Separuh Terbuka.

[SISTEM KEKAYAAN TAK TERBATAS DIAKTIFKAN]

[Misi Awal: Dapatkan 10 RIBU! Dalam 10 Menit]

Hah..SISTEM? BAIKLAH!, Meski Hidupku Bagaikan Sampah, Tapi.. KUPASTIKAN! Status, Kekuasaan BAHKAN KEKAYAAN! AKAN JADI MILIKKU!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Proposal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

APAKAH INI NYATA?!

Keesokan paginya, Ethan terbangun oleh suara dengungan kehidupan kota yang terdengar melalui jendelanya.

Itu adalah simfoni orang-orang yang berceloteh dan saling menyapa di luar, klakson dari kejauhan dari beberapa orang yang berisik, dan tentu saja, di lingkungan seperti Edgewater, akan selalu ada gonggongan anjing yang antusias.

"Jam berapa sekarang?" Ethan bergumam dengan lesu.

Ethan meraih ponselnya, tetapi matanya masih terpejam. Terlalu berat.

Meski begitu, dia masih sempat melirik waktu.

Saat itu pukul 7.30 pagi.

"Apa... Masih terlalu pagi," gumamnya. "Sepuluh lagi tidak akan ada salahnya."

Masih pagi. Dia harus membuka toko buku hari ini jam 9 pagi.

Dia berencana untuk kembali tidur ketika dia tiba-tiba teringat bahwa dia mempunyai satu miliar dolar yang menunggunya.

"Apa itu? Sistem Tanpa Batas?"

Ia bisa merasakan jantungnya berdebar kencang saat ia duduk. Ia juga bisa merasakan adrenalinnya terpacu. Segalanya terasa terlalu berat baginya saat ini.

Jari Ethan gemetar saat membuka aplikasi Novan Trust. Itulah momen kebenarannya.

[Saldo Akun: $1.000.000.000]

Ethan membeku. Itu ada di sana. Itu benar-benar ada di sana.

Satu miliar dolar di rekeningnya.

"Baiklah," katanya dengan suara parau. "Sekarang, mari kita uji. Apa kau nyata atau cuma main-main denganku?"

Dia menggeser ponselnya, mencari situs belanja daring yang belum pernah melihat keranjang belanja virtualnya diperiksa, Zalada.

Ia mengetuk tab gim digital. Ia mulai menumpuk keranjang belanja dengan terlalu banyak barang sekaligus. Semuanya adalah barang-barang yang telah lama ia idam-idamkan tetapi tak pernah berani ia beli.

Yah, karena harganya mahal, dia hanya bisa berharap saja.

Totalnya melonjak drastis. Ia ingin lebih menikmati berbelanja, tetapi ada hal yang lebih penting saat ini. Saat ia menekan tombol pembayaran, layar menampilkan angka $3.500.

"Ini lebih banyak daripada yang saya miliki sebelumnya," gumamnya sambil jarinya menekan tombol beli.

Dia ragu-ragu. Bertanya-tanya apakah ada yang salah.

Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, kalau tidak punya uang, dia tidak akan rugi apa-apa. Pembayarannya tidak akan berhasil.

"Baiklah, tak ada apa-apa."

Ia menggertakkan gigi. Matanya terpejam. Tanpa sadar, ia berdoa kepada Tuhan agar semuanya menjadi kenyataan sambil menekan tombol itu.

Ikon pemuatan mulai berputar, sebuah lingkaran sederhana yang seakan-akan merentangkan keabadian dalam hitungan detik.

Dia menahan napas, jantungnya berdebar kencang melawan kesunyian kamarnya.

Dan kemudian... Selesai.

[Transaksi Berhasil]

"Berhasil?"

Sebelum dia sempat mempercayai matanya atau memproses semua yang terjadi, sebuah bunyi lembut memecah keheningan.

Itu dia, email konfirmasinya. Ada di sana, di kotak masuk.

"Ini nyata..."

Sungguh tak terduga. Semuanya berjalan lancar tanpa hambatan.

Tanpa kesalahan. Tanpa alarm. Bahkan notifikasi "Pembayaran Tidak Berhasil" yang biasa dari banknya pun tidak ada.

Ethan menatap layar. $3.500 untuk gim digital? Gila sekali baginya.

Baru kemarin, pembelian seperti itu akan terasa menggelikan—sesuatu yang mungkin dibisikkannya dengan sedih kepada dirinya sendiri sebelum membatalkan pembelian tersebut sambil mendesah pasrah.

Tapi sekarang? Dia melakukannya dengan mudah. Jauh lebih mudah daripada memesan pizza.

"Itu nyata."

Ia mengulang kata-kata itu entah berapa kali. Namun, ia yakin perlu tes lebih lanjut untuk memastikan kebenarannya. Tentu saja, dengan harga yang lebih mahal.

Jari-jarinya bergerak cepat di atas layar. Dalam sekejap, ia menemukannya. Sebuah PC gaming rakitan khusus, ramping dan berkilau, lengkap dengan kursi dan meja mewah yang seakan berteriak, "Inilah perangkat impianmu."

Totalnya? $9.000.

Ethan merasakan jantungnya berdebar aneh, tetapi jarinya segera menekan tombol beli. Kali ini, tanpa ragu.

Lalu, terlintas sebuah pikiran di benaknya. Tentang apa yang harus ia katakan kepada orang tuanya dengan pembelian dan perlengkapan mahal ini.

"Tidak perlu memikirkannya sekarang," bisiknya pada dirinya sendiri.

Dia akan mencari alasan apa pun. Lagipula, dia sudah dewasa dan dia merasa tidak perlu menjelaskan apa pun kepada siapa pun.

Roda pemintal itu kembali. Yah, memang menipu. Ikon yang sangat sederhana. Tapi sekarang terasa seperti menahan beban alam semesta. Perut Ethan pun melilit.

Ethan kembali memikirkan sesuatu. Bagaimana jika kali ini gagal? Bagaimana jika saat itulah mantranya hancur dan kenyataan kembali seperti semula?

Sekali lagi, kata-kata yang sama membuatnya berhenti khawatir.

[Transaksi Berhasil]

"Tidak mungkin," bisik Ethan.

"Ini seharusnya tidak nyata..." dia menatap selama beberapa detik.

Ethan menghela napas tajam tak percaya. Setengah tertawa, setengah berteriak. Pembeliannya berhasil.

Sebagian dirinya ingin melompat dan berteriak. Sebagian lainnya hanya ingin duduk di sana selamanya dan mencari tahu apakah alam semesta akhirnya kehilangan akal sehatnya.

Ia merasakan sensasinya. Beban dari sesuatu yang besar sedang berubah dalam hidupnya. Tapi itu bukan sekadar kegembiraan.

Ada rasa takut juga di dalamnya.

Karena ini bukanlah jenis kekuasaan yang Anda pegang tanpa konsekuensi.

Namun... dia tidak akan meragukannya sekarang.

'Jika ini jalan keluarku, maka aku akan mengambilnya.'

Tak perlu lagi berpikir berlebihan. Tak perlu lagi menunggu hasil tangkapan.

Dia tidak tahu cara kerjanya. Mungkin dia tidak akan pernah tahu. Tapi jika itu bisa membantu keluarganya, jika itu bisa menghentikan kepanikan terpendam dalam suara orang tuanya, atau mencegah tagihan menumpuk tinggi, maka dia tidak akan membuang waktu mempertanyakannya.

Ia bisa memikirkan gambaran yang lebih besar nanti. Saat ini, yang penting adalah tetap membumi. Menjaga semuanya tetap utuh.

Satu langkah kecil pada satu waktu.

Dia berdiri, sambil membersihkan kemejanya dan mengatur napasnya.

"Utamakan yang utama," katanya pelan, bahunya tegak. "Aku harus membantu Ibu dan Ayah."

Dia mendobrak pintunya.

"Apa pun yang terjadi selanjutnya, aku akan menghadapinya. Tapi saat ini, inilah yang terpenting."

Dia melangkah keluar.

Aroma telur dan daging babi menyambutnya di tengah jalan, menyelimuti dirinya seperti sesuatu yang lama dan familiar.

Di dapur, ibunya berdiri di depan kompor, menyenandungkan lagu yang tak begitu jelas ia ingat. Ia bergerak mengikuti irama yang berasal dari kebiasaannya melakukan hal yang sama ratusan kali, tetapi tetap melakukannya dengan hati-hati.

Ayahnya duduk di meja, setengah tersembunyi di balik koran. Bagian iklan sudah ditandai, pena mengetuk halaman perlahan. Raut wajahnya menunjukkan kerutan dahi yang biasa dikenali Ethan.

Itu bukan kemarahan, hanya fokus, kelelahan, dan tekanan tenang.

"Pagi," kata Ethan, berusaha terdengar seperti hari biasa.

Aaron mendongak. Wajahnya tak banyak berubah, tapi ada sesuatu di matanya yang melembut.

"Pagi," jawabnya. Suaranya terdengar hangat, meskipun tangannya terus bekerja.

Dia melingkari daftar lainnya, mendesah, dan membalik halaman.

Elise berbalik, tersenyum pada Ethan—lelah, tapi tetap penuh cinta. "Lihat siapa yang bangun pagi," godanya. "Tidur nyenyak?"

"Ya," Ethan berbohong, memikirkan semua hal yang membuat otaknya tak bisa berhenti bekerja. "Baunya enak sekali."

"Hampir selesai," katanya, sambil kembali ke wajan. "Saudara-saudaramu seharusnya segera bangun."

Tepat pada saat itu, langkah kaki terdengar berirama. Lily dan Jacob terhuyung-huyung masuk ke dapur, seolah masih setengah bermimpi. Jacob langsung menuju kulkas. Lily terduduk di kursi sambil menguap lebar hingga hampir membungkukkan badannya.

"Selamat pagi, tukang tidur," sapa Ethan sambil menyisir rambut gadis itu dengan tangannya saat dia lewat.

"Jangan..." Dia menepisnya dengan lemah, tatapannya lebih seperti kucing daripada harimau.

Jacob meraih sekotak jus dan bersandar di meja, matanya nyaris tak terpejam. "Sarapan apa?"

"Seperti biasa," kata Elise tanpa ragu. "Jangan terlalu berharap, dan kamu tidak akan pernah kecewa."

Ethan menarik kursi dan duduk. Ia melirik ayahnya, yang sudah melingkari iklan lowongan kerja lain, penanya bergerak lebih keras dari yang seharusnya.

Ada sesuatu yang aneh dalam diri Ethan.

"Kamu sudah berusaha begitu lama. Biar aku yang mengambil ini sekarang."

Dia tidak mengatakannya keras-keras, tetapi janji itu tetap ada di sana—tenang, mantap, menunggu untuk ditepati.

Orangtuanya pantas mendapatkan yang lebih baik daripada pekerjaan berat yang tiada habisnya ini, menghemat setiap sen dengan tenang, dan rasa sakit yang terus-menerus karena merasa "hampir cukup."

Dan sekarang, entah bagaimana, melawan setiap hukum logika dan probabilitas, Ethan memiliki kekuatan untuk mengubah segalanya.

Kalau saja dia bisa menjelaskannya tanpa terdengar gila sama sekali.

"Ngomong-ngomong, Ayah, aku menemukan solusi untuk semua masalah kita. Satu miliar dolar. Benar-benar sah. Tidak ada jebakan. Tidak ada yang aneh. Janji."

Membayangkannya saja membuatnya ingin tertawa.

Namun tawa tak kunjung datang.

Humornya menguap, ditelan oleh beban beratnya semua ini. Misinya. Sistemnya. Kegilaan karena mencoba menjelaskan sesuatu yang bahkan hampir tak masuk akal baginya.

Hal itu terus terbayang dalam benaknya, menunggu saat yang tepat untuk menghantam bagaikan ombak.

Sebuah piring meluncur di depannya, dan membuatnya tersentak ke belakang.

"Makanlah," kata Elise lembut, menepuk bahunya pelan. "Kau butuh tenaga hari ini."

Dia mengangguk, sambil tersenyum. Kecil, tapi nyata.

Ia mengambil garpu dan menggigitnya. Makanannya hangat dan familiar—bacon, telur, roti panggang—tapi rasanya hampir tak terasa. Pikirannya sudah sepuluh langkah lebih maju, dipenuhi renungan dari kejadian pagi itu.

Ia memaksakan diri untuk duduk diam. Untuk bernapas. Untuk bersikap normal saja.

Hanya seorang pria biasa, sedang sarapan di dapur keluarganya.

Dia melirik ke sekeliling meja, pada keanggunan ibunya yang tenang, fokus ayahnya yang mantap, wajah Lily yang cemberut karena mengantuk, dan perburuan Jacob yang gigih untuk mendapatkan jus.

Dan sesuatu yang tajam dan lembut menghantamnya sekaligus.

Keluarganya.

Mereka tak sempurna. Mereka biasa saja. Tapi mereka segalanya.

Ini bukan hanya tentang keluar dari kemiskinan atau hidup mudah. Ini tentang mereka . Tentang membangun kehidupan di mana harapan tak perlu dibatasi. Di mana senyum tak perlu dirusak oleh kekhawatiran.

Dan bagi Ethan, itu adalah alasan yang cukup.

Setelah sarapan, Lily dan Jacob menyerbu ke ruang tamu, gelak tawa menggema di belakang mereka sementara TV menyala dengan suara keras kartun liburan sekolah.

Mereka menjatuhkan diri ke sofa tua. Bantal-bantalnya melesak di bawah mereka, seperti yang hanya waktu dan kenangan yang bisa mengajarkan furnitur untuk melakukannya.

Ethan berlama-lama di ambang pintu, tangannya terbenam di saku, sambil memperhatikan.

Seharusnya ia merasa lebih ringan, terhibur oleh kegembiraan mereka. Namun, rasa sakit yang tumpul justru menariknya.

Cinta dan ketidakberdayaan, ia menyadari, merupakan pasangan yang aneh dan keras kepala.

Tawa Lily terdengar lagi, nyaring dan riang.

Namun dia lebih tahu.

Anak-anak selalu tahu. Sekalipun mereka tidak tahu apa yang salah, mereka bisa merasakannya. Seperti binatang sebelum badai. Mereka merasakan perubahan udara sebelum ada yang bicara.

Suara dari dapur menarik perhatiannya kembali.

Orang tuanya masih duduk di meja makan, mengobrol pelan. Suara mereka pelan, gerakan mereka lambat, seperti orang yang membawa terlalu banyak barang, terlalu lama, tanpa pernah diizinkan untuk meletakkannya.

Dan Ethan berdiri di sana, terperangkap antara tawa dan keheningan, mengetahui bahwa inilah alasan sistem itu datang kepadanya.

Karena seseorang harus memperbaikinya.

“Ibu. Ayah.”

Suara Ethan terdengar lebih tajam dari yang dimaksudkannya, membelah kebisingan kartun yang ceria bagai pisau yang membelah kain.

Orang tuanya mendongak, terkejut seolah-olah mereka lupa dia masih di sana.

"Berapa yang kita butuhkan untuk sewa dan tagihan bulan ini?" tanyanya. "Tepat sekali."

Elise mengerjap. Ia meletakkan garpunya, perlahan dan hati-hati.

"Ayahmu dan aku sudah bicara tadi malam," katanya lembut. "Kami sudah memutuskan untuk tidak membebanimu dengan masalah keuangan kami lagi. Jadi, jangan khawatir, ya?"

Ethan mengangkat bahu setengah, tetapi itu tidak menyembunyikan ketegangan di bahunya.

"Jangan khawatir?" Suaranya bergetar karena frustrasi. "Aku sudah cukup dewasa untuk khawatir. Aku memang khawatir. Setiap hari."

"Ethan," kata Aaron tegas tapi tidak kasar, "kamu sudah melakukan lebih dari cukup. Kuliah, toko buku. Umurmu dua puluh. Itu sudah cukup."

"Banyak," ulang Ethan, bersandar di kusen pintu, menyilangkan tangan. "Itu belum cukup kalau aku bisa melihatnya menghancurkanmu. Aku tidak minta izin untuk peduli. Aku sudah melakukannya. Aku ingin membantu."

Ekspresi Aaron melembut. Namun, kerutan di dahinya semakin dalam. Kerutan yang muncul karena bertahun-tahun menanggung beban sendirian.

Elise mendesah dan melipat tangannya di atas meja.

"Kita masih menunggak dua ribu lima ratus untuk sewa," akunya pelan. "Dan untuk belanja bahan makanan dan utilitas... mungkin seribu lagi."

Ethan menghitungnya tanpa berkedip.

$3.500.

Dulu, angka itu pasti akan menghancurkannya. Tapi sekarang?

"Saya akan menanganinya," katanya.

Aaron berhenti sejenak di tengah-tengah meraih kopinya. "Apa maksudmu, 'menanganinya'?"

Nada suaranya setengah tidak percaya, setengah khawatir.

"Maksudku, aku sudah mendapatkannya," kata Ethan. Tenang. Tegas. Yakin. "Biar aku yang urus."

Aaron menoleh ke Elise, tertawa kecil tak percaya. "Anak itu sudah gila."

"Aku serius, Ayah."

Aaron menggelengkan kepalanya. "Itu bukan tugasmu. Seharusnya kau tidak perlu melakukannya. Begini, aku menyesal telah bergantung padamu sebelumnya. Kita bisa—"

"Mengelola?" Ethan menyela, kini lebih tajam. "Ayah, Ayah sudah 'mengelola' selama bertahun-tahun. Rasanya menyiksa. Biar aku bantu. Kumohon. Giliranku."

Sebelum mereka sempat berkata apa-apa lagi, ia mengeluarkan ponselnya. Jari-jarinya bergerak cepat. Halus. Seolah ia sudah membuat keputusan berjam-jam yang lalu.

Dia berhenti sejenak pada angka itu, lalu menggandakannya.

$7.000.

Cukup untuk membayar tagihan, dan mungkin membiarkan mereka bernapas. Ia ingin memberi lebih, tetapi itu akan membuatnya semakin sulit bernapas lagi.

Suara dengungan lembut dari keberhasilan transfer memecah keheningan.

Ethan meletakkan telepon di atas meja. Bersandar.

“Periksa akun Anda.”

Aaron dan Elise bertukar pandang, waspada dan ragu. Aaron mengeluarkan ponselnya. Jempolnya bergerak-gerak. Lalu mengetuk.

Dia membeku. Elise juga.

Napasnya tercekat seperti baru saja dipukul, tetapi lembut.

Kelegaan terpancar di wajahnya, perlahan namun cerah. Elise mencondongkan tubuh, matanya terbelalak. Tangannya segera menutup mulutnya.

"Ethan..." bisik Aaron. "Bagaimana?"

"Tidak apa-apa," kata Ethan. "Kamu tidak perlu tahu."

Ruangan itu menjadi hening. Tak seorang pun bergerak.

Kartun terus diputar di latar belakang—tawa dan kekacauan dan kegembiraan seolah tidak terjadi apa-apa.

Lalu Aaron menghela napas panjang dan gemetar.

Elise menyeka matanya.

Tak seorang pun mengatakan apa pun lagi.

Namun semuanya telah berubah.

1
Proposal
penulis: Nuh Caelum
Nino Ndut
Masih rada aneh dgn metode penulisannya untuk novel sistem kek gini soalnya biasanya novel tema sistem tuh cenderung ringan tp disini berasa berat n kompleks bgt.. jd berasa bukan sistem yg ingin ditampilkan tp pebih ke “penjabaran” karakter dinovel ini y..
Nino Ndut
Hmm.. model penulisan n penjabarannya beda y dari novel sistem lainnya..
D'ken Nicko
terharu dgn bab ini ,jika 1 saja tiap keluarga bisa menhadirkan perubahan positiv...
Budiarto Taman Roso
sepertinya MC kita emang gak pernah lihat dunia bekerja.. terlalu naif. terkesan bloon., atau memang author sengaja membuat tokoh utama seoerti itu.
Erlangga Wahyudi
Br skg baca novel ttg sistem yg mc nya ketakutan ambil uang cash di bank...pdhl tinggal transfer kan brs hadeeehhh thor
Jacky Hong
gila
Aisyah Suyuti
menarik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!