SISTEM TRILIUNER SUKSES
Ethan Cole melangkah keluar dari The Good Books. Kebisingan Kota Novan berdengung di belakangnya, tetapi semuanya terasa jauh. Seperti kebisingan latar belakang dalam kehidupan yang terus berjalan tanpanya.
Dia berhenti sejenak.
Langit menyala dengan warna-warna senja. Jingga, merah muda, dan keemasan. Orang-orang di sekitarnya mengaguminya, memotretnya, dan tersenyum.
Ethan tidak melihat dua kali.
Dulu ia peduli. Sekarang, ia hanya teringat betapa cepatnya waktu berlalu, dan betapa sedikit yang bisa ia tunjukkan.
"Liburan musim panas," gumamnya sambil menggosok tengkuknya. "Lebih tepatnya, bertahan hidup di musim panas."
Jalanan penuh sesak dengan orang-orang yang bergegas. Para pekerja kantoran menuju kereta. Para remaja nongkrong seakan dunia milik mereka. Para pedagang saling berteriak untuk menjual sisa makanan mereka.
"Minggir!" teriak seseorang di belakangnya. "Aku akan ketinggalan kereta!"
Ethan nyaris tak bereaksi. Ia hanya minggir dan terus berjalan.
Seperti inikah hidup setelah lulus? Hanya... kebisingan dan tenggat waktu?
Sekelompok remaja tertawa terbahak-bahak di luar kafe. Bebas, santai, seolah dunia tak pernah berkata "tidak" kepada mereka.
Dia memeriksa teleponnya. 19:13
Shift-nya sudah selesai, tapi badannya masih terasa berat. Seolah stresnya belum sampai kena memo.
Liburan musim panas telah resmi dimulai. Tapi bagi Ethan, rasanya masih sama saja. Hanya pekerjaan, tagihan, dan berusaha untuk tetap selangkah lebih maju daripada tertinggal.
Seminggu yang lalu, dia menelepon Pak Parker di toko buku. Dia pemiliknya.
"Tentu, ayo kembali," kata pria itu santai. Seolah tak ada yang berubah.
Jadi Ethan melakukannya.
Mengisi ulang persediaan. Memperbaiki printer lama. Berurusan dengan pelanggan yang selalu dalam suasana hati yang buruk. Pekerjaan itu tidak menyenangkan. Tidak asyik. Tapi bayarannya lumayan.
Jelas bukan petualangan musim panas yang biasa ia bayangkan saat masih muda.
Tetapi mungkin musim panas seperti itu tidak diperuntukkan bagi orang seperti dia.
Pekerjaan paruh waktu itu memang tidak banyak membantu. Hanya cukup untuk membeli beberapa kebutuhan pokok, mungkin untuk mengurangi beban tagihan. Pekerjaan itu sedikit meringankan beban orang tuanya. Tapi berapa pun jam ia bekerja, perasaan itu tetap ada.
Perasaan tidak cukup.
Ia melekat padanya. Mengikutinya pulang. Berbisik di telinganya saat ia terjaga di malam hari, bertanya-tanya apakah hanya ini yang akan ia alami.
Ia terus berjalan, kepala tertunduk, tenggelam dalam pikiran yang berputar-putar seperti kaset rusak. Keraguan. Tekanan. Rasa bersalah.
Kemudian...
BERDENGUNG!
Ponselnya bergetar di saku. Sebuah pengingat tajam bahwa dunia masih berputar di sekelilingnya.
Dia menariknya keluar, sambil mengusir kabut dalam pikirannya.
Ibu (Pesan Suara): “Hei sayang, bisa beli bahan makanan dulu dalam perjalanan pulang? Seperti biasa, dan... pemiliknya mampir lagi. Kita harus bayar sewanya hari Jumat. Boleh aku minta kamu bantu bulan ini juga?”
Ethan terdiam sejenak, menatap pesan itu, merasakan gelombang kelelahan melandanya.
' Bagaimana saya dapat mengatur waktu ini?'
Dia membuka aplikasi perbankannya, Novan Trust, untuk memeriksa saldonya.
"Mari kita lihat apa yang kumiliki..." gumamnya, sambil menunggu aplikasinya dimuat.
Saat melihat saldo rekeningnya, dia mendesah dalam-dalam.
[Saldo Akun: $370,80]
Tekanan itu menghantamnya bagai ombak yang tak dapat ia hindari.
Dia ingin membantu. Untuk meringankan beban di rumah.
Tapi itu terlalu berlebihan.
Beban itu datang dari segala arah, dan apa pun yang dilakukannya, beban itu tidak pernah terasa cukup.
Usianya dua puluh tahun. Musim panas ini seharusnya menjadi liburan. Kesempatan untuk bernapas setelah dua semester berturut-turut penuh tenggat waktu dan kuliah.
Sebaliknya, hal itu terasa seperti jebakan.
Tidak ada kelas, tapi lebih banyak shift. Lebih banyak rasa bersalah. Lebih banyak rasa ingin tahu apakah ia sudah cukup berbuat untuk orang-orang yang selalu melakukan segalanya untuknya.
"Akan kupikirkan," gumamnya, hampir seperti doa. Seolah mengucapkannya dengan lantang akan mewujudkannya. Menjadikannya kenyataan .
Kata-kata itu menenangkannya, sedikit saja. Tidak cukup untuk memperbaiki apa pun, tetapi cukup untuk terus bergerak.
Dia menyelipkan kembali ponselnya ke saku dan berjalan mengikuti langkah orang-orang di malam hari.
Kota Novan mulai bersinar. Lampu-lampu jalan menyala. Lampu-lampu neon berkelap-kelip. Kota itu memiliki keajaiban khas kota. Semarak, riuh, selalu berpura-pura lebih terang dari yang sebenarnya.
Di kejauhan, menara-menara itu berkilauan bagaikan sebuah janji yang ditujukan untuk orang lain.
Jalanan bersih.
Pemandangan yang mahal.
Udara tenang.
Tidak ada yang seperti Edgewater, tempat yang kemungkinan besar akan terhapus dari peta, segera.
Di sanalah Ethan tinggal. Di mana gedung-gedung miring, cat mengelupas, dan mimpi-mimpi ditambal dengan pekerjaan sampingan dan harapan palsu.
Dia terus berjalan sambil tenggelam dalam pikirannya.
Sampai klakson mobil berbunyi.
"Hei! Awas, Nak!" sebuah suara membentak ketika sebuah mobil abu-abu melesat lewat, bannya berdecit di atas trotoar.
Ethan terhuyung mundur, jantungnya berdebar kencang.
"Maafkan aku!" teriaknya sambil mengangkat tangan secara naluriah, meskipun mobil itu sudah lama pergi.
Jantungnya masih berdebar kencang. Ia bahkan tak sadar telah melangkah ke jalan sampai klakson menyadarkannya.
“Hampir saja…”
Ia menghela napas pelan, mencoba meredakan debaran di dadanya. Selangkah lagi dan ia bisa saja masuk berita, tapi bukan berita baik.
Kali ini, saat ia mulai berjalan lagi, ia tetap memperhatikan trotoar.
Fokus. Hati-hati.
Satu langkah salah di kota ini, dan kamu tidak akan menyeberang jalan. Kamu akan menyeberang ke tempat lain.
Dia tidak tahu apakah itu berarti surga, neraka, atau sekadar ranjang rumah sakit, tetapi bagaimanapun juga, dia belum siap.
Belum.
Saat Ethan berbelok ke Briggs Street, sebuah suara memanggilnya dari belakangnya.
"Hei, Ethan! Tunggu sebentar!"
Ia melirik ke belakang dan melihat Jordan berlari kecil ke arahnya, santai seperti biasa. Pria itu bergerak seolah tak punya beban apa pun. Ia atletis dan santai, seolah dunia berputar di sekelilingnya, bukan sebaliknya.
Jordan melambat hingga berhenti di sampingnya, sedikit terengah-engah, tetapi masih memamerkan senyumnya yang santai. "Bung, aku baru saja mampir ke toko buku. Parker bilang kau pergi beberapa menit yang lalu."
"Iya," kata Ethan sambil membetulkan tali tasnya. "Selesai tepat waktu untuk pertama kalinya. Mau beli bahan makanan buat ibuku."
“Bahan makanan?” Jordan mengangkat sebelah alisnya.
Ethan menyeringai. "Lebih baik daripada lembur, percayalah."
Jordan terkekeh dan melangkah di sampingnya. "Keberatan kalau aku ikut? Aku tadinya mau beli kopi, tapi belanja bahan makanan denganmu kedengarannya jauh lebih seru."
Ethan mengangkat bahu. "Tentu. Aku cuma perlu cepat. Nggak mau Ibu menunggu."
"Oke. Silakan, Tuan Penanggung Jawab."
Toko kelontongnya memang tak jauh, tapi jalan kaki ke sana sudah menjadi tradisi tersendiri. Mereka tak mengatakannya keras-keras, tapi mereka berdua tahu. Ini bukan soal urusan. Melainkan soal hal-hal yang ada di antaranya.
Jalan-jalan.
Keheningan.
Ethan dan Jordan sudah berteman sejak SMP. Tidak ada yang dipaksakan. Tidak ada yang dramatis. Hanya persahabatan yang tumbuh karena kesamaan minat, lelucon ayah, kenangan konyol, dan keheningan panjang yang tak pernah terasa canggung.
Jordan mengambil jalan yang berbeda setelah SMA. Sementara Ethan langsung kuliah, Jordan mengambil jeda. Tahun jeda berganti tahun .
Katanya dia ingin "menemukan jati dirinya" dulu. Mereka bahkan kehilangan kontak selama berbulan-bulan. Saat itu, Ethan merasa itu berisiko.
Sekarang? Dia tidak begitu yakin.
Jordan menendang batu kecil di trotoar. "Jadi, apa rencanamu musim panas ini? Selain bekerja keras sampai mati muda?"
Ethan tertawa pelan. Otomatis, tidak geli. "Seperti biasa. Menabung. Membantu di rumah. Mungkin tidur lebih lama sekali atau dua kali kalau beruntung."
Jordan menoleh, alisnya terangkat. "Bung, umurmu sudah dua puluh. Seharusnya kau belum punya hipotek jiwa."
Ethan menyeringai tetapi tidak menjawab.
"Aku serius," tambah Jordan. "Ayo, Bung. Kita ke pantai akhir pekan depan. Minuman, udara segar, mungkin sedikit berjemur. Atau bahkan cewek. Kamu butuh itu."
Ethan ragu-ragu. Ia ingin menjawab ya. Tapi otaknya sudah menghitung biayanya. Yah, ada waktu, uang, dan tentu saja... rasa bersalah.
"Saya akan memikirkannya," katanya.
Jordan menyikutnya. "Itu kode untuk 'tidak', kan?"
"Mungkin."
“Lalu aku akan terus bertanya sampai jawabannya ya.”
Ethan menggeleng. "Aku ingin sekali, tapi aku harus bayar sewa bulan ini. Ibu stres memikirkan tagihan-tagihan itu."
Jordan sedikit melambat, kekhawatiran terpancar di wajahnya. "Kau masih butuh waktu untuk dirimu sendiri, Bung. Kalau kau tidak bernapas sekarang, kuliah akan memakanmu hidup-hidup saat dimulai lagi."
Ethan tersenyum tipis, senyum yang seolah berkata aku mengerti, tapi tidak sesederhana itu . Jordan tidak salah. Istirahat sejenak memang terdengar menyenangkan. Sangat menyenangkan. Tapi kenyataan tidak peduli.
Istirahat bukanlah sesuatu yang mampu Ethan lakukan.
Beberapa menit kemudian, mereka sampai di toko kelontong. Lahan sempit di pojok, papan nama terkelupas, lampu berkedip-kedip di atas pintu masuk. Tapi itu toko kelontong andalan di lingkungan itu. Murah. Terpercaya.
Jenis tempat yang membantu keluarga yang sedang berjuang untuk tetap bertahan.
Tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana pemiliknya menjaga harga tetap rendah. Beberapa orang mengatakan dia lebih mementingkan orang daripada keuntungan.
Ethan mendorong pintu hingga terbuka. Terdengar bunyi denting pelan.
"Selamat datang," gumam kasir tanpa mendongak. Ia duduk membungkuk di belakang meja kasir, setengah menggulir ponselnya, setengah berharap hari ini segera berakhir.
Ethan dan Jordan mengangguk, lalu berpisah. Ethan mengambil keranjang dan langsung menuju ke barang-barang penting—susu, roti, telur, dan beberapa kaleng.
Setiap barang terasa seperti sebuah keputusan. Dia tahu persis berapa banyak yang bisa dia belanjakan dan berapa yang tidak.
Jordan mengikuti di belakang, malas melihat-lihat sampai ia menemukan sekantong permen asam. Ia melemparkannya ke keranjang Ethan.
Ethan meliriknya. "Permen? Benarkah?"
Jordan menyeringai. "Itu namanya keseimbangan. Kau butuh sedikit rasa manis dalam hidupmu."
Ethan mengangkat sebelah alisnya. "Ini asam."
“Sama saja, hanya dengan pukulan.”
Mereka berdua terkekeh. Tawa kecil yang saling berbagi, mengingatkan Ethan mengapa kehadiran Jordan selalu membuat segalanya terasa lebih ringan.
Saat mereka menuju kasir, Jordan mencondongkan tubuhnya. "Hei, apa kau dengar tentang pembobolan di toko elektronik di ujung blok itu?"
Ethan berkedip. "Tidak. Kapan?"
"Tadi malam. Seluruh tempat itu dibersihkan. Dan lihat ini. Tidak ada alarm, tidak ada saksi. Bahkan jendela yang pecah pun tidak ada."
"Itu... aneh."
Jordan menyeringai. "Namun."
Jordan merendahkan suaranya. "Benar, kan? Bagaimana kalau itu bukan perampokan biasa? Bagaimana kalau itu sesuatu... yang lain?"
Ethan menatapnya. "Biar kutebak. Kekuatan super?"
Jordan mengangkat bahu, setengah serius, setengah main-main. "Hei, hal-hal aneh memang pernah terjadi."
“Tidak di kota ini .”
Ethan menyerahkan uangnya di kasir. Jordan meraih dompetnya sendiri, tetapi Ethan menghentikannya dengan anggukan. "Satu dolar. Aku yang ambil."
Dia meraih tas itu, mengeluarkan permen, dan melemparkannya ke Jordan.
"Terima kasih, Bung," kata Jordan, menerimanya sambil menyeringai.
Di luar, udara telah mendingin. Kebisingan kota mereda saat mereka berbelok di jalan yang lebih sepi. Untuk pertama kalinya setelah berhari-hari, Ethan merasakan tekanan di dadanya mereda—sedikit saja.
Ia membiarkan dirinya menikmatinya. Keheningan. Kedamaian. Meski takkan bertahan lama.
Mereka sampai di sudut tempat mereka biasanya berpisah.
Jordan menepuk pundaknya. "Coba pikirkan pantainya, oke? Kamu butuh istirahat total."
Ethan menyeringai. "Tidak janji. Tapi aku akan memikirkannya."
"Cukup bagus. Kirim pesan saja." Jordan memberi hormat malas lalu berlari kecil, menghilang di bawah cahaya keemasan lampu jalan.
Ethan memperhatikannya pergi.
'Apakah itu yang kulewatkan? Kehidupan yang masih bisa bernapas?'
Dia tidak memikirkannya. Tak ada gunanya. Dia menggeser tas belanjaan di tangannya dan pulang.
Keheningan menyelimuti dirinya bagai selimut, tetapi pikirannya terus berputar, sama seperti biasanya.
Saat ia mendekati gedung apartemennya, sesuatu membuatnya berhenti.
Udara terasa lebih berat.
Langit di atas, yang dulu lembut dan menenangkan, kini tampak... redup. Bintang-bintang meredup. Sunyi. Seolah sesuatu yang tak terlihat menekan kota.
Rasa dingin menjalar di tulang punggungnya.
Dia mendongak. Napasnya tercekat sesaat.
Rasanya seperti dunia menahan napas.
Dia menepisnya. Hanya lelah. Itu saja.
Dia menaiki tangga gedungnya, berhenti di pintu.
Perasaan itu masih terasa. Bukan takut, tepatnya. Hanya perasaan bahwa ada sesuatu yang berubah. Halus. Gelisah.
Dia melangkah masuk.
Realitas kembali sepenuhnya. Belanjaan harus disimpan, tagihan harus diperiksa, hari lain menanti.
Tapi beban aneh di udara itu?
Dia tidak pergi.
Tidak sepenuhnya.
Beban kenyataan kembali menghimpit pundaknya, tetapi perasaan gelisah masih ada, seperti bisikan tentang sesuatu yang akan terjadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments