NovelToon NovelToon
Glass Wing

Glass Wing

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Cinta Terlarang / Penyeberangan Dunia Lain / Fantasi Wanita / Saudara palsu / Dark Romance
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Vidiana

—a dark romance—
“Kau tak bisa menyentuh sayap dari kaca… Kau hanya bisa mengaguminya—hingga ia retak.”

Dia adalah putri yang ditakdirkan menjadi pelindung. Dibesarkan di balik dinding istana, dengan kecantikan yang diwarisi dari ibunya, dan keheningan yang tumbuh dari luka kehilangan. Tak ada yang tahu rahasia yang dikuburnya—tentang pria pertama yang menghancurkannya, atau tentang pria yang seharusnya melindunginya namun justru mengukir luka paling dalam.

Saat dunia mulai meliriknya, surat-surat lamaran berdatangan. Para pemuda menyebut namanya dengan senyum yang membuat marah, takut, dan cemburu.

Dan saat itulah—seorang penjaga menyadari buruannya.
Gadis itu tak pernah tahu bahwa satu-satunya hal yang lebih berbahaya daripada pria-pria yang menginginkannya… adalah pria yang terlalu keras mencoba menghindarinya.

Ketika ia berpura-pura menjalin hubungan dengan seorang pemuda dingin dan penuh rahasia, celah di hatinya mulai terbuka. Tapi cinta, dalam hidup tak pernah datang tanpa darah. Ia takut disentuh, takut jatuh cinta, takut kehilangan kendali atas dirinya lagi. Seperti sayap kaca yang mudah retak dan hancur—ia bertahan dengan menggenggam luka.

Dan Dia pun mulai bertanya—apa yang lebih berbahaya dari cinta? Ketertarikan yang tidak diinginkan, atau trauma yang tak pernah disembuhkan?

Jika semua orang pernah melukaimu,
bisakah cinta datang tanpa darah?



Di dunia tempat takdir menuliskan cinta sebagai kutukan, apa yang terjadi jika sang pelindung tak lagi bisa membedakan antara menjaga… dan memiliki?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

3

Langkah kaki mereka berdua menyusuri lorong sekolah bergema ringan di antara dinding marmer yang dingin. Koridor-koridor megah sekolah bangsawan Argueda memang selalu tampak seperti istana kecil: langit-langit tinggi, jendela-jendela besar, dan tiupan angin pagi yang membawa suara bisik-bisik.

Namun Elvero berjalan dengan santai, seolah tak menyadari—atau sengaja mengabaikan—pasang-pasang mata yang mengikuti gerak mereka dari balik kerumunan. Tatapan penasaran. Beberapa kagum. Beberapa sinis. Sebagian besar bertanya-tanya.

Gadis asing yang baru muncul, berjalan di samping Elvero.

Bukan hal yang biasa.

Langkah Elvero bergaung lembut di sepanjang lorong sekolah bangsawan Argueda. Sekolah itu—tempat para anak ningrat dan keturunan darah murni berkumpul—memiliki standar tinggi dalam segala hal. Dari tata cara berjalan, cara bicara, bahkan cara memandang orang lain.

Tapi Elvero tidak memedulikan semua itu.

Pemuda berambut pirang bergelombang itu berjalan santai di samping Ara, gadis baru yang belum genap sehari tinggal bersamanya. Seolah ia tak menyadari bahwa hampir setiap kepala di lorong itu diam-diam menoleh. Menilai. Menghitung.

Bukan hanya karena Ara—murid baru misterius yang langsung tinggal bersama Elvero. Tapi karena Elvero sendiri sudah menjadi teka-teki yang belum pernah berhasil dipecahkan siapa pun.

Tampan. Cerdas. Karismatik. Tetapi tidak ada yang benar-benar tahu siapa dia.

Namanya hanya “Elvero”.

Tanpa nama keluarga.

Tanpa lambang bangsawan.

Tanpa riwayat jelas.

Namun tidak satu pun guru atau petinggi sekolah berani meremehkannya.

Seseorang pernah mencoba menyelidikinya, mengajukan pertanyaan pada kepala sekolah—dan hasilnya? Orang itu langsung dimutasi ke akademi luar kota. Sejak saat itu, semua siswa tahu aturan tak tertulis: jangan tanyakan latar belakang Elvero.

Tapi desas-desus tetap beredar.

Ada yang bilang dia anak haram bangsawan tinggi dari kerajaan asing. Ada juga yang berbisik bahwa dia cucu dari penyihir perang yang hilang. Bahkan ada yang menyebut dia salah satu calon pewaris takhta yang sengaja disembunyikan dari dunia.

Tapi apa pun kebenarannya, satu hal tak terbantahkan:

Dia punya aura yang membuat siapa pun menahan napas.

Kehadiran Ara sendiri disamping Elvero seperti noda yang disengaja di atas kanvas putih: kecil, tapi langsung menarik perhatian.

Gadis itu mungil. Hanya setinggi bahu Elvero. Tubuhnya tampak rapuh, seolah angin bisa membawanya terbang kapan saja. Tapi siapa pun yang melihat lebih dari tiga detik akan tahu: dia bukan sekadar boneka porselen biasa.

Dia adalah hidup. Dan lebih dari itu—dia berbahaya.

Rambutnya basah sebagian, tergerai lembut menyentuh bahu dalam kilau lembut warna gelap yang tampak kontras dengan kulitnya yang pucat bening. Matanya, bulat dan dalam, seperti kolam tenang yang menyimpan sesuatu di dasarnya. Tatapannya lugu—namun saat tersenyum, bibirnya melengkung terlalu manis, terlalu tepat, seolah dipahat untuk merusak.

Dan banyak yang sudah rusak karena wanita seperti itu. Seperti Yuki, ibunya.

Ara mewarisi pesona iblis penggoda yang tak diturunkan melalui ajaran, tetapi darah. Semacam aura magis yang tidak bisa diciptakan. Mata-mata yang menatapnya terlalu lama akan merasa tertarik tanpa alasan. Ingin melindungi, ingin mengklaim, ingin menyentuh… tanpa tahu dari mana keinginan itu muncul.

Dia tampak lemah.

Namun bukan lemah yang meminta belas kasihan.

Melainkan lemah yang membuatmu ingin berlutut.

Tapi jika seseorang cukup bodoh untuk mendekat tanpa penjagaan, mereka akan terjebak—seperti tikus yang datang karena bau madu, tidak sadar bahwa madu itu disiramkan di atas perangkap.

Ketika Mereka melangkah mendekati ruang pendaftaran, banyak yang tidak tahu harus memusatkan perhatian ke siapa—Elvero, si misterius tak tersentuh, atau Ara, si cantik mungil dengan aura racun manis.

Mereka terlihat seperti pasangan yang tak mungkin nyata.

“Berhenti melirik ke belakang,” kata Elvero ringan, matanya tetap lurus ke depan.

Ara tersentak kecil. “Maaf…”

“Kau tidak melakukan kesalahan.”

Dia berhenti di depan pintu ruangan pendaftaran, mendorongnya sedikit hingga terbuka.

“Masuklah. Aku tunggu di luar,” katanya.

“Baik…”

Ara melangkah masuk, tapi sebelum menutup pintu, dia sempat menoleh.

Dan melihat sosok Elvero berdiri di lorong, dengan tangan di saku celananya, kepala sedikit menunduk, dan sorot mata yang tak bisa dibaca siapa pun.

Tak peduli siapa dia sebenarnya—pagi itu, Ara tahu satu hal: Elvero bukan hanya pelindung.

Dia adalah seseorang yang akan menelan siapa pun yang menyakitinya, tanpa meninggalkan jejak.

...****************...

Setelah mengurus semua berkas pendaftaran dan mendapatkan jadwal kelasnya, Ara melangkah keluar dari ruang administrasi dengan map di tangannya. Hatinya baru saja tenang, namun langkahnya terhenti saat melihat pemandangan di depan lorong utama.

Elvero sedang berdiri membelakangi pilar, dan di depannya—Tania, dengan ekspresi memelas dan suara merajuk.

“Aku janji cuma lihat-lihat, Ver… Aku juga bisa bantu pilihkan pakaian buat Ara,” ucap Tania sambil meraih lengan Elvero, yang dengan halus ditarik menjauh olehnya.

“Tidak,” jawab Elvero dingin. “Kau sudah cukup ikut banyak hal dalam hidupku. Ini bukan urusanmu.”

Tania terlihat syok. Matanya membelalak sejenak, lalu memerah—antara marah dan tersinggung.

“Aku pacarmu, Elvero! Kau bilang sendiri tadi pagi! Apa salahnya aku ikut?” suara Tania naik satu oktaf, dengan nada yang tidak lagi manis.

Elvero menatapnya lama, tanpa mengedip. Wajahnya tetap datar, hanya sedikit ketegangan terlihat dari rahangnya yang mengencang. “Itu hanya formalitas. Jangan terlalu serius menanggapi sesuatu yang kau tahu sendiri bukan hal nyata.”

Di sisi lain, Kael berdiri bersandar pada dinding dengan tangan disilangkan, mengamati keduanya seperti seorang hakim menilai sandiwara di hadapannya. Pandangannya tidak pernah lepas dari Elvero… tapi begitu Ara muncul, dia menggeser sorot matanya, tajam dan menilai.

Ara berdiri terpaku, tidak tahu harus masuk ke dalam situasi itu atau berpura-pura tidak melihat.

Elvero menyadari kehadirannya dalam sekejap. Tanpa melihat ke belakang, ia berkata datar namun jelas:

“Ara, kita pergi. Sudah cukup buang waktu di sini.”

Tania melangkah maju, hendak mengatakan sesuatu lagi—namun Kael, tanpa bicara, meraih lengannya dan menariknya mundur.

“Jangan mempermalukan dirimu,” gumam Kael pelan. “Dia bahkan tidak sedang melihatmu.”

Tania terdiam, menunduk, dan menggigit bibirnya. Ia tahu Kael benar.

Elvero berjalan mendekati Ara. Kali ini tanpa senyum, tanpa sapaan basa-basi. Dia meraih map dari tangan gadis itu, lalu melangkah mendahuluinya tanpa memberi penjelasan lebih lanjut kepada siapa pun.

Ara menatap sekilas pada Kael. Tatapan Kael begitu dalam, seolah berkata: Aku akan mencari tahu siapa kau sebenarnya.

Dan dengan perasaan campur aduk—Ara mengikuti Elvero.

...****************...

Suasana rumah makan itu tenang. Hanya terdengar denting halus dari alat makan yang bersentuhan dengan piring, dan percikan pelan dari dapur di belakang. Meja mereka terselip di sudut, sedikit terhalang tirai kain tipis yang menggantung sebagai pemisah antar ruang.

Makanan mereka datang—nasi hangat dengan potongan daging panggang, saus rempah lembut, dan sepiring kecil salad sayuran segar. Uap hangat mengepul dari mangkuk, dan aroma bumbu membuat perut yang kosong bergejolak diam-diam.

Ara mulai makan dengan tenang. Tangannya kecil dan gerakannya sopan, seperti gadis bangsawan yang dibesarkan dengan aturan makan yang ketat. Tapi tidak kaku. Ada ketulusan dalam cara dia menggigit, mengunyah, lalu menatap makanannya lagi seakan mencoba menikmati setiap rasa.

Elvero memperhatikannya sejenak, sebelum ikut makan.

“Enak?” tanyanya ringan.

Ara mengangguk. “Aku belum makan sejak pagi.”

“Kau terbiasa begitu?”

“Tidak. Dulu… selalu ada yang menyiapkan.” Senyumnya hambar. “Tapi sekarang aku harus menyesuaikan diri.”

Elvero tidak menjawab. Ia hanya mengambil sepotong daging dan memotongnya perlahan, seolah menyerap isi kalimat Ara lebih dalam daripada yang ditunjukkan.

Mereka makan dalam keheningan beberapa saat. Tidak canggung. Justru nyaman. Seperti dua orang yang saling tahu caranya diam bersama.

Sesekali Ara melirik Elvero—mencoba membaca isi pikirannya. Tapi pria itu, seperti biasa, hanya memberi apa yang ingin dia tunjukkan. Sisanya, tersembunyi di balik sorot mata tenangnya.

“Kenapa tempat ini?” tanya Ara akhirnya.

Elvero mengangkat bahu. “Jarang ada yang tahu. Dan kau butuh makan tanpa dikelilingi orang-orang yang membicarakanmu.”

Ara menunduk, tersenyum tipis. “Terima kasih.”

Elvero menatapnya lama. “Aku akan jaga semua itu, Ara. Selama kau di sini.”

Dan untuk sesaat, rasa lapar dan ketegangan di dada Ara menghilang.

Dia merasa… tidak sendirian.

“Kenapa kau berpacaran dengannya, kalau kau tidak menyukainya?” tanya Ara pelan

Elvero menatap Ara sejenak, lalu mengembuskan napas perlahan.

Tatapan itu—lembut namun seolah menyimpan terlalu banyak hal yang tak bisa diucapkan.

“Kael yang memintaku berpacaran dengannya,” katanya akhirnya.

Ara mengerutkan kening. “Kael?”

Elvero mengangguk. Ia memutar cangkir teh di tangannya, memperhatikan bayangan uap naik dari permukaannya sejenak sebelum melanjutkan.

“Dia sahabatku sejak kecil. Kau tahu, kadang… ada hal-hal yang kita lakukan bukan karena kita mau, tapi karena kita berhutang. Atau merasa harus menebus sesuatu.”

Ara tidak menjawab, menunggu dengan tenang.

“Dia menyukai Tania. Tapi Tania tidak pernah melihatnya. Aku—” Elvero berhenti sebentar, seperti menimbang apakah kata-katanya layak dikeluarkan, lalu meneruskan, “Aku hanya diminta membuat Tania terlihat cukup berharga, cukup diinginkan. Supaya orang lain berhenti merendahkannya. Tania dari keluarga bangsawan biasa, dan di sekolah ini… kau akan segera tahu, tidak semua bangsawan dipandang sama.”

“Dan kau bersedia?” bisik Ara, suaranya nyaris tak terdengar, antara tak percaya dan sedikit kecewa.

Elvero tersenyum kecil, getir. “Aku punya banyak alasan untuk bersedia. Dan sedikit alasan untuk menolak.”

Ia menatap mata Ara lama, dan dalam sorot matanya, gadis itu melihat sekelebat kelelahan. Ada sesuatu dalam diri Elvero—ketenangan yang penuh kepalsuan, seperti permukaan danau yang tenang tapi menyimpan arus kuat di bawahnya.

1
Vlink Bataragunadi 👑
hmmmm.... ada yg cemburu?
Vlink Bataragunadi 👑: oooh gitu, siap kak, aku ke sana dulu /Chuckle/
Vidiana A. Qhazaly: Mungkin supaya paham alur yg ini bisa baca di morning dew dulu klik aja profilku
total 2 replies
Vlink Bataragunadi 👑
kynya rameeee, tp awal bab byk kata kiasan yg aku blm ngerti
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!