seorang pemuda yang di paksa masuk ke dalam dunia lain. Di paksa untuk bertahan hidup berkultivasi dengan cara yang aneh.
cerita ini akan di isi dengan kekonyolan dan hal-hal yang tidak masuk akal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yellow street elite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Senja mulai turun ketika Chen Mo dan Zhou Lan akhirnya tiba kembali di Sekte Lembah Angin. Cahaya matahari yang terpantul di bebatuan lembah memberikan warna keemasan di antara bangunan-bangunan sederhana yang mulai tertutup bayangan.
Keduanya langsung menuju bengkel tempat Rynz biasanya menghabiskan waktu—dan seperti biasa, suara dentuman logam terdengar dari dalam.
Rynz sedang berdiri di depan tungku tempa, palu besarnya mengayun perlahan, membentuk pisau kecil dari baja ringan yang tampaknya hanya latihan tangan. Saat mendengar langkah kaki, ia menoleh.
“Sudah kembali?” tanyanya tanpa menoleh lama, lalu kembali memukul logam panas.
Chen Mo langsung duduk di kursi panjang sambil melepaskan napas panjang. “Kau tidak akan percaya apa yang kami alami.”
Zhou Lan meletakkan kantong kecil berisi bahan langka di meja. “Pertama, kami bertemu seseorang dari klan besar yang meminta dibuatkan belati. Tapi bukan itu yang paling mengejutkan.”
Chen Mo menyela, “Kami juga bertemu seorang wanita bangsawan. Namanya… Putri Huang Yue.”
Rynz mengangkat alis, kali ini benar-benar berhenti memukul logamnya. “Siapa?”
Zhou Lan menggeleng. “Kami juga tidak tahu pasti apa tujuannya. Tapi yang jelas, dia mencari seseorang yang disebut Angin Hitam dari Lembah Angin.”
Chen Mo menatap Rynz. “Dia bilang ingin berbicara langsung.”
Rynz menghela napas pendek, meletakkan palunya ke meja. “Aku hanya kebetulan lewat, dan mengayunkan palu ku. Tidak pernah memperkenalkan diri, apalagi berniat jadi pahlawan.”
Zhou Lan mengangkat bahu. “Sayangnya, sekarang nama itu mulai menyebar. Dan kalau benar dia berasal dari Klan Huang, cepat atau lambat, dunia luar akan mulai memandang ke arah kita.”
Chen Mo menatap ke luar bengkel, ke arah puncak-puncak lembah. “Apa yang akan kita lakukan jika lebih banyak bangsawan mulai datang? Mereka mungkin tidak akan seramah Putri itu.”
Rynz berdiri diam sejenak, lalu memandang tangannya sendiri. Bekas hitam pekat masih menyelimuti sebagian kulit di lengan kirinya.
“Kita tidak bisa lari selamanya,” ucapnya akhirnya. “Tapi selama ini masih sebatas ucapan dan rasa ingin tahu, kita tidak perlu menjawab apa pun.”
Zhou Lan tersenyum kecil. “Kau memang keras kepala. Tapi aku setuju.”
Chen Mo berdiri, merentangkan bahu. “Baiklah. Sekarang, bagaimana dengan belati dari sisik naga itu? Apakah kau bisa membuatnya tanpa menghancurkan bahannya lagi?”
Zhou Lan mengeluarkan kembali kantong kecil berisi sisik naga, potongan tanduk, dan debu kristal ungu tua, lalu meletakkannya di meja batu bengkel.
“Dia tidak menyebut angka pasti,” ucap Zhou Lan perlahan, “tapi dia bilang... jika belati itu bisa memuaskan, maka dia akan membayar dengan sepuluh kali harga pasar biasa.”
Chen Mo menambahkan, “Dia juga bilang, kalau hasilnya benar-benar luar biasa, maka kita akan mendapat kontrak jangka panjang—dan dia akan merekomendasikan kita ke klan lain.”
Rynz mengangkat alisnya, memandang bahan-bahan itu tanpa menyentuhnya.
“Sepuluh kali harga pasar...?” gumamnya pelan. “Berarti... puluhan ribu emas?”
Zhou Lan mengangguk serius. “Minimal. Bisa lebih kalau belatinya punya efek spiritual.”
Chen Mo menyeringai. “Masalahnya tinggal satu. Kalau api hitammu membakar bahan ini jadi abu lagi, maka bukan cuma tawarannya yang hilang. Bisa-bisa orang itu balik dengan pasukan.”
Rynz melipat tangan. “Lalu kenapa kalian menerimanya tanpa bicara denganku dulu?”
Chen Mo tertawa kering. “Karena kami percaya kau tidak akan menolak tantangan seperti ini.”
Zhou Lan menambahkan, “Dan karena kalau berhasil, sekte ini bisa hidup lebih layak dari sebelumnya.”
Rynz mendengus pelan. “Hmph. Baik. Aku akan coba. Tapi jangan harap jadi dalam sehari. Aku harus mencari suhu panas yang tepat untuk memanaskan bahan ini.”
Zhou Lan menepuk kantongnya perlahan. “Kalau berhasil, kau bukan hanya pandai besi dari sekte kecil lagi. Tapi nama ‘Angin Hitam’ bisa jadi terkenal di seluruh wilayah barat.”
Rynz menatap bahan itu tajam.
“Biarkan mereka mengenal paluku dari suara dentumannya, bukan dari namaku.”
Selama empat hari empat malam, bengkel Rynz tidak pernah benar-benar sepi. Cahaya merah-oranye dari tungku tempa terus menyala, menyemburkan gelombang panas yang menekan udara di sekitarnya. Suara dentuman logam terdengar berulang-ulang, seperti irama yang membelah kesunyian lembah.
Rynz berdiri di tengah-tengah bengkel, tubuhnya basah oleh keringat. Di hadapannya, logam dari sisik naga yang sangat keras telah dia lelehkan sedikit demi sedikit—bukan dengan api biasa, tapi dengan kendali penuh terhadap api hitam yang selama ini sulit dia jinakkan.
Dia tidak bisa menggunakan nyala penuh seperti saat menempa tombak atau sarung tangan sebelumnya. Kali ini, api hitam itu dipusatkan di ujung jari, diarahkan sedetail mungkin ke bagian logam yang harus dibentuk—sedikit demi sedikit, dengan ketelatenan seperti menulis dengan bara api.
Setiap kesalahan kecil bisa membuat bahan langka itu hancur tak bersisa.
Beberapa kali, bahan sempat bergetar, seolah menolak untuk dipaksa. Beberapa kali juga Rynz harus berhenti, menutup matanya, lalu berbicara kepada dirinya sendiri.
“Tenang. Bukan dengan kekuatan. Tapi dengan tekanan yang pas…”
Pada malam keempat, saat bulan menggantung di atas lembah, dan kabut tipis mulai menyelimuti sekitar, terdengar suara dentuman terakhir.
Tang.
Rynz menurunkan palunya, napasnya memburu. Di hadapannya, terletak sebuah belati sepanjang satu lengan, ramping, namun tebal di bagian pangkal. Permukaannya berwarna hitam mengilat, seperti kulit naga yang dilapisi arang. Di sisi bilahnya, terlihat pola-pola sisik yang menyatu alami, bukan ukiran—tapi sisa dari struktur asli bahan itu.
Namun yang paling mencolok adalah gagangnya, yang dibentuk dari pecahan tanduk naga kecil. Terasa hangat saat disentuh, seolah menyimpan nyala di dalamnya.
Ketika Rynz menyentuhkan ujung jarinya ke bagian bilahnya, belati itu mengeluarkan kilatan kecil—flick—seberkas api merah keemasan menari perlahan dari ujungnya, hanya sebesar jari, tapi cukup untuk membuat udara sekitarnya bergelombang.
“Seolah... ada napas naga di dalamnya,” gumamnya pelan.
Api itu padam sendiri dalam beberapa detik, tapi hawa panasnya masih tertinggal.
Rynz mengangkat belati itu, membawanya ke luar bengkel. Di bawah cahaya bulan, logam itu memantulkan kilau hitam merah seperti bara hidup.
Chen Mo dan Zhou Lan yang duduk menunggu di luar langsung berdiri.
“Sudah selesai?” tanya Zhou Lan cepat.
Rynz hanya mengangguk dan menyerahkan belati itu.
“Pegang. Tapi hati-hati. Nafasnya masih liar.”
Chen Mo mengambilnya, lalu mengangkatnya di depan cahaya obor.
“Ini… ini bukan sekadar senjata. Ini… karya seni.”
Zhou Lan menatap api kecil yang muncul lalu menghilang. “Dengan ini… kita bisa membuka pintu ke pasar-pasar besar.”
Rynz menghela napas panjang. “Terserah kalian mau menjualnya ke siapa. Tapi jangan beri nama benda itu atas namaku. Biarkan orang menebak-nebak siapa yang menempanya.”
Zhou Lan tersenyum samar. “Kalau begitu, mari kita beri nama…”
“Belati Nafas Naga.”
Keesokkan paginya, kabut tipis masih menyelimuti lereng lembah saat sesosok gadis berdiri tegak di depan gerbang kayu Sekte Lembah Angin. Jubah putihnya yang dihiasi bordir emas tampak mencolok di antara bangunan-bangunan sederhana dan semak-semak liar yang tumbuh di sekitar jalan masuk.
Itulah Putri Huang Yue.
Wajahnya tenang, namun sorot matanya tajam. Di belakangnya berdiri dua orang pengawal dalam pakaian hitam, jelas bukan orang biasa. Namun ia tetap berdiri paling depan, seolah mewakili kehendaknya sendiri.
Pintu gerbang terbuka pelan, dan dari dalam muncul seorang lelaki tua berambut kelabu yang diikat longgar ke belakang. Jubahnya sederhana, hanya sebatas kain kusam yang dililitkan asal, namun aura yang terpancar dari langkahnya membuat udara terasa menegang.
Lu Ban.
Tatapan keduanya bertemu. Yue membungkuk ringan dengan hormat, “Salam hormat, Senior. Aku Huang Yue dari Klan Huang. Mohon maaf jika kedatanganku mengganggu.”
Lu Ban hanya mengangguk pelan, menatap gadis itu dari ujung kepala hingga kaki. Sorot matanya tak menilai dari kekayaan atau status, melainkan dari beban yang dibawa dalam langkahnya.
“Aku tahu siapa kau,” ucap Lu Ban pelan. “Dan aku tahu tujuanmu.”
Yue mengangkat kepalanya. “Apakah Angin Hitam benar-benar berasal dari tempat ini?”
Lu Ban tidak langsung menjawab. Ia berjalan perlahan, menoleh sekilas ke arah halaman sekte yang masih lengang. “Itu hanya nama yang orang-orang buat sendiri. Di tempat ini, semua muridku belajar untuk tidak dikenal.”
Yue tampak menahan napas sejenak, lalu berkata pelan, “Aku melihat sendiri cara dia menyelamatkanku. Dia tidak meminta imbalan, tidak menyebut nama. Tapi ayahku ingin memastikan—jika kekuatan seperti itu tumbuh di lembah yang sepi ini... maka kami harus tahu.”
Lu Ban menoleh padanya, kali ini dengan senyum samar.
“Kalau kau ingin tahu siapa dia, jangan tanya padaku.”
Yue mengerutkan kening. “Lalu…?”
“Lihat saja hasil yang ditinggalkannya.”
Dari kejauhan, terdengar suara dentuman besi dari arah bengkel. Yue menoleh pelan ke arah sana, dan untuk sesaat, matanya terpaku pada percikan api hitam yang membumbung di udara.