Aku mengenalnya sejak kuliah. Kami bertiga—aku, dia, dan sahabatku—selalu bersama.
Aku pikir, setelah menikah dengannya, segalanya akan indah.
Tapi yang tak pernah kuduga, luka terdalamku justru datang dari dua orang yang paling kucintai: suamiku... dan sahabatku sendiri.
Ketika rahasia perselingkuhan itu terbongkar, aku dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan—bahwa aku sedang mengandung anaknya.
Antara bertahan demi anak, atau pergi membawa kehormatan yang tersisa.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah tentang dikhianati, bangkit, dan mencintai diri sendiri...
"Suamiku di Ranjang Sahabatku" — Luka yang datang dari rumah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizki Gustiasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perut ini, luka ini..
Aku berdiri di depan jendela, memandangi pagi yang mendung. Tanganku secara refleks menyentuh perutku yang masih datar.
Masih tak terlihat. Tapi aku tahu, ada kehidupan kecil yang tumbuh di sana. Sebuah kehidupan yang datang dari luka, tapi tak layak menanggung beban pengkhianatan.
Sudah tiga hari sejak aku tahu aku hamil.
Tiga hari sejak aku memutuskan… tidak akan memberitahu Raka.
Aku datang ke rumah sakit seorang diri.
Berjalan perlahan menyusuri lorong beraroma antiseptik, dengan buku catatan kehamilan yang baru saja diberikan perawat. Di dalamnya ada nama bayiku, yang masih kusebut Baby N, karena aku bahkan belum siap memilih nama.
“Usia kandungan Ibu sekitar lima minggu,” kata dokter sambil tersenyum. “Kondisinya bagus. Tapi Ibu harus hindari stres, ya. Sangat penting untuk menjaga emosi saat kehamilan awal.”
Aku hanya mengangguk pelan.
Andai semudah itu...
Bagaimana aku bisa tenang saat orang yang seharusnya menjagaku malah menusukku dari belakang?
Saat aku keluar dari rumah sakit, dunia terasa ramai. Tapi dalam kepalaku hanya ada satu suara: pergi atau bertahan?
Aku memikirkan rumah kontrakan kecil milik pamanku di Bandung. Tempat itu kosong, jauh dari keramaian, dan tak seorang pun akan tahu aku ada di sana.
Kalau aku pergi… aku bisa memulai lagi. Menata hidup tanpa perlu melihat wajah Tania atau Raka.
Tapi bagaimana dengan pekerjaanku? Tabunganku? Masa depanku?
Aku bukan superwoman. Aku cuma perempuan yang hancur, mencoba berdiri lagi dengan perut yang akan membesar bulan depan.
Malamnya, aku duduk di meja makan. Ibu menatapku penuh perhatian.
“Kamu masih ingin merahasiakan kehamilan ini dari Raka?” tanyanya pelan.
Aku menatap piring nasi yang sudah dingin. “Aku nggak tahu apa yang Raka akan lakukan. Mungkin dia akan menganggap bayi ini sebagai beban.”
“Tapi dia ayahnya.”
“Dan dia juga laki-laki yang tidur dengan sahabatku, Ma.”
Hening menyelimuti ruangan. Aku bisa melihat mata ibuku memerah, tapi dia menahan air matanya.
“Lakukan apa pun yang membuatmu tenang, Nayla. Tapi ingat… kamu nggak sendiri. Ibu disini untukmu”
Besoknya, saat aku sedang memasukkan cucian ke mesin, bel rumah berbunyi. Aku buru-buru menghapus keringat dan membuka pintu.
Dan di sanalah dia.
Tania.
Dengan blouse putih dan senyum seolah tak terjadi apa-apa.
"Nay... aku bisa bicara sebentar?"
Aku berdiri mematung. Tanganku mengepal di balik pintu. Tapi tubuhku tak bergerak.
"Please… aku cuma mau menjelaskan."
"Udah cukup banyak yang terjadi, Tan. Aku nggak butuh penjelasan. Aku butuh kamu—hilang dari hidupku."
Dia menunduk, air matanya jatuh. “Aku… aku beneran nggak bermaksud nyakitin kamu. Semuanya salah. Aku... nggak bisa ngelawan perasaan aku ke Raka…”
Aku menghela napas panjang.
“Jadi kamu milih ngelawan logika, nginjak harga diriku, dan tidur sama suami sahabatmu?”
Tania menangis. Tapi aku tidak.
Air mataku sudah habis sejak malam itu.
Sebelum Tania sempat membalas, aku menutup pintu.
Kudengar dia mengetuk, lalu menangis pelan di luar rumah. Tapi aku tak peduli lagi.
Aku kembali ke kamar, merebahkan tubuhku di ranjang. Perutku masih datar, tapi terasa hangat saat kusentuh. Ada satu makhluk mungil di sana yang tak tahu apa-apa… tapi membuatku kuat.
"Kita hanya punya satu sama lain sekarang, Nak… dan Mama janji, kita akan bertahan."