Balas dendam? Sudah pasti. Cinta? Tak seharusnya. Tapi apa yang akan kau lakukan… jika musuhmu memakaikanmu mahkota?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon karinabukankari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 2: Ashes Beneath the Throne
Istana Ravennor mungkin tampak tenang dari luar—menara-menara megah yang menjulang, gerbang perunggu yang berkilau saat matahari menyentuhnya, dan taman-taman indah yang penuh bunga musim semi. Tapi di dalam dinding emas itu, ada sesuatu yang busuk.
Seraphine merasakannya setiap langkah ia berjalan.
Sehari setelah pertemuannya dengan Caelum di balkon, dia menjalani rutinitas istana dengan senyum terlatih. Para pelayan mulai memanggilnya dengan hormat, para bangsawan muda mulai bergosip tentang kecantikannya, dan para ibu istana menyusun jadwal pelajaran istana untuknya seolah dia memang calon ratu. Tapi setiap ruang yang dia masuki dipenuhi bayang-bayang.
Dan bukan bayangannya sendiri.
Sore itu, ia mengikuti Lady Mirella ke ruang perjamuan kecil tempat Dewan Adat berkumpul. Para anggota dewan—semuanya pria tua berkepala putih, mengenakan jubah panjang berlapis lambang keluarga mereka—menatapnya seperti menilai harga seekor kuda unggulan.
“Lady Seraphine,” ucap Lord Halric, kepala dewan, dengan suara datar. “Kami menyambut kehadiranmu sebagai bagian dari keluarga kerajaan Ravaryn… setidaknya sampai pernikahan berlangsung.”
“Suatu kehormatan,” jawab Seraphine dengan anggukan dalam, menyembunyikan taring di balik senyumnya.
“Namun kami ingin memperjelas satu hal,” lanjut Lord Halric. “Takhta bukan hanya sekadar simbol. Ia mewarisi beban, darah, dan kebenaran. Kami harap Anda siap menghadapi semua itu.”
Seraphine menahan pandangannya. “Tentu, milord. Saya telah menanggung beban lebih berat dari emas di mahkota mana pun.”
Beberapa anggota dewan saling berpandangan.
Lady Mirella mencengkeram lengan Seraphine saat mereka keluar.
“Mereka tak menyukaimu,” bisiknya. “Kau terlalu cerdas… terlalu percaya diri.”
“Bagus,” bisik Seraphine balik. “Aku tak datang untuk dicintai.”
Malam berikutnya, Seraphine menyelinap keluar dari sayap timur istana dan menuju kapel tua yang sudah tidak dipakai. Bangunan itu sunyi, dipenuhi debu dan puing dari langit-langit runtuh. Di belakang altar, ada celah kecil—cukup untuk satu tubuh merangkak ke dalamnya. Seraphine merangkak masuk.
Lorong bawah tanah yang gelap menyambutnya dengan dingin batu dan aroma lembap. Ia menyalakan lentera kecil dan melangkah perlahan, menyusuri dinding yang retak. Tanda-tanda kuno Ordo Umbra terpahat samar di tembok.
Setelah belokan ketiga, seseorang menunggu.
Pria berjubah abu-abu, wajah tertutup kain, berdiri di bawah lentera gantung.
“Lady Verndale,” sapanya pelan.
Nama itu terdengar seperti bisikan hantu.
“Kau tahu siapa aku,” ucap Seraphine. “Tapi aku tidak mengenalmu.”
“Aku bagian dari mereka yang tersisa. Mereka yang setia pada darahmu. Dan pada kebenaran yang telah dikubur.”
Seraphine menajamkan pandangan. “Ordo Umbra?”
Pria itu mengangguk.
“Dulu kami dianggap sekte sesat. Kini, kami sekadar bayangan dari masa lalu. Tapi kami masih menjaga satu hal: catatan pengkhianatan yang sesungguhnya.”
Ia menyerahkan gulungan kulit bersegel hitam.
Seraphine membukanya dengan hati-hati. Di dalamnya, tertera kesaksian para pelayan, pengawal, bahkan satu anggota dewan—semua menyatakan bahwa keluarganya dijebak. Bahwa Raja Elric sendiri memerintahkan pembantaian Verndale karena takut pada warisan sihir kuno mereka.
“Ini… bukti,” bisik Seraphine.
“Bukti yang bisa membakar kerajaan,” sahut pria itu. “Tapi berhati-hatilah. Banyak yang akan mati jika ini jatuh ke tangan yang salah.”
“Dan adikku? Orin? Apakah kau tahu di mana dia?”
Pria itu ragu sejenak. “Ada desas-desus. Seorang anak lelaki dengan mata perak dan bekas luka di pundaknya. Diselamatkan oleh biarawan pengembara. Tapi…”
“Tapi?”
“Sejak tiga tahun lalu, dia menghilang. Beberapa mengatakan dia direkrut oleh kelompok rahasia di Utara—mereka yang mengincar takhta dengan cara mereka sendiri.”
Seraphine menggenggam gulungan itu erat. “Kalau begitu aku harus menemukannya sebelum mereka melakukannya.”
Sementara itu, Pangeran Caelum berdiri di ruang takhta yang kosong, memandangi simbol keluarga Ravaryn yang terukir di lantai: singa bersayap dengan mahkota patah.
Ayahnya telah mati lima tahun lalu—dibunuh oleh racun yang tak pernah terbukti, tapi semua tahu itu permainan dalam istana. Ibunya menghilang. Takhta kini nyaris jadi miliknya, tapi beratnya seperti pisau yang menempel di tengkuk.
Seorang pelayan masuk dan menyerahkan laporan.
“Gerakan pasukan utara meningkat, Yang Mulia. Beberapa keluarga bangsawan mulai memindahkan perak dan pasukan pribadi mereka dari kota.”
Caelum meremas kertas itu.
“Dan calon tunanganku?” tanyanya.
“Lady Seraphine sedang tidur, menurut pengawalnya.”
Caelum menyipitkan mata.
“Aku ragu itu benar.”
Keesokan paginya, Seraphine duduk di meja makan pribadi yang menghadap taman dalam. Tangan kirinya memainkan pisau buah kecil, dan di hadapannya, muncul sosok yang tidak ia harapkan secepat ini.
Caelum.
Ia duduk tanpa bicara, lalu mengambil apel dan memotongnya rapi. Senyap.
“Yang Mulia,” sapa Seraphine lembut.
“Kau menyelinap keluar tadi malam,” ucapnya tanpa menatap. “Tiga penjaga melaporkanmu tidak ada di kamar setelah tengah malam.”
“Apakah kau mengawasiku?”
“Setiap orang yang dekat dengan mahkota diawasi. Apalagi mereka yang membawa rahasia sebesar kau.”
Seraphine tidak menyangkal.
“Aku tahu keluargamu tidak sebersih yang dicatat sejarah,” lanjut Caelum. “Tapi aku juga tahu istana ini tidak sebersih yang ingin dipercayai orang.”
“Lalu kenapa kau masih di sini?” tantangnya.
Caelum menoleh padanya, mata emasnya tajam. “Karena kalau bukan aku, siapa yang akan mengubahnya?”
Keduanya terdiam lama.
Di antara mereka, ada sejarah yang belum selesai. Tapi juga kemungkinan.
Seraphine menyadari saat itu: untuk menghancurkan kerajaan ini, dia tak hanya harus menyingkirkan musuh-musuh lamanya. Tapi juga berhadapan dengan orang satu-satunya… yang mungkin bisa menyelamatkannya dari menjadi monster yang ia benci.
Hari berikutnya, aroma darah menggantung di aula pelatihan para penjaga istana.
Seorang prajurit muda ditemukan tewas. Tubuhnya tergantung di atas tiang latihan, luka tusukan melingkar seperti ukiran ritual memenuhi dadanya. Darahnya mengering, membentuk simbol kuno yang hanya dikenali oleh mereka yang mempelajari sihir kelam.
Seraphine melihatnya dari balkon lantai atas, bersama Lady Mirella dan dua putri bangsawan lain yang menutup hidung mereka dengan sapu tangan renda.
“Peringatan,” gumam Mirella. “Atau pesan.”
Seraphine menyipitkan mata. Ia tahu simbol itu.
Salah satu dari Ordo Umbra. Tapi juga digunakan oleh kelompok pemujaan lama yang pernah dibasmi oleh kerajaan: Sang Tangan Hitam.
Mereka yang memburu darah keturunan Verndale.
Di ruangannya malam itu, Seraphine menggigit kukunya sambil menatap gulungan bukti pengkhianatan di meja. Jika ada sisa Tangan Hitam yang menyusup ke istana… maka ia bukan hanya diburu sebagai pewaris, tapi sebagai ancaman hidup-hidup.
Ia berjalan ke cermin dan melepas jubahnya. Di balik pakaian megah istana, kulitnya penuh bekas luka—masa kecil dalam pelarian, malam-malam kelaparan, dan pelatihan untuk membunuh yang ia lewati bertahun-tahun.
Ia bukan lagi gadis kecil dari rumah terbakar.
Ia adalah senjata.
Tapi senjata pun bisa retak… terutama saat ada yang menggenggamnya terlalu erat.
Keesokan paginya, saat sesi pelajaran istana, ia disambut dengan bisikan tajam.
“Konon Lady Seraphine dulu anak pelayan….”
“Ayahnya penyihir, ibunya pendosa….”
“Dengar-dengar, dia membunuh calon suaminya di utara…”
Gosip beracun mengalir cepat di udara istana. Seraphine duduk dengan tenang, mendengarnya semua, dan hanya tersenyum.
Yang tak mereka tahu: setiap kata mereka menjadi alasan baru untuk membalas dendam.
Di ruang rahasia di bawah perpustakaan, Caelum memanggil seseorang.
“Bawa aku pada pembunuh bayaran yang terakhir menyusup ke istana,” katanya.
Seorang pria tua bertato mata tertutup dibawa dengan rantai besi ke hadapan sang pangeran.
“Siapa yang mengirimmu?” tanya Caelum.
Pembunuh itu tersenyum dengan gigi berkarat. “Bukan siapa… tapi apa.”
Caelum menyipit. “Jelaskan.”
“Bayangan. Suara. Nama yang tak pernah disebut, kecuali oleh orang mati.”
Caelum mencengkeram leher baju pria itu. “Apa kau berbicara tentang… warisan Verndale?”
Pria itu terbatuk dan tertawa. “Kau menyimpan api di pangkuanmu, Pangeran. Dia akan membakarmu. Dan ketika istana ini jadi abu, takhta itu tak lagi punya kaki.”
Sebelum Caelum bisa bertanya lebih jauh, pria itu menggigit sesuatu di dalam mulutnya—racun. Tubuhnya menggigil lalu membeku, busa di bibirnya berwarna hitam.
Satu kata terakhir keluar dari mulutnya:
“Orin…”
Nama itu membuat darah Caelum membeku.
Ia pernah mendengarnya… bertahun lalu, saat dia diam-diam mendengarkan para bangsawan berdiskusi. Anak bungsu keluarga Verndale. Yang konon menghilang. Yang konon diburu bahkan setelah seluruh keluarga dibantai.
Dan kini, para pembunuh menyebutnya lagi?
Caelum berdiri perlahan.
“Temukan semua arsip yang pernah menyebut nama itu. Aku ingin tahu ke mana dia pergi. Dan siapa yang mencarinya.”
Malam itu, Seraphine berdiri di balkon, memandangi taman gelap di bawahnya.
Cahaya lilin di belakangnya menciptakan bayangan panjang, dan tiba-tiba ia menyadari sesuatu.
Bayangan itu—bergerak sendiri.
Ia menoleh cepat.
Tapi tak ada siapa pun di ruangan.
Kecuali bisikan. Pelan. Dalam bahasa kuno yang hanya ia tahu.
“Yang membakar takhta, akan tenggelam dalam darahnya sendiri.”
Seraphine mencengkeram liontin di lehernya. Di dalamnya, sehelai rambut adik bungsunya, Orin, yang ia selamatkan sebelum pelarian. Ia tak tahu apakah Orin masih hidup. Tapi ia bersumpah akan mencarinya.
Dan jika istana ini, para bangsawannya, atau bahkan Caelum menyembunyikan sesuatu darinya—
Maka mereka akan merasakan seperti apa rasanya kehilangan segalanya.
Sore menjelang malam, Seraphine diminta hadir dalam sebuah pertemuan tertutup di Ruang Marmer. Para anggota dewan pernikahan berkumpul di sana bersama penasihat tertinggi istana dan dua utusan dari kerajaan tetangga.
Pangeran Caelum duduk di kursi utama, wajahnya serius, tetapi matanya memandang Seraphine seolah mencoba membaca isi pikirannya dari gerak langkahnya saja.
“Lady Seraphine,” suara Lord Halven membuka, “kami ingin mendiskusikan jadwal pernikahan Anda dengan Yang Mulia.”
Seraphine berdiri tegak, kedua tangan bertaut di depan gaunnya.
“Tentu, Yang Mulia. Tapi kupikir pernikahan bukan hanya soal tanggal. Melainkan kesiapan dua kerajaan untuk bersatu.”
“Apa maksudmu?” tanya Lord Halven tajam.
“Kerajaan Ravennor memiliki musuh di dalam bayangannya sendiri. Sementara kita sibuk merancang pesta, darah telah tumpah di aula pelatihan. Prajurit terbunuh, dan belum ada penjelasan dari pihak istana.”
Ruangan hening.
Seraphine melanjutkan, suaranya tenang namun penuh racun halus. “Jika saya akan menjadi bagian dari keluarga kerajaan, maka saya berhak mengetahui apakah calon suami saya bisa melindungi istana ini dari pengkhianatan... atau justru menutupinya.”
Beberapa penasihat saling berpandangan.
Caelum tersenyum tipis. Tapi tidak ada kehangatan di baliknya. “Kau terlalu tajam untuk calon pengantin.”
“Dan kau terlalu diam untuk seorang pangeran,” balas Seraphine.
Hening menegang.
Akhirnya, Caelum berdiri. “Pertemuan selesai.”
Saat semua orang bangkit untuk pergi, ia mendekati Seraphine dan berbisik pelan di telinganya, “Kau ingin jawaban? Malam ini. Ruang peta di menara barat. Tapi datang sendiri.”
Seraphine menahan senyumnya. "Tentu, Yang Mulia."
Ruang peta di menara barat adalah salah satu ruangan tertua di istana. Dinding-dindingnya dihiasi lukisan kerajaan kuno dan peta perang dari zaman sebelum Ravennor bersatu.
Caelum berdiri di depan meja batu besar, di mana terhampar peta kerajaan lengkap hingga batas wilayah yang telah lama dikuasai musuh.
“Kau ingin tahu siapa musuh sesungguhnya?” katanya saat Seraphine tiba. “Bukan bangsawan serakah atau pembunuh bayaran. Tapi nama-nama yang bahkan sejarah takut menuliskannya.”
Ia meletakkan sebuah gulungan tua di depan Seraphine.
“Ini—dilarang. Hanya diketahui oleh raja dan pengawal bayangan. Tapi kupikir, jika kau benar-benar bagian dari takhta ini… kau berhak tahu.”
Seraphine membuka gulungan itu.
Simbol aneh menghiasi halaman-halamannya—mata terbalik, tangan melingkar, dan satu nama…
Ordo Tenebrae.
O.V.
Orin Verndale?
Matanya langsung menatap Caelum. “Apa maksud semua ini?”
Caelum menatapnya dalam. “Aku pikir kau satu-satunya pewaris keluarga Verndale yang masih hidup. Tapi kupikir… mungkin tidak.”
Seraphine terdiam. Genggaman tangannya mengepal tanpa sadar.
“Jika Orin masih hidup…”
“Maka bukan hanya takhtaku yang terancam, Seraphine,” Caelum berkata perlahan, “tapi jiwamu juga.”
Ia mundur selangkah. “Aku tidak tahu apakah kau datang untuk membunuhku… atau menyelamatkan istana ini.”
Seraphine menatapnya tanpa berkedip.
“Mungkin aku pun belum tahu,” bisiknya.
Tengah malam.
Seraphine kembali ke kamarnya, tapi sesuatu telah berubah.
Jendela terbuka sedikit.
Angin membawa aroma terbakar.
Dan di atas tempat tidurnya—sehelai kain hitam tergeletak, dengan satu kata terukir di atasnya, menggunakan darah:
“KAU DILIHAT.”
Seraphine memejamkan mata.
Mereka tahu ia kembali.
Dan mereka mulai bergerak.
Cobalah:
RA-VEN-NOR™
➤ Teruji bikin senyum-senyum sendiri
➤ Kaya akan plot twist & sihir kuno
➤ Mengandung Caelum, Ash, dan Orin dosis tinggi
PERINGATAN:
Tidak dianjurkan dibaca sambil di kelas, rapat, atau pas lagi galau.
Efek samping: jadi bucin karakter fiksi.
Konsumsi: TIAP JAM 11 SIANG.
Jangan overdosis.
Gemetar...
Tangan berkeringat...
Langit retak...
WiFi ilang...
Kulkas kosong...
Ash unfollow kamu di mimpi...
➤ Tiap hari. Jam 11.
Ini bukan sekadar Novel.
Ini adalah TAKDIR. 😭
Aku sudah capek ngingetin kamu terus.”
➤ Novel update jam 11.
➤ Kamu lupa lagi?
Baiklah.
Aku akan pensiun.
Aku akan buka usaha sablon kaus bertuliskan:
❝ Aku Telat Baca Novel ❞
#AyamMenyerah
“Kalau kamu baca jam 11, aku bakal bikinin kamu es krim rasa sihir.”
Caelum (panik):
“Update?! Sekarang?! Aku belum siap tampil—eh maksudku… BACA SEKARANG!”
Orin (pegangan pohon):
“Aku bisa melihat masa depan... dan kamu ketinggalan update. Ngeri ya?”
📅 Jam 11. Tiap hari.
Like kalau kamu tim baca sambil ketawa.
Komen kalau kamu tim “gue nyempil di kantor buat baca novel diem-diem”
Kamu bilang kamu fans Ravennor,
Tapi jam 11 kamu malah scroll TikTok.”
Jangan bikin aku bertanya-tanya,
Apakah kamu masih di pihakku…
Atau sudah berubah haluan.
➤ Novel update tiap hari.
➤ Jam 11.
Jangan salah pilih sisi.
– Orin
Tapi aku perhatikan siapa yang selalu datang jam 11… dan siapa yang tidak.”
Dunia ini penuh rahasia.
Kamu gak mau jadi satu-satunya yang ketinggalan, kan?
Jadi, kutunggu jam 11.
Di balik layar.
Di balik cerita.
– Orin.
Menarik.
Aku kira kamu pembaca yang cerdas.
Tapi ternyata...
➤ Baca tiap hari. Jam 11.
➤ Kalau enggak, ya udah. Tapi jangan salahin aku kalau kamu ketinggalan plot twist dan nangis di pojokan.
Aku sudah memperingatkanmu.
– Ash.
Untuk: Kamu, pembaca kesayanganku
"Hei…
Kamu masih di sana, kan?
Kalau kamu baca ini jam 11, berarti kamu masih inget aku…"
🕚 update tiap hari jam 11 siang!
Jangan telat… aku tunggu kamu di tiap halaman.
💙 – C.
Kucing kerajaan udah ngamuk karena kamu LUPA update!
🕚 JAM 11 ITU JAM UPDATE !
Bukan jam tidur siang
Bukan jam ngelamunin mantan
Bukan jam ngintip IG crush
Tapi... JAMNYA NGIKUTIN DRAMA DI RAVENNOR!
😾 Yang kelewat, bakal dicakar Seraphine pakai kata-kata tajam.
#Jam11JamSuci #JanganLupaUpdate
Itu jamnya:
✅ plot twist
✅ karakter ganteng
✅ baper kolektif
✅ kemungkinan besar ada adegan nyebelin tapi manis
Jangan lupa update TIAP HARI JAM 11 SIANG
📢 Yang gak baca… bakal disumpahin jadi tokoh figuran yang mati duluan.
Itu bukan jam makan, bukan jam rebahan...
Itu jam baca komik kesayangan KAMU!
Kalau kamu ngelewatin update:
💔 Caelum nangis.
😤 Seraphine ngambek.
😎 Ash: “Terserah.”
Jadi yuk… BACA. SEKARANG.
🔁 Share ke temanmu yang suka telat update!
#ReminderLucu #UpdateJam11
📆 Update : SETIAP HARI JAM 11 SIANG!
Siapa yang lupa...?
➤ Ditarik ke dunia paralel.
➤ Dikejar Orin sambil bawa kontrak nikah.
➤ Dijadikan tumbal sihir kuno oleh Ash.
➤ Dipelototin Seraphine 3x sehari.
Jadi... JANGAN LUPA BACA YAAA!
❤️ Like | 💬 Komen | 🔔 Follow
#TimGakMauKetinggalan
Komik kita akan UPDATE SETIAP HARI!
Jadi jangan lupa:
💥 Siapkan hati.
💥 Siapkan cemilan.
💥 Siapkan mental buat gregetan.
⏰ Jam tayang: jam 11.00 WIB
🧡 Yang lupa update, nanti ditembak cinta sama si Caelum.
➕ Jangan lupa:
❤️ Vote
💬 Komen
🔁 Share
🔔 Follow & nyalain notif biar gak ketinggalan~