NovelToon NovelToon
Umbral

Umbral

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor
Popularitas:465
Nilai: 5
Nama Author: Rudi Setyawan

Davin menemukan catatan rahasia ayahnya, Dr. Adrian Hermawan, di attic yang merupakan "museum pribadi' Adrian. Dia bukan tak sengaja menemukan buku itu. Namun dia "dituntun" untuk menguak rahasia Umbral.
Pada halaman terakhir, di bagian bawah, ada semacam catatan kaki Adrian. Peringatan keras.
“Aku telah menemukan faktanya. Umbral memang eksis. Tapi dia tetap harus terkurung di dimensinya. Tak boleh diusik oleh siapa pun. Atau kiamat datang lebih awal di muka bumi ini.”
Davin merinding.
Dia tidak tahu bagaimana cara membuka portal Umbral. Ketika entitas nonmanusia itu keluar dari portalnya, bencana pun tak terhindarkan. Umbral menciptakan halusinasi (distorsi persepsi akut) terhadap para korbannya.
Mampukah Adrian dan Davin mengembalikan Umbral ke dimensinya—atau bahkan menghancurkan entitas tersebut?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Setyawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3 — Malam Jumat yang Sakral

MEREKA kembali ke ruang santai keluarga. Tanpa sengaja Davin menatap ke arah meja makan—dan matanya bertemu dengan tatapan Sasha. Hanya sedetik. Dia cepat-cepat mengalihkan tatapannya ke arah lain. Dia duduk di tempatnya semula—dan langsung membuka laptopnya. Dia tidak gugup—paling tidak, dia berusaha menjaga degup jantungnya tetap berdetak dengan normal. Ah, ngapain merasa gugup?

“Kita syuting besok malam, Prof,” ujar Rayan sambil menghempaskan tubuhnya di kursi. “Kebetulan besok Friday night. Lo nggak ada kegiatan apa-apa, kan?”

Davin melirik sahabatnya. “Emang gue masih bisa ngelakuin kegiatan lain kalau lo udah ngambil keputusan?”

“Good point,” sahut Rayan sambil menyeringai lebar. “Tapi gue sering masih cukup sabar kalau lo sibuk. Lagian, kita bisa action kapan saja.”

“Aku nggak mau ikutan kalau perginya tengah malam,” ujar Naya tanpa mengangkat wajahnya dari notebook kecilnya.

Sasha beranjak dari meja makan untuk ikut nimbrung dalam obrolan mereka. Dia menatap Davin, Rayan dan Naya satu per satu, lalu duduk di samping Naya di sofa. “Hmm, emang kalian pernah pergi pada tengah malam?”

Naya mendengus kesal. “Sering. Rayan suka seenak udelnya. Dia beneran implusif.”

Rayan tertawa lebar—seolah gerutuan Naya merupakan pujian bagi dirinya.

Davin memilih tak bersuara apa-apa. Dia (pura-pura) fokus pada laptopnya. Dan dia sama sekali tak mau melirik ke arah Sasha yang duduk di samping kirinya.

Dia berusaha untuk tidak mengacuhkan omongan ngaco Rayan tadi. Wajah cantik dan emosi-emosi yang menggangu saat ini berada jauh di luar spektrum prioritasnya. Dia melatih pikirannya untuk tetap berada dalam lintasan rasional—dan membungkam setiap impuls remaja yang coba-coba menyelinap masuk. Sasha, Tari, Naya dan Elisa—nama-nama itu tak pernah dia izinkan menyusup lebih dalam dari sekadar statistik biologis. Baginya, mereka hanya kebetulan berbeda struktur kromosom. Dia harus mengabaikan distraksi emosional yang tak diinginkan. Habis perkara.

Namun kata-kata yang dilontarkan Rayan barusan seolah telah terjejal dalam RAM otaknya. Dan bagi seseorang seperti Davin, yang terbiasa mengabaikan hal remeh, fakta bahwa kalimat itu masih tersisa... justru cukup mengganggu.

“Gue penasaran,” ujar Elisa sambil menatap Rayan dengan serius. “Kenapa sih kebanyakan orang pilih syutingnya malam Jumat? Termasuk kalian. Kayak itu hari default buat konten horor.”

“Malam Jumat emang hari default buat konten horor,” sahut Rayan berlagak serius. “Pasarnya doyan begitu. Horor tuh harus ada bumbunya. Kayak jualan mie instan, tanpa micin nggak laku.”

“Micinnya maksudnya malam Jumat?”

“Persis. Lo taruh video horor di hari Senin, yang nonton paling cuma anak-anak insomnia sama satpam komplek. Tapi kalau malam Jumat, semua orang ikut mantengin—berharap bisa liat pocong beneran.”

“Jadi, alasannya cuma buat menuhin selera pasar?” tanya Sasha. “Nggak ada alasan lain?”

“Alasan lain apa, misalnya? Tari dan Naya pernah bilang, alasan gue stereotip banget. Tapi stereotip itu duit, Babe. Di luar negeri, mereka punya Friday the 13th. Di sini kita punya Jumat Kliwon. Sama-sama jual sensasi, cuma beda rasa. Versi bule dikasih saus barat, versi kita pake sambel terasi.”

Elisa tertawa geli. “Keren. Kamu bisa bikin sesuatu yang creepy kedengaran kayak komedi.”

“Gue ngomong apa adanya. Sejak ada YouTube, horor udah bukan cuma buat nakut-nakutin orang. Sekarang jadi industri—profitable, Babe. Malah kucing jatuh dari kursi aja bisa dimasukin musik serem, langsung viral. Dan dengan sentuhan sains Profesor, kami bikin kemasan yang beda. Biar otak orang autohoror.”

“Tapi katanya malam Jumat lebih... sakral," ujar Sasha lagi. “Lebih ‘kerasa.’ Tapi beneran ada hubungannya, Dev? Atau cuma mitos?”

Davin merasa semua mata tertuju pada dirinya. Dia sudah merasa aman hanya jadi pendengar yang baik. Tapi Sasha justru menarik dirinya dari zona nyaman. Sesaat dia berusaha menguatkan hati untuk menatap mata Sasha.

“Sebetulnya,” sahutnya, “Rayan tadi udah ngejelasin secara cerdas.”

Rayan kembali menyeringai. “Thanks, Prof.”

“Yah, kalau mau logis, nggak ada energi kosmik spesial di malam Jumat dibanding malam lain,” lanjut Davin. “Yang ada, energi psikologis manusia yang membedakan.”

Elisa memiringkan kepala. "Energi psikologis?”

“Di budaya kita, Jumat itu hari penting. Malamnya penuh ritual doa, shalat hajat, tahlilan, pembacaan Yasin. Semua aktivitas itu menciptakan suasana hening—berbeda dari malam biasa. Otak manusia bereaksi sama suasana seperti itu. Pikiran mereka jadi lebih fokus, lebih waspada, atau lebih sugestif. Jadinya, orang merasa ‘energinya’ beda. Padahal nggak ada bedanya.”

Sasha mengangguk pelan. “Jadi cuma karena orang udah keburu percaya?”

“Percaya itu separuhnya. Separuh lagi… jam-jam tertentu memang mempengaruhi kondisi manusia. Misalnya jam dua sampai empat pagi. Tubuh ada di titik terlemah, hormon tertentu aktif, dan otak gampang memproses rasa takut. Di Barat disebut witching hour, di sini… ya, malam sepertiga terakhir juga dianggap sakral. Buat shalat malam, doa, atau bersemedi”

Elisa menatap Davin, lalu menoleh ke Sasha. “Oke. Gue nggak nyangka bisa dapet kuliah gratis sore ini. Ternyata benar juga Sasha bilang, lo kayak hidden gem di kelompok ini.”

Sasha mendelik pada sahabatnya. Dia gagal untuk menutupi rona merah yang menjalar di wajahnya. “Kapan gue bilang begitu? Kamu jangan ngaco, Lis.”

Elisa memutar bola matanya. “Gue nggak ingat kapan. Pokoknya pernah.”

“Wow, hidden gem?” celetuk Rayan dengan nada agak sarkastis. “Tapi jangan lupa, gue tetap yang paling mainstream di sini.”

“Hhh, muncul deh gaya kompetitif narsisnya,” celetuk Naya setengah mencibir.

Tari tersenyum hambar. “Bagi Rayan, semua orang jadi rivalnya. Bahkan dirinya sendiri.”

Rayan melirik Tari. “Itu pujian? Thanks a lot, Babe. Hitam-hitam masih warna favorit lo? Biar honornya nanti gue habisin buat uniform lo.”

Tawa mereka pecah.

Davin kembali fokus pada laptopnya, sambil berusaha mengabaikan tatapan Sasha pada dirinya. Namun celetukan Elisa tentang hidden gem—entah benar atau tidak—membuat memori di otaknya terasa makin padat.

Tadi Rayan yang bikin ulah dengan statemen ngaconya. Kini Elisa dengan celetukan asal bunyinya. Apa artinya semua ini?

Nggak ada arti apa-apa, Bro. Mereka cuma guyon!

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!