Sania pernah dihancurkan sampai titik terendah hidupnya oleh Irfan dan kekasihnya, Nadine. Bahkan ia harus merangkak dari kelamnya perceraian menuju titik cahaya selama 10 tahun lamanya. Sania tidak pernah berniat mengusik kehidupan mantan suaminya tersebut sampai suatu saat dia mendapat surat dari pengadilan yang menyatakan bahwa hak asuh putri semata wayangnya akan dialihkan ke pihak ayah.
Sania yang sudah tenang dengan kehidupannya kini, merasa geram dan berniat mengacaukan kehidupan keluarga mantan suaminya. Selama ini dia sudah cukup sabar dengan beberapa tindakan merugikan yang tidak bisa Sania tuntut karena Sania tidak punya uang. Kini, Sania sudah berbeda, dia sudah memiliki segalanya bahkan membeli hidup mantan suaminya sekalipun ia mampu.
Dibantu oleh kenalan, Sania menyusun rencana untuk mengacaukan balik rumah tangga suaminya, setidaknya Nadine bisa merasakan bagaimana rasanya hidup penuh teror.
Ketika pelaku berlagak jadi korban, cerita kehidupan ini semakin menarik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketenangan Sebelum Bergejolak
"Mom!"
Pikiran Sania masih melayang, bahkan ketika ia masuk ke unit apartemen yang ia tinggali bersama Mutiara selama beberapa tahun ini. Namun, seruan Mutiara membuat Sania segera tersenyum saat menatapnya.
"Bagaimana sekolah kamu hari ini?" Sania menyambut putrinya dalam pelukan. "Kamu terlihat gembira, ada apa?"
Mutiara mencium pipi ibunya, lalu melepaskan pelukan. "Gold medalion for the sains Olimpiade."
Medali emas muncul di depan mata Sania sehingga membuat Sania kaget dan heboh. Ia tidak percaya Mutiara mengalahkan ribuan peserta yang mendaftar.
"Dan aku akan mengikuti Olimpiade internasional di Amerika sebelum ujian akhir tiba." Mutiara pamer meski bukan kali ini saja dia mengikuti Olimpiade seperti ini.
"Oh, my sweetheart." Sania memeluk anaknya erat-erat, "Momy selalu merasa terkejut atas semua pencapaianmu."
Mutiara tersenyum, masih memeluk ibunya. "Aku akan bikin momy bangga terus."
Sania mengusap rambut Mutiara lembut. Rasanya perjuangannya selama ini terbayar lunas dengan melihat Mutiara tumbuh dengan baik.
"Oh, ya, tadi aku ambil surat untuk Momy, di kirim dari apartemen lama kita." Mutiara melepas pelukan dan mengambilkan surat untuk ibunya. "Aku pikir ini penting."
Sania menerimanya dan sedikit mengerutkan kening melihat cap dari amplop krem tebal itu.
Alveron&Associates
Seingatnya, dia tidak ada masalah dengan hukum, tapi kenapa kantor hukum mengirimkan surat kepadanya.
"Apa ada masalah, Mom?"
Sania buru-buru menormalkan ekspresinya, lalu menatap Mutiara lagi sambil menggeleng. "Momy tidak tau pasti, tapi Momy harap ini bukan sesuatu yang penting."
Sania menyimpan suratnya, lalu menggandeng Mutiara. "Malam ini kamu mau makan apa, Tiara? Momy akan memasak untukmu."
"Em, grilled salmon—maybe ...." Mutiara berkata dengan ekspresi ragu-ragu yang imut. "Aku tau kemarin momy baru saja buatin itu buat aku, tapi hari ini aku ingin makan lagi."
Sania tersenyum kecil. "Apapun selama kamu suka, Honey."
Sania segera berlalu ke dapur. Dia harus menyibukkan diri untuk mengalihkan rasa penasaran akan surat dari kantor hukum tersebut. Memang, masih ada surat yang datang ke alamatnya yang lama, karena disana tidak disewakan maupun dijual. Pengurus apartemen sudah diberitahu alamatnya kini, jadi mereka biasa langsung mengirimkan kesini surat-surat tersebut.
Sania mengingat satu hal Alveron adalah pengacara yang membantu Irfan memuluskan perceraiannya.
...
Sania mengambil amplop dari Alveron dan membukanya perlahan. Tidak perlu waktu lama, Sania sampai pada inti surat tersebut.
"... dengan ini menyampaikan permohonan atas pengalihan hak asuh penuh atas anak kandung Irfan Gamaliel, Mutiara Gamaliel ...."
Tangan Sania gemetar membaca surat tersebut. "Hah ... bagaimana bisa dia melakukan itu padaku setelah menyakiti Mutiara sebegitu kejam?"
Sania sekali lagi membaca isi surat tersebut, dan tidak ada yang berubah sama sekali. "Untuk apa mereka melakukan itu?"
Sania menjatuhkan badannya di kursi. Satu-satunya hal yang tidak pernah Sania bayangkan adalah Irfan menginginkan Mutiara. Setidaknya, setelah teror yang tidak pernah berhenti datang sampai Sania pindah ke kawasan Diora Street yang kumuh dan terpinggirkan.
Beberapa minggu setelah bercerai, Sania pulang ke rumah ibunya di Venus Park, tetapi ia hanya mendapatkan perlakuan yang kurang baik.
"Ibu bilang juga apa, jangan menikah dengan Irfan karena dia laki-laki brengsek! Sekarang kalau sudah begini, kamu kembali ke sini, mana bawa anak lagi. Apa kamu tidak bisa melihat, Ibu masih harus melunasi biaya rumah sakit kamu saat melahirkan dulu? Ini malah kesini dan nambah-nambahin beban."
Air mata Sania di tahan agar dia terlihat tegar. Memohon pun percuma kalau ibunya sudah berkata demikian. Ibunya tau kalau Mutiara mudah sakit, tapi Sania tidak akan menjadikan Mutiara sebagai alasan.
Hari itu juga, Sania pergi mencari tempat tinggal yang sedikit lebih murah daripada di kawasan sebelumnya, tetapi dia tidak ingin ke Diora Street. Lingkungan yang buruk untuk membesarkan anak.
Namun, saat Sania hendak menyeberang jalan, sebuah mobil menyerempet Sania hingga tubuhnya terpental.
Nadine muncul dari dalam mobil dan tertawa kecil. "Ups, ada janda gelandangan lewat, ya? Sorry, nggak kelihatan tadi."
Sania meringis, tangannya yang melindungi Mutiara tergores aspal. Beberapa orang berhamburan menolong Sania dibawah pandangan mengejek Nadine.
"Hati-hati kalau bantu dia, nanti ketiban sial!" Nadine berkata keras-keras sehingga membuat orang-orang itu menggantung gerakannya. "Dia janda yang diceraikan karena tidak berguna! Jaga pria ataupun suami kalian, siapa tau nanti kalian yang akan jadi korban."
Usai mengatakan demikian, Nadine berlalu begitu saja tanpa bertanggung jawab atas perbuatannya.
Sania di bawah berusaha berdiri sendiri dan segera menjauh dari kerumunan yang membicarakannya.
Dalam keadaan terluka, ia berjalan sembari menahan tangis hingga sampai di sebuah kompleks pertokoan yang sepi. Sania duduk di salah satu emperan toko, membuka dompet dan menggigit bibir melihat sisa uangnya.
Mutiara yang semula rewel juga akhirnya tidur dengan perut menahan lapar. Hanya air dari fasilitas umum dan sepotong roti yang ia berikan pada Mutiara hari ini.
Ya Tuhan ....
Sania menengadah ke langit, berdoa dalam tangis yang memilukan. "Momy akan pastikan kamu tidak akan merasakan apa yang Momy rasakan, Mutiara!"
Air mata Sania jatuh begitu saja setiap kali nama Irfan disebut. Sampai sekarang dia tidak lupa perjalanan menyakitkan itu.
Ayah yang seharusnya melindungi buah hatinya, justru menjadi orang yang paling banyak menorehkan luka di hati anaknya.
Sania menarik napas dalam sebelum mengeringkan air matanya. Tangannya meraih ponsel dan mengirimi pesan seseorang, yang tak lama kemudian langsung mendapat balasan.
—Maxwell—
"Akan ku antar langsung ke kantormu begitu semua sudah terkumpul. Aku akan usahakan meski agak sulit. Kau tau kan, Tuan Brooch bukan orang sembarangan."
Sania meletakkan ponselnya dengan tenang ketika Max menyatakan kesulitan menghadapi Tuan Brooch, tetapi Sania pernah bertemu beberapa kali dan karakternya mudah ditebak.
"Mungkin dulu aku kesulitan menghadapi Tuan Brooch karena aku tidak punya uang, tapi sekarang, pengacara terbaik sekali pun akan tunduk padaku."
Sania berdiri, bersedekap menghadap ke jendela besar kamarnya. Taman Deliora terhampar tepat di depan jendela kamar. Pohon-pohon maple telah berdaun penuh, tampak tegak menjulang dan tenang. Sania merasakan juga ketenangan setiap kali melihat pohon-pohon maple membuka daunnya penuh.
Pohon maple di musim ini memperkuat daun dan batangnya untuk menghadapi badai yang akan datang nanti.
Sama seperti Sania. Dia akan memperkuat semua senjata yang dia punya sebelum menyerbu ke kubu musuh.
"Nadine, aku tidak akan kalah lagi olehmu mulai saat ini," tekat Sania dalam hati.
tp gk apa2 sih kl mau cerai juga, Nadine pasti nyesek🤣
Sifat dasar Nadine suka menghancurkan. Bukan hanya benda, pernikahan orang lainpun dihancurkan.
Dan sekarang rumahtangganya mengalami prahara akibat ulahnya yang memuakkan.