“Aku dibesarkan oleh seorang wanita yang tubuh dan jiwanya hancur oleh dunia yang tak memberinya tempat. Dan kini, aku berdiri, tak hanya untuk ibuku… tapi untuk setiap wanita yang suaranya dibungkam oleh bayangan kekuasaan.”
Mumbai, tengah malam. Di ruang pengadilan yang remang. Varsha memandangi tumpukan berkas-berkas perdagangan manusia yang melibatkan nama-nama besar. Ia tahu, ini bukan hanya soal hukum. Ini adalah medan perang.
Di sisi lain kota, Inspektur Viraj Thakur baru saja menghajar tiga penjahat yang menculik anak-anak perempuan dari desa. Di tangannya, peluru, darah, dan dendam bercampur menjadi satu.
Mereka tidak tahu… bahwa takdir mereka sedang ditulis oleh luka yang sama–dan cinta yang lahir dari pertempuran panjang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MOM MESS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Api Bertemu.
Markas Besar Kepolisian New Delhi, jam 18.25 petang.
Gedung tua dengan cat yang mulai mengelupas itu berdiri kokoh bagai benteng pertahanan terakhir di tengah tumpukan kebusukan kota.
Varsha melangkah masuk dengan langkah mantap. Rambutnya digulung rapi, blazer hitam pekat melekat pada tubuh tegapnya. Semua mata melirik. Tak biasa melihat seorang wanita berjalan setegas itu di kantor yang dipenuhi suara sepatu bot dan amarah.
Ia berhenti di depan ruang kaca bertuliskan: “Inspektur Viraj Thakur–Divisi Kriminal Khusus”
Tanpa mengetuk, pintu terbuka dari dalam. Seorang pria bertubuh tegap, mengenakan seragam khaki yang penuh baret dan bintang pangkat, berdiri memandangnya lurus. Dialah Viraj Thakur Mata mereka bertemu. Tajam. Dan juga dingin. Tak ada senyum. Tak ada salam.
“Kau datang terlambat tiga menit,” ucap pria itu datar. Varsha tak mundur selangkah pun. “Dan Anda sudah menyalahi etika dasar penyambutan seorang profesional, " jawab Varsha, sedikit sombong. Senyum sinis terbit di bibir Inspektur Viraj Thakur.
“Kau pikir dunia kriminal peduli soal etika, Nona Pengacara?”
“Tidak. Tapi saya bukan kriminal, Tuan Polisi.”
"Aku sudah terbiasa melihat mu di berita media. Sekarang tunjukan kehebatan mu secara langsung padaku, "
"Dengan berdiri?"
"Oh. Maafkan aku.. Silahkan duduk!" Baru saja Varsha duduk, seorang gadis tiba-tiba muncul dari balik meja. Gadis itu berusia sekitar 7 tahun. Dengan mata besar yang penasaran, gadis kecil itu menatap Varsha lalu tersenyum manis.
“Apakah kamu pengacara yang pintar itu? Ayah bilang kamu galak,” katanya polos. Varsha menatap anak itu, kaget, lalu tersenyum. “Kalau ayahmu bilang begitu, mungkin ayahmu benar.” Varsha lalu menatap ke arah Viraj yang terdiam sedikit malu. Anak itu tertawa kecil melihat ekspresi ayahnya.
"Mahi. Bisa kau main ke sana sebentar. Ada pembahasan dewasa yang tidak boleh anak kecil dengar, "
"Baik ayah." Mahi berdiri dan mengambil bonekanya. Dia berjalan ke sudut ruangan ayahnya dekat jendela dan bermain.
"Dia putri ku, Mahi. Aku selalu membawanya dalam bertugas,"
"Kenapa? Apa kau tidak takut bahaya jika membawa putri mu yang masih kecil bertugas?"
"Sejak dulu dia memang tidak bisa lepas dari ku, "
"Dimana ibunya?" Mata Viraj langsung berubah arah. Dia menatap Varsha begitu dalam dan tajam. "Ah maafkan kelancangan ku. Seharusnya aku tidak mempertanyakan rumah tangga mu."Tidak ada senyuman dari wajah Viraj. Dia mengeluarkan dokumen yang berisikan kasus perdagangan sejumlah gadis muda. Gadis-gadis itu berasal dari desa-desa kecil di Bihar, Rajasthan, dan Orissa yang ditemukan hilang. Bukti mengarah pada sindikat perdagangan manusia lintas negara.
"Dalam menyelidiki kasus ini mungkin kita akan pergi beberapa hari ke desa-desa tersebut, "
"Apa kau bersedia?" Varsha mengangguk sambil membaca-baca berkas-berkas tersebut.
"Baiklah. Kapan kita akan pergi?"
"Besok pagi, "
"Apakah kita akan pergi berdua?"
"Tidak. Aku akan membawa dua polisi untuk berjaga-jaga. Dan juga... Untuk membantu ku mengurus Mahi, "
"Maksudmu... Mahi akan ikut?"
"Tentu. Tidak mungkin dia akan tinggal sendirian, "
"Lalu sekolahnya?"
"Itu gampang, " jawab Viraj santai sambil menatap putrinya yang sedang bermain. Varsha merapikan berkas-berkas tadi. Ia lalu pamit untuk menyiapkan diri besok pagi. Setelah Varsha pergi, Mahi diam-diam memperhatikannya.
"Ayah-ayah... Kakak itu sangat cantik, "
"Benarkah?"
"Iya. Aku sangat senang jika bisa berteman dengannya, "
"Tapi... Selain dia, putri ayah yang satu ini lebih cantik, "
"Ayah selalu mengatakan itu. Apakah tidak ada wanita lain yang cantik di mata ayah?" Viraj tersenyum lembut menatap putrinya. "Kemari lah, Nak." Mahi menghampiri Viraj. Tubuh mungilnya itu di angkat Viraj duduk di pangkuannya. "Jangan pernah tanyakan wanita cantik di dunia ini kepada ayah. Karena bagi ayah, selain ibumu–kau adalah wanita kecil tercantik di muka bumi ini, " gumam Viraj sambil menggelitik putrinya. Mahi tentu tertawa geli, dan membalas menggelitik ayahnya. Mereka berdua bersenda gurau di ruangan Viraj, di saksikan dua penjahat yang baru saja Viraj pukuli, dan satu anggota polisi–dengan perut buncit, dan segelas teh hangat di tangan.
"Andaikan polisi itu mempunyai sikap lembut saat menangkap kita– seperti dia lembut kepada putrinya, " ucap salah satu penjahat dengan tatapan bingung melihat perubahan sikap Viraj. Seperti api berubah menjadi air.
"Hei. Jika Pak Viraj menjadi polisi lembut seperti itu. Tidak akan ada penjahat yang masuk ke sel tahanan ini, " jawab polisi perut buncit tersebut.
...****************...
Keesokan harinya, Varsha di bantu asisten nya sedang mengeluarkan tas yang berisikan beberapa pakaian. Viraj memberitahu Varsha, kemungkinan mereka akan menginap di desa. Tiba-tiba ia melihat Viraj di halaman rumah Varsha, bersama dengan Mahi. "Kakak cantik, " sapa Mahi dengan senyuman manis. Mengetahui Varsha sudah keluar. Viraj dengan kaca mata hitamnya berbalik dan menatap Varsha yang berdiri di depan pintu rumahnya dengan raut wajah kebingungan. Viraj melepaskan kacamatanya dan mengajak Mahi menghampiri Varsha.
"Tidak usah bingung kenapa aku kemari. Agar kau tidak terlambat seperti kemarin, "
"Satu hal yang harus kau tau. Aku tidak suka dengan keterlambatan, "
"Ooh, jadi begitu? Kalau begitu kau juga harus tau satu hal... Aku tidak suka kelancangan, "
"Lancang?"
"Kau datang tanpa memberitahuku terlebih dahulu. Dan... Dari mana kau tau alamat rumah ku?"
"Apakah aku perlu meminta izin mu, Nona Pengacara?"
"Jaga batasan mu, Tuan Inspektur Viraj Thakur." Kedua mata itu saling menatap satu sama lain. Tatapan dingin, dan tajam. Namun saling menghormati satu sama lain.
"Langsung pada intinya. Apa yang membuat mu kemari?" Tanya Varsha.
"Mahi yang meminta ku untuk membawa mu bersama dengan kami. Dia ingin berteman dengan mu." Varsha menatap Mahi dengan senyuman tulus. Dia sedikit membungkukkan dirinya, dan mengelus pipinya.
"Jangan memanggilku kakak cantik lagi. Namaku Varsha. Kau mengeri, Mahi?"
"Iya kakak can– emm kakak Varsha, "
"Baiklah." Baru saja Viraj ingin mengangkat koper. Varsha sudah lebih dulu mengangkat koper itu, dan membawanya pergi. Pandangan Viraj membeku. Dia mengepalkan kembali tangan yang hendak mengangkat koper tersebut. Viraj berbalik dan menatap Varsha yang membuka bagasi mobil sendiri, dan meletakkan koper sendiri. "Sangat mandiri," gumam Viraj. Ia lalu mengajak Mahi untuk pergi ke mobil. Saat Varsha hendak duduk di bangku belakang, pintu mobil di tahan oleh Mahi. Varsha mengangkat alisnya keheranan melihat tingkah Mahi. "Duduklah di depan, " bisik Mahi. Varsha tidak mau. Mahi langsung duduk di kursi belakang, dan mengunci pintu. Dengan begitu Varsha tidak bisa menolak, dan mau tidak mau ia duduk di kursi depan bersebelahan dengan Viraj.
"Mahi sayang jangan lupa sabuk penga-" ucapan Viraj terhenti saat hendak memasangkan sabuk pengaman Varsha yang ia kira Mahi. Untuk pertama kalinya wajah Viraj begitu dekat dengan Varsha. Kedua mata itu kembali menatap. Kali ini dengan tatapan ringan, santai, dan penuh kehangatan. Mahi tertawa kecil sembari menutup mulutnya melihat keduanya.
jangan lupa mampir ya kak...