Galih adalah seorang lelaki Penghibur yang menjadi simpanan para Tante-tante kaya. Dia tidak pernah percaya Cinta hingga akhir dia bertemu Lauren yang perlahan mulai membangkitkan gairah cinta dalam hatinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAAB 3
Kantin siang itu tak terlalu ramai. Suara sendok garpu beradu dengan piring, dan obrolan mahasiswa terdengar riuh di sudut-sudut ruangan.
Di salah satu meja pojok, duduk seorang gadis bergaun sederhana. Lauren.
Dia makan pelan sambil sesekali mencoret-coret buku tebal yang terbuka di depannya. Wajahnya tenang, fokus, seolah dunia luar tak punya kuasa mengganggunya.
Lalu datanglah Galih.
Dengan nampan berisi nasi, ayam panggang, dan minuman soda, ia langsung duduk tepat di hadapan Lauren tanpa banyak basa-basi.
“Halo,” sapanya sambil tersenyum. “Boleh kan aku duduk di sini?”
Lauren menatap Galih sejenak. Ekspresinya datar.
“Ya, kenapa tidak? Siapa pun boleh duduk di situ. Ini fasilitas umum,” jawabnya dingin.
Lalu, tanpa memberi ruang basa-basi, Lauren kembali menunduk ke bukunya.
Galih sedikit kikuk, tapi mencoba tetap santai. Ia membuka bungkus makanannya, lalu mulai berbicara.
“Kamu serius banget ya kalau belajar,” ucapnya sambil melirik buku yang dibaca Lauren.
Lauren hanya menoleh sekilas. “Hmm.”
“Kamu jurusan apa sih?” tanya Galih lagi.
“Manajemen,” jawab Lauren pendek, tanpa mengangkat wajahnya.
“Wah, sama dong. Tapi kayaknya kita beda kelas ya?”
“Bisa jadi.”
Galih tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana. “Kamu selalu secuek ini ke semua orang, atau cuma ke aku?”
Lauren menghela napas pelan, menutup bukunya setengah hati. “Aku cuma nggak suka diganggu saat makan dan belajar.”
Kata-kata itu seperti tamparan halus. Tapi Galih tetap mencoba tersenyum.
Namun saat Lauren menghabiskan suapan terakhirnya, ia langsung menutup bukunya, berdiri, dan mengambil nampannya.
Tanpa sepatah kata pun, ia pergi.
Meninggalkan Galih yang masih duduk terpaku di kursinya. Tatapannya mengikuti langkah Lauren yang semakin menjauh.
Perlahan, rahangnya mengeras. Ia menghela napas, lalu **menggebrak meja pelan**, membuat suara cukup keras untuk menarik perhatian beberapa mahasiswa lain di dekatnya.
Beberapa orang menoleh. Galih langsung sadar dan mengangkat tangan kecil.
“Maaf. Sorry. Nggak sengaja,” ucapnya cepat sambil tertawa kaku.
Setelah suasana kembali tenang, Galih duduk sambil menyandarkan punggung ke kursi.
Dia menatap kosong ke arah meja kosong di hadapannya.
"Baru kali ini… gue diginiin sama cewek," gumamnya kesal.
"Biasanya, semua yang gue deketin, jatuh. Ini? Kayak nabrak tembok es, Dingin sama keras kepala banget."
Tapi entah kenapa, alih-alih membuatnya menyerah, penolakan Lauren justru membakar rasa penasaran dalam dirinya.
“Lo main keras, ya, Ren?”
“Oke. Kita lihat, sekeras apa lo bisa nolak gue.”
Galih tersenyum tipis. Bukan senyum bahagia—tapi senyum dari seseorang yang menemukan tantangan… yang belum tentu dia siap hadapi.
Ponsel Galih berdering saat ia baru saja meninggalkan kantin. Nama penelepon tak dikenalnya, hanya tertulis: "RS Jiwa Mentari".
Galih mengerutkan dahi.
“Hallo?”
“Apakah ini dengan Galih, putra dari Pak Budi Santosa?”
“Iya, saya sendiri. Ada apa, Bu?”
“Maaf mengganggu. Kami dari Rumah Sakit Jiwa Mentari. Ayah Anda sedang tidak stabil dan terus memanggil nama Anda. Kami pikir sebaiknya Anda datang segara kesini”
Galih tercekat. Hatinya seperti dicekik rasa bersalah. Sudah berbulan-bulan ia tak menjenguk sang ayah.
Tanpa pikir panjang, ia segera bergegas keluar dari kampus, memacu mobil mewahnya, dan meluncur ke rumah sakit.
---
Setibanya di sana, Galih langsung menuju ruang isolasi. Di balik kaca buram itu, ia melihat sosok lelaki tua kurus, rambut beruban, duduk di lantai dan memeluk lutut.
"Galih… Galih… Jangan tinggalin Ayah… Dimana Galih anakku… Galih… Galih…!"
Galih mematung. Suara itu menusuk hatinya lebih dalam dari pisau mana pun.
Perawat membuka pintu pelan. “Silakan, tapi jangan terlalu dekat. Beliau sensitif.”
Tanpa menunggu aba-aba, Galih masuk dan perlahan mendekat.
“Yah… Ini Galih, Yah. Galih ada disini, Galih ngga mungkin ninggalin Ayah.”
Pak Budi menoleh. Matanya kosong, tapi saat melihat Galih, ekspresinya berubah. Ia bangkit dengan susah payah, lalu langsung memeluk Galih erat—erat sekali, seakan takut Galih akan menghilang seperti mimpi.
“Galih… anak Ayah… kamu jangan tinggalin Ayah…”
Suara itu lirih dan patah. Galih balas memeluk ayahnya, menggigit bibir menahan air mata.
"Maafin Galih, Yah… Galih sibuk… Galih cuma pengen cari uang buat Ayah...Biar Ayah bisa sembuh dan sama-sama Galih lagi..."
Pelukan itu berlangsung lama. Waktu seakan berhenti di ruangan itu.
---
Beberapa jam kemudian, Galih duduk sendiri di taman belakang rumah sakit. Matanya menatap kosong ke kolam kecil yang tenang.
Semua kenangan menyerbu kembali.
Ibunya.
Seorang wanita cantik yang dulu selalu menyisir rambutnya sebelum tidur. Yang selalu membawakannya bekal sekolah.
Lalu suatu hari… pergi begitu saja. Meninggalkan rumah bersama lelaki lain. Meninggalkan ayahnya. Meninggalkan dirinya.
Dan sejak hari itu, dunia kecil Galih runtuh. Ayahnya, Pak Budi, perlahan kehilangan warasnya. Tak sanggup menghadapi kenyataan. Tak bisa menerima dikhianati oleh wanita yang paling ia cintai.
Galih masih ingat malam-malam ketika ia menangis sendirian, lapar, ketakutan, dan hanya bisa melihat ayahnya tertawa sendiri sambil berbicara dengan bayangan.
Hingga akhirnya, seorang tetangga membawa Pak Budi ke rumah sakit jiwa.
Sejak itu, Galih hidup sendiri.
Tanpa keluarga. Tanpa cinta.
Dan hidup mengajarkannya satu hal: bahwa cinta adalah kebohongan. Bahwa wanita hanya akan meninggalkan saat mereka menemukan yang lebih baik.
---
Karena itulah Galih tumbuh dingin. Sinis. Dan kuat.
Ia rela menjadi Sugar Baby tante-tante kaya demi satu tujuan yaitu uang.
Uang untuk bertahan. Uang untuk biaya rumah sakit ayahnya. Uang agar ia tidak jadi lelaki gila seperti ayahnya… dan tidak jadi lemah seperti dirinya yang dulu.
Namun akhir-akhir ini, entah kenapa… wajah Lauren mulai membayang. Dan Galih membencinya.
Bukan karena Lauren menolaknya. Tapi karena Lauren mulai membuatnya bertanya-tanya
"Apa cinta benar-benar hanya sebuah omong kosong…?"