Arlena, gadis muda yang dipaksa menikah oleh keluarganya.
Arlena menolak dan keluarganya langsung mengusir Arlena
Arlena akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah demi mencari arti kebebasan dan harga dirinya.
Dikhianati dan dibenci oleh orang tuanya serta dua kakak laki-lakinya, Arlena tak punya siapa pun... sampai takdir membawanya ke pelukan Aldric Hartanto — seorang CEO muda, sukses, dan dikenal berhati dingin.
Ketika Aldric menawarkan pekerjaan sebagai pelayan pribadinya, Arlena mengira hidupnya akan semakin sulit. Tapi siapa sangka, di balik sikap dingin dan ketegasannya, Aldric perlahan menunjukkan sisi yang berbeda — sisi yang membuat hati Arlena berdebar, dan juga... takut jatuh cinta.
Namun cinta tak pernah mudah. Rahasia masa lalu, luka yang belum sembuh, dan status yang berbeda menjadi tembok besar yang menghalangi mereka. Mampukah cinta menghangatkan hati yang membeku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Cahaya matahari pagi menyelinap lewat celah tirai, mengusik kelopak mata Arlena yang perlahan membuka.
Tubuhnya masih sedikit lelah, tapi jauh lebih baik daripada semalam.
Ia menatap langit-langit kamar asing yang sudah mulai terasa sedikit akrab.
Tanpa pikir panjang, Arlena bangkit dari ranjang. Ia merapikan tempat tidurnya dengan rapi, lalu membuka pintu pelan-pelan.
Tak ada suara dari luar. Ia menghela napas, kemudian berjalan menyusuri lorong, melihat sekeliling apartemen yang luas dan modern itu.
Pikiran pertamanya yaitu bersih-bersih rumah. Tapi naluri lamanya muncul.
Ia menemukan sapu di dekat dapur dan mulai membersihkan lantai, merapikan bantal sofa, bahkan menyeka meja makan dengan tisu dapur.
Ia sedang menyapu ketika suara berat memotong keheningan.
“Berhenti.”
Arlena menoleh cepat. Aldric berdiri tak jauh darinya, mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. Wajahnya datar, tapi sorot matanya tajam.
“Maaf, aku hanya… ingin membantu,” jawab Arlena gugup.
Aldric berjalan mendekat, tangannya masuk ke dalam saku celana.
“Mulai hari ini, kau akan bekerja di bawah perintahku. Itu berarti, kau hanya bergerak kalau aku memintamu.”
Arlena menunduk. “Maaf. Aku hanya terbiasa bangun pagi dan bekerja.”
Aldric mendesah pelan. Ia lalu meletakkan sebuah kotak putih di atas meja dekatnya.
“Ini seragammu. Mulai besok, kau akan menjalankan tugasmu sebagai pelayan pribadi. Tapi hanya sesuai dengan instruksi dariku, paham?”
Arlena mengangguk cepat. “Ya. Paham.”
Aldric menatapnya sejenak, lalu berbalik pergi. Tapi sebelum benar-benar menghilang di balik lorong, ia berkata tanpa menoleh:
“Kau tidak lagi berada di rumah yang memperlakukanmu seperti budak, Arlena. Jadi, berhenti bersikap seperti satu.”
Arlena terpaku di tempatnya. Matanya membesar, bibirnya sedikit terbuka.
Kata-kata itu… menampar sekaligus menguatkan.
Dia tahu. Dia benar-benar tahu…
Ia memandangi kotak seragam yang ada di meja, lalu memeluknya perlahan.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia diberikan aturan… bukan untuk ditindas, tapi untuk dihargai.
Setelah Arlena kembali ke kamar dan menyimpan seragamnya dengan hati-hati, ia duduk di tepi ranjang, menenangkan diri.
Ia masih belum terbiasa dengan suasana apartemen yang begitu tenang, tanpa teriakan, tanpa perintah kasar, tanpa tekanan.
Tak lama kemudian, suara ketukan ringan terdengar.
“Arlena,” panggil Aldric dari balik pintu.
Ia segera berdiri dan membukakan pintu. Pria itu berdiri dengan kemeja abu gelap dan jaket hitam elegan. Matanya menatap Arlena singkat.
“Kau tidak perlu bekerja hari ini,” ucapnya.
Arlena mengerutkan kening. “Tapi… bukankah tadi pagi—”
Aldric memotong, “Hari ini pengecualian. Ayo ikut aku.”
“Ke mana?”
Aldric hanya melirik sebentar dan melangkah pergi.
“Kau akan tahu.”
Mobil hitam mewah itu meluncur tenang di jalanan kota.
Arlena duduk di kursi penumpang, gugup. Matanya mencuri pandang ke arah Aldric yang mengemudi dengan satu tangan, tenang tapi fokus.
Setelah beberapa menit, mobil berhenti di pelataran sebuah mall mewah. Arlena langsung panik.
“Kenapa kita ke sini?”
“Kau butuh barang-barang pribadi,” jawab Aldric datar sambil melepas sabuk pengaman.
“Pakaian, sepatu, alat mandi, dan sisanya. Aku tidak suka melihat pelayanku memakai pakaian lusuh atau kekecilan.”
Arlena menunduk. “Aku tidak—maksudku, aku tidak butuh banyak…”
“Terlalu sering kau tidak ‘butuh’ hanya karena kau tidak pernah diberi pilihan,” sahut Aldric, tajam namun tenang.
Mereka masuk mall bersama. Mata-mata mulai memperhatikan mereka dimana seorang pria dengan aura dingin dan berkelas, dan seorang wanita sederhana dengan pakaian polos.
Arlena merasa canggung, tapi Aldric tetap berjalan di sampingnya, seolah tak peduli.
“Ambil semua yang kau perlukan,” ucapnya ketika mereka masuk ke toko pakaian wanita.
“Jika ragu, pilih dua.”
Arlena memandang rak pakaian dengan tatapan bingung. Ini terlalu banyak. Terlalu bebas. Terlalu baru.
“Kenapa kau melakukan ini… untukku?” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
Aldric menatapnya sejenak. “Karena kau berada di bawah tanggung jawabku.”
Dan sebelum Arlena sempat bertanya lagi, pria itu sudah berjalan ke arah kasir, menyuruh pelayan butik untuk mendampingi Arlena memilih.
Ia hanya bisa diam, hatinya penuh rasa yang tak bisa ia jelaskan.
Bingung. Terharu. Takut. Dan… sedikit hangat.
Arlena berdiri canggung di depan cermin ruang ganti. Ia memegang dua gaun sederhana, mencoba memutuskan mana yang terlihat lebih "layak" untuk dibawa pulang.
Salah satu pegawai butik membantu dengan senyuman ramah, tapi dari ujung lorong, suara mengejek mulai terdengar.
"Lucu juga, ada pelayan masuk toko mahal begini. Siapa yang nyasar, ya?"
Arlena menoleh pelan.
Seorang wanita muda berdandan glamor berdiri dengan dua temannya.
Dari cara mereka memandang, Arlena tahu itu bukan sekadar komentar iseng — tapi ejekan yang disengaja.
“Pakaiannya aja masih model tahun lalu, sok-sokan masuk butik mahal. Paling juga cuma nebeng cowok kaya yang lagi kasihan,” lanjut wanita itu sambil tertawa.
Arlena meremas jemari di balik rok yang ia coba. Matanya memerah, tapi ia menahan air mata. Sudah biasa dihina. Sudah kebal, katanya.
Tapi sebelum ia sempat melangkah keluar atau menjawabnya. Tiba-tiba suara berat dan dingin menggelegar dari belakang.
“Siapa yang bilang dia pelayan?”
Wanita itu menoleh dan langsung membatu saat melihat sosok Aldric berdiri di depan pintu butik, tatapannya dingin, penuh ancaman.
“S-siapa Anda?” tanya wanita itu gugup, tapi masih mencoba menjaga sikap.
Aldric tak menjawab pertanyaan itu. Sebaliknya, ia menoleh ke arah manajer butik yang buru-buru menghampiri saat melihat situasi memanas.
“Usir dia,” perintah Aldric datar, menunjuk si wanita.
Manajer itu terkejut. “T-tapi Pak, dia pelanggan tetap—”
“Saya bisa beli seluruh butik ini sekarang dan ubah jadi toko roti jika perlu. Jadi saya ulang lagi, usir mereka sekarang.”
Wanita itu langsung panik. “Tunggu! Aku tidak—aku cuma bercanda! Lagian siapa dia sampai kau bela—”
“Satu kata lagi, dan kau akan ku cekal dari semua properti milikku di kota ini,” tegas Aldric, kini selangkah lebih dekat, tatapannya tak terbantahkan.
Wanita itu pucat. Ia hanya bisa mundur sambil ditarik keluar oleh salah satu staf.
Arlena, yang menyaksikan semuanya dari balik pintu ruang ganti, masih mematung. Jantungnya berdetak cepat. Ia tak tahu harus berkata apa.
Aldric berjalan mendekat dan menatapnya lurus.
“Kalau ada yang meremehkan mu lagi,” ucapnya pelan namun tajam," ingat satu hal kalau mereka juga harus berurusan denganku.”
Arlena menunduk, bibirnya bergetar.
Ia belum pernah... di bela seperti itu.
Dan dari semua orang yang mungkin melakukannya, kenapa justru… pria sedingin dia?
Setelah kejadian di butik, Arlena masih diam selama perjalanan mereka berjalan kaki ke lantai bawah mall, menuju supermarket.
Jantungnya masih belum tenang. Kata-kata Aldric terus terulang di kepalanya:
“Mereka juga harus berurusan denganku.”
Ia menggigit bibirnya pelan. Perasaan yang muncul… campur aduk.
Bahagia, canggung, dan takut semua bercampur jadi satu.
Setibanya di depan pintu masuk supermarket, Aldric berhenti sejenak dan mengambil troli.
Ia menoleh pada Arlena yang berdiri ragu di belakangnya.
“Ambil makanan yang kamu suka,” ucapnya datar namun jelas.
“Buah juga. Susu juga.”
Arlena terkejut. “Aku… tidak perlu, aku bisa makan apa saja.”
Aldric memutar matanya kecil. “Aku tidak bertanya kamu bisa makan apa saja. Aku minta kamu ambil apa yang kamu suka. Sekarang.”
Nada suaranya bukan marah, tapi… tidak bisa dibantah. Arlena perlahan mengangguk dan mulai berjalan di sampingnya.
Awalnya ia hanya mengambil satu kotak biskuit dan sekotak susu kecil.
Tapi saat Aldric melirik isi troli, ia menghela napas.
“Itu saja? Kau pikir aku ajak kau ke sini buat belanja satu hari?”
Arlena langsung panik. “Aku—aku tidak terbiasa…”
Aldric mendorong troli ke arah rak buah. “Pilih. Apel, anggur, mangga—apa pun. Jangan tanya harga. Aku tidak akan bangkrut hanya karena kau suka stroberi.”
Arlena tersenyum kecil tanpa sadar. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya… seseorang menyuruhnya memilih sesuatu untuk dirinya sendiri, tanpa tuntutan, tanpa syarat.
Ia mengambil beberapa buah, susu segar, roti, dan bahkan cokelat batangan kecil.
Setiap kali ia ragu, Aldric hanya menatapnya dengan ekspresi datar seolah berkata lanjutkan saja.
Setelah belanja selesai, mereka berjalan keluar supermarket dengan troli penuh. Arlena masih tidak percaya dengan apa yang terjadi hari ini.
Dan ketika mereka kembali ke mobil, Arlena memberanikan diri bertanya, suaranya pelan.
“Kenapa… kau begitu baik padaku?”
Aldric menutup bagasi dan menjawab tanpa menatapnya, “Karena kau pantas diperlakukan layak. Sesederhana itu.”