Hulya Millicent harus terjebak dalam obsesi cinta seorang bos mafia. Dia bahkan tidak tahu kalau dirinya telah dinikahi oleh sang mafia semenjak usianya baru 18 tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 : Mendominasi Keadaan
...•••Selamat Membaca•••...
Tiga tahun kemudian...
Hulya disibukkan dengan pekerjaannya, dia membangun bisnis sendiri dengan membuka butik dan bisnisnya lumayan berkembang dengan baik.
Selama ini, Hulya berusaha untuk bangkit dalam keterpurukan karena kehilangan dua pria yang sangat berarti dalam hidupnya yaitu Amar dan Marchel.
Tiga tahun yang lalu, dia mendengar kabar kalau Marchel gagal dalam misi dan dinyatakan meninggal dunia. Hulya benar-benar kalut dengan kabar itu, hanya selang seminggu dari kepergian Amar, Marchel pun pergi juga.
Tak ingin berduka terlalu lama, sambil kuliah, dia memulai bisnisnya menggunakan uang yang ditinggalkan oleh Amar. Bisnis itu berkembang lumayan bagus hingga saat ini dan perlahan, kehidupan Hulya kembali seperti biasa.
“Sayang, sibuk ya,” sapa Aarav, pria yang sudah setahun ini menjalin hubungan dengan Hulya.
“Lumayan, cukup ramai pengunjung di butik tadi, kamu ada apa ke sini?”
“Aku pulang ngantor dan kangen kamu.” Hulya melirik jam tangannya dan sudah menunjukkan pukul 5 sore.
“Udah sore ternyata.”
“Iya, kamu lupa waktu, keluar yuk."
“Tapi kerjaan ku masih banyak Aarav.”
“Kan bisa di handle sama Sofia.” Hulya mengangguk dan meminta Sofia untuk melakukan semuanya.
Mereka keluar dari butik, lanjut ke cafe pilihan Aarav. Mereka memesan beberapa makanan dan minuman lalu berbincang ringan, saling membicarakan mengenai pekerjaan dan banyak hal.
“Kapan kamu siap untuk menikah sayang?” tanya Aarav sambil memegang tangan Hulya, raut wajah yang tadinya ceria menjadi murung.
“Hm aku belum kepikiran Aarav, soalnya menikah itu bukan hal yang kecil, aku butuh kesiapan baik dari segi fisik maupun hati.”
“Oke aku mengerti.” Aarav tersenyum karena jawaban yang sama dari Hulya terus dia dapatkan.
Mereka kembali bicara hal lain untuk menghangatkan suasana, karena obrolan tadi cukup membuat canggung.
Aarav mengantarkan Hulya pulang, dia tidak masuk karena saat ini masih memiliki urusan lain yang sangat penting. Hulya memasuki kamar dan kaget melihat Marchel duduk dengan santai di atas ranjang miliknya.
“Jendral?” Marchel mendekati Hulya dengan tatapan datar dan sinis.
“Gadis kecilku ternyata sudah dewasa sekarang, apa dia kekasihmu?” tanya Marchel dengan nada dingin.
“Ini beneran kamu? Bukannya tiga tahun lalu kamu—”
“Aku masih hidup Hulya dan selama setahun terakhir, aku selalu memantaumu, tidak ada yang luput dari pantauanku mengenai dirimu.”
”Lalu? Kenapa kau tidak menemui aku?”
“Aku hanya tidak ingin mengganggumu.”
“Haha alasan apa begitu? Selama ini aku sangat bersedih atas kepergian papa lalu dirimu, aku selalu menunggu kabar tentangmu dan kau tau betapa hancur aku saat mendengar kabar buruk dari anak buahmu?” Tatapan Marchel melunak, memang dia merahasiakan dirinya selama ini untuk bisa mengecoh musuh.
“Maafkan aku Hulya, aku tidak bermaksud membuatmu sedih, sekarang aku di sini dan aku baik-baik saja.”
“Aku merindukanmu jendral.” Hulya memeluk Marchel karena memang sangat merindukan pria itu, pria yang selalu menjaganya.
“Tolong jangan panggil aku jendral lagi Hulya.”
“Oke oke, Marchel.” Hulya tersenyum begitu pula dengan Marchel.
“Aku membawakan makanan untukmu.”
“Aku sudah makan dengan Aarav, untuk saat ini aku sangat kenyang.” Wajah Marchel yang tadinya melunak kembali tegang ketika Hulya menyebut Aarav.
“Tinggalkan dia Hulya, aku tidak suka kau menjalin hubungan dengan pria lain.” Hulya mengerutkan dahinya dan sedikit menjauh dari Marchel.
“Apa maksudmu? Dia itu kekasihku dan kami sudah menjalin hubungan setahun ini, kau tidak bisa mencampuri hidupku seperti ini,” tolak Hulya dengan tegas.
“Aku berhak atas dirimu, jika kau tidak meninggalkan dia, maka aku yang akan membuat dia meninggalkanmu,” ujar Marchel, dia melangkah maju dan mencengkram dagu Hulya lalu melanjutkan ucapannya, “Selamanya.”
“Apa maksudmu?” tanya Hulya dengan nada takut, dia sangat tahu siapa Marchel dan apa yang bisa pria itu lakukan.
“Sama seperti apa yang aku lakukan pada semua pria yang mencoba mendekatimu selama ini.” Hulya membulatkan matanya, memang selama ini semua pria yang berusaha mendekatinya, meregang nyawa dengan tragis.
“Jadi, kau yang membunuh mereka semua?” Marchel tertawa dan itu semakin membuat Hulya ketakutan.
“Iya, memang kau pikir siapa lagi?”
“Kau ini gila ya? Apa tujuanmu menghabisi mereka?” Air mata lolos begitu saja dari kelopak mata Hulya dan itu membuat Marchel tersenyum karena merasa gadis itu takut padanya.
“Aku mencintaimu dan selama ini aku selalu menginginkan kamu Hulya, aku sangat benci ketika ada pria yang berusaha mendekatimu.” Hulya tidak menyangka Marchel akan mengatakan hal itu padanya.
“Nggak mungkin, aku tidak mencintaimu Marchel, jangan bercanda begini.”
“Aku tidak pernah bercanda dengan apa yang aku katakan, jika kau ingin bukti, aku akan membunuh Aarav malam ini juga.” Hulya menggeleng, dia tidak ingin pria yang dia cintai meregang nyawa.
“Kamu lakukan hal itu, aku benar-benar akan membencimu.” Bukannya takut, Marchel malah tertawa terbahak.
“Aku tidak peduli Hulya, mau kau benci atau tidak padaku, kau itu tetap milikku dan semua yang menjadi sainganku untuk mendapatkanmu harus tersingkirkan selamanya.” Hulya menelan ludah pahit, dia tidak menyangka kalau Marchel akan segila ini padanya.
“Sekarang keluar dari rumahku, aku tidak mau mengenal pria pembunuh sepertimu.” Suara Hulya mulai berat, dia menahan tangis ketakutan.
“Aku memang akan keluar dari rumah ini, tidak sendiri, melainkan bersamamu.” Hulya tidak mau lagi berdebat dengan Marchel.
Dia dengan cepat membuka pintu kamar dan keluar dari sana, Hulya berlari menuju pintu keluar agar terbebas dari Marchel tapi malah dihalangi oleh Louis.
“Lepaskan aku,” berontak Hulya dalam genggaman Louis, tenaga pria itu cukup kuat saat mengunci pergerakannya.
“Aku tidak mau pergi Marchel, aku mau di sini, aku tidak mau ke mana-mana.”
“Aku tidak ingin mengambil resiko sayang, aku tidak bisa juga tinggal lama-lama di sini, pekerjaanku sangat banyak.”
“Bagaimana dengan pekerjaanku?”
“Pekerjaanmu bisa di handle oleh anak buahku, tanpa bekerja pun, aku masih mampu untuk menghidupimu.”
“Marchel, aku nggak mau ke mana-mana, aku mohon, aku mau tetap di sini, aku tidak ingin keluar negeri bersamamu, aku nyaman di sini, aku mohon Marchel.” Kali ini Hulya memohon dengan tangisnya, dia memang tidak ingin keluar negeri.
“Baiklah, aku akan membiarkanmu di sini tapi kau tinggal bersama denganku dan seminggu lagi kita menikah. Aku tidak menerima penolakan apapun darimu.” Suara Marchel tegas dan mendominasi.
“Tolong jangan begini, aku tidak mencintaimu, aku mencintai Aarav.” Marchel menarik kuat tangan Hulya hingga tangan itu terasa sakit. Hulya meringis, mungkin saat ini tangannya terkilir.
“Dengan perlahan, kau bisa mencintai aku, mengerti.” Hulya semakin meringis karena Marchel memelintir tangannya.
“Iya iya, tolong lepaskan aku.” Marchel melepaskan tangan itu, dia memberi isyarat pada Louis agar menjaga di luar.
Setelah perdebatan panjang, Hulya memasuki kamarnya untuk membersihkan diri dan mengganti baju. Tangannya begitu sakit akibat kuatnya tarikan Marchel, dia tidak menyangka kalau Marchel akan sebengis itu, selama ini, yang dia tahu, Marchel pria yang sangat baik.
Tengah malam, Hulya terbangun karena merasakan sakit di pergelangan tangan serta bengkak yang terlihat jelas. Dia menangis sambil memijit tangan itu dengan minyak urut.
Karena tidak tahan dengan rasa sakitnya, Hulya keluar dari kamar, melihat Marchel tidur di atas sofa. Dia membangunkan Marchel sambil menahan tangis kesakitan, Marchel membuka matanya perlahan dan langsung duduk saat melihat Hulya menangis.
“Ada apa Hulya?” tanya Marchel.
“Tanganku sakit, tolong pijat ya, aku nggak tahan Marchel,” tangis Hulya.
Marchel melihat tangan gadisnya yang bengkak, dia yakin kalau ini karena tarikannya tadi.
“Maafkan aku, kita ke rumah sakit ya.”
“Nggak usah, pijit aja, biasanya kalau tangan aku begini, papa selalu pijit dan sembuh.” Marchel menuntun Hulya untuk duduk, dia mengambil minyak urut di dalam kamar Hulya dan membalurinya ke tangan gadis itu.
Dengan keahliannya, Marchel mengurut tangan Hulya dengan baik, sakit yang Hulya rasakan perlahan menghilang dan merasa lebih baik.
“Kamu laper nggak? Makanan tadi masih ada kan?” Marchel menatap Hulya, tangannya masih belum berhenti memijat tangan Hulya.
“Iya masih ada, aku taruh di dapur, kamu lapar?” tanyanya kembali.
“Iya, kan tadi energi aku terkuras karna kamu, gimana sih.” Hulya cemberut pada Marchel, membuat pria itu tersenyum gemas.
“Oke, aku akan panaskan makanan itu, kamu tunggu di sini, jangan kabur,” tekan Marchel, Hulya semakin cemberut, tanpa dia duga, gadis itu menggigit bahu Marchel dengan kuat.
“Sakitt Hulya,” ringis Marchel sambil mengusap bahunya.
“Emang kamu pikir aku mau kabur ke mana? Ini rumahku.”
“Kabur ke rumahnya si Aarav.”
“Aku masih tau aturan, nggak mungkin ke rumah pria malam-malam begini, emang kamu pikir aku ini wanita binal.” Marchel malah tertawa mendengar ocehan Hulya.
“Mau makan tidak?”
“Iya mau, kamu temani ya.”
“Oke ayo.” Hulya berdiri dibantu oleh Marchel, mereka ke dapur bersiap untuk makan.
Marchel memanaskan makanan yang dia beli untuk Hulya tadi lalu menatanya di atas meja. Marchel menyuapi Hulya karena tangan gadis itu masih sedikit sakit dan bengkak.
“Kamu tau nggak, tadi itu ya, aku nemu pelanggan yang nyebelin parah, dia milih beberapa baju dan nggak muat terus malah nyalahin bajunya.” Cerita Hulya panjang lebar pada Marchel mengenai apa yang dia alami tadi di butik.
Marchel tersenyum sambil terus menyuapinya.
“Lalu? Kamu jambak orang itu atau kamu pukul?”
“Enggak lah, dia pelanggan, nggak mungkin aku bakalan adu aksi sama dia.” Mereka berdua saling tertawa.
Suasana di antara mereka mulai membaik kembali, tidak canggung dan seakan masalah tadi tidak pernah terjadi.
“Tunggu dulu Marchel, mulut aku penuh,” protes Hulya saat Marchel menyodorkan makanan lagi padanya, padahal dalam mulutnya masih banyak dan belum tertelan.
“Haha maaf maaf.” Marchel mengusap lembut kepala Hulya penuh kasih sayang.
...•••BERSAMBUNG•••...